images/images-1672435851.jpg
Budaya
Indonesiana

Ekslusifisme Beragama di Masyarakat Minang

Malika D. Ana

Dec 31, 2022

321 views

24 Comments

Save

Ekslusifisme Beragama di Masyarakat Minang

 

Abad.id - Akhir-akhir ini muncul istilah ekslusifisme beragama yang menurut para pembawanya adalah sesuatu yang buruk. Dalam bayangan mereka, exclusivisme beragama membawa pertentangan dan perpecahan. Tapi saya yakin ketakutan terbesarnya adalah soal penerapan syariah Islam.

 

Alibinya, banyak yang takut dengan potensi pendirian negara Islam di Indonesia. Tapi menurut saya ini adalah ketakutan yang berlebihan. Kenapa? Karena sebelum-sebelumnya tidak pernah issue-issue yang demikian diributkan.

 

Sejak pilkada DKI dan Pilpres 2014 issue ekslusifitas beragama itu cenderung lebih banyak muatan politiknya, dipakai rezim sebagai fear mongering untuk menang dalam pemilu atau pilkada. Setelah pilpres dan pilkada usai ya tujuannya adalah pengalihan issue agar kita lupa pada korupsi atau bobroknya rezim, maka terus-terusan eksklusifitas Islam yang dipakai sebagai fear mongering, dipakai untuk menakut-nakuti masyarakat, dan dijadikan sebagai bahan demonology. Mengingat, rezim ini membutuhkan musuh bersama.

 

Selain karena semua keributan ini terjadi karena nafsu bertengkar lebih besar dari pada isi kepala. Nafsu bertengkar yang dibakar oleh syahwat politik. Diramaikan oleh buzzer-buzzeRp yang sepertinya dikasih briefing untuk selalu bikin gaduh. Agar orang lupa kalau negara ini sudah terpuruk.

 

Bobroknya rezim dan korupsi besar-besaran memerlukan kamuflase agar tak nampak nyata tak dibahas oleh banyak rakyat; Jiwasraya Rp16.8T, Rp Asabri 17T, BPJS Rp 43T, total 81,8T. Terus Bansos 7T, masih ditambah dana sosial untuk buruh dan difabel. Uang Haji, Uang AsAbri, Uang Bansos, Uang BPJS, Uang Jasaraharja, dan Uang Utang, uang anggaran untuk penanganan pandemi, siapa yang menikmati? Bisa diaudit gak? Siapa yang ganti? Siapa yang rugi? Dan kini, mulai mengincar dana Wakaf umat Islam.

 

Tapi lalu menyalahkan exclusivisme beragama, ini kan lucu sekali. Beragama itu memang harus exclusive. Agamaku ya untuk ku. Agamamu ya untuk mu. Jangan jadi inclusive. Repot kita kalau agamaku harus jadi untuk semua orang. Yang harus inclusive itu adalah kehidupan sosial. Bukan kehidupan beragama.

 

Tapi Padang punya konteksnya sendiri. Sama seperti Bali, yang ekslusif dalam ke-Hindu-annya, tidak boleh mengenakan jilbab, cadar dan seterusnya. Karena latar belakang budaya setempat yang tentu saja sangat berbeda.

 

Segala sesuatu perilaku dan aktivitas, termasuk fakta yang hidup dalam sebuah masyarakat dan menyatakan identitasnya adalah kebudayaan. Benar kerudung juga dipakai pada masyarakat Nasrani, namun dalam konteks masyarakat muslim hal tersebut menjadi bagian dari sistem nilai yang unik, sehingga jilbab menjadi entitas yang terbedakan dengan penutup kepala yang lain, dan bisa dinyatakan sebagai identifikator budaya, pengindentifikiasi budaya muslim yang unik dan indah.

 

Di dalam masyarakat Padang atau Minang berlaku; “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Adat manurun, syarak mandaki. Adat nan kawi, syarak nan lazim. Syarak mangato, adat mamakai. Tuhan basifat qadim, manusia basifat khilaf.” Bahwa adat istiadat adalah bagian dari agama karena bersendikan kitabullah bagi masyarakat Minang. Maka tidak salah jika kemudian mereka menerapkan aturan agar berjilbab, mengingat adat dalam suku Minang adalah bagian dari syarak(agama), yang bersendikan kitab suci (basandi kitabullah).

 

Pakaian adat Minang pada umumnya menggunakan penutup kepala dan penutup dada dari kain yang diselempangkan, dan sejak lama sudah ada tradisi tenun ikat, songket, ulos, dan lain-lain; yakni kain yang bahan bakunya bukan dibuat dari kapas, tetapi dari serat kayu, itu kenapa teksturnya tidak selentur kain yang terbuat dari kapas atau sutera.

 

Bagi orang Sumatera, Minang dalam konteks ini, memperlihatkan ujung sembulan payudara bukanlah merupakan etika pada saat upacara-upacara adat dilakukan, tetapi siapapun dapat melihat gadis-gadis mandi di sungai dengan kain bebasahan. Dalam konteks suasana formal itu ada etika yang tetap dijaga. Dalam sejarahnya, pakaian adat kebesaran wanita Sriwijaya sangat tertutup, bukan saja dengan kain tetapi dengan lempengan emas. Dan sifat perempuan Sumatera yang posisi sosialnya sejajar dengan pria, bahkan sangat dimuliakan dengan sistem matrilineal(menganut garis ibu), sehingga perempuan bukanlah komoditi sensualitas dalam kebudayaannya.

 

Jadi, jika anda mau menyuruh perempuan Sumatera untuk memperlihatkan payudaranya, maka anda harus membayar mas kawin yang sangat mahal, anda harus bayar dengan 1 kati emas, 7 kain songket emas, satu rumah dengan perabotan lengkap, dan tanah garap. Tidak mudah sebenarnya pacaran dengan wanita Minang dan sekitarnya, karena mahal maskawinnya. Tidak ada itu istilah icip-icip!!

 

Saya sangat menghargai ulama-ulama Islam yang punya keteguhan dengan akidahnya. Bukan orang-orang yang bilang semua agama itu benar hanya supaya dibilang open minded, toleran, pluralis, dan bisa diajak berbaur ceramah atau shalawatan saat Natal di gereja, atau beribadah dengan penganut agama lain. Kalau nanti saya bikin agama baru, apakah mau dibilang benar juga?

 

Saya bisa paham tentang aturan agama yang berlaku di Bali yang melarang siswanya berjilbab, hendaknya dipahami juga, masing-masing punya adat dan budaya yang mesti dihormati. Kenapa jika di Padang yang notabene mayoritas muslim eksklusif mengharuskan siswa berjilbab anda lalu protes? Tapi di Bali yang mayoritas Hindu ekslusif melarang berjilbab, anda yang ngakunya liberal, toleran, dan pluralis tidak protes? What the standar ganda you are...! Karena standardnya ganda maka hipokrisinya nyata. Di Bali pelarangan jilbab didukung pakai argumen nilai-nilai tradisi ke daerahan. Di Sumbar pake alasan yang sama ngga boleh. Terus bilang harus kebhinekaan? Toleransi?

 

Begitulah jika telunjuk yang menuding orang lain tapi cermin ngga punya. Padahal masalah paksaan pakai jilbab di sekolah ini juga paralel dengan paksaan pakai topi santa pada pegawai toko. Yang belain aturan jilbab ya orang yang marah pada topi santa. Begitu juga sebaliknya.

 

Buat saya, yang harus hilang itu adalah watak kekerasan dalam menegakkan akidah. Kalau kita sepakat untuk bernegara, hak untuk melakukan kekerasan itu hanya pada aparat negara. Dan itupun harus sesuai dengan UU yang ada dengan memperhatikan HAM.

 

Jadi, jika nanti ada yang ribut-ribut soal exclusivisme atau inclusivisme beragama, coba diperiksa. Tidakkah mereka sedang berusaha melakukan pendangkalan akidah dengan memaksakan paradigma mereka memanfaatkan tangan negara? (mda)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022