Penulis: Pulung Ciptoaji
Surabaya, Selama ini nama Bung Tomo sangat identik dengan pertempuran Surabaya. Pidato berapi-api di radio pemberontak bawah tanah hingga kini masih bisa didengar. Pemuda Sutomo yang dikenal aktifis gerakan dan wartawan itu, aktif dalam gerakan propaganda bersama Ktut Tantri seorang warga negara Amerika Serikat. Bung Tomo bermarkas berpindah-pindah, dan terakhir di sebuah rumah Jalan Mawar Surabaya.
Bung Tomo pemimpin radio pemberontak menyampaikan pidato yang fenomenal mengajak warga surabaya untuk bertempur melawan sekutu. Foto net
Sebenarnya ada tokoh lain yang menentukan pertempuran 10 november di Surabaya itu. Dia adalah Gubernur Jawa Timur pertama yaitu Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau disebut juga Gubernur Suryo. Pria kelahiran Magetan pada 9 Juli 1898 ini putra dari Raden Mas Wiryosumarto, seorang ajun jaksa di Magetan. Setelah tamat pendidikan dasar di HIS, kemudian melanjutkan sekolah ke Sekolah Pamongpraja (OSVIA) di Magelang. Pada 1918, ia menyelesaikan pendidikan di OSVIA, dan selanjutnya bekerja sebagai pamong praja di Ngawi. Kemuadian dipindahkan ke Madiun sebagai mantra Veldpolitie. Pada 1922, ia mengikuti pendidikan polisi di Sukabumi. Pada masa revolusi kemerdekaan, Sukarno mengangkat Gubernur Suryo menjadi Gubernur Jawa Timur pada 5 September 1945.
Gubernur Jawa Timur pertama yaitu Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo
Mengutip e-journal pendidikan sejarah berjudul Peran Doel Arnowo di Surabaya Tahun 1945-1952 tulisan Mita Indrawati, saat diangkat menjadi gubernur, Raden Suryo masih menjabat Residen Bojonegoro. Agar pemerintahan di Jawa Timur berjalan lancar, pada 6 Oktober 1945, turut diangkat Residen Sudirman sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur dan merangkap sebagai Residen Surabaya. Sukarno sengaja menunjuk Raden Suryo dengan pertimbangan sangat paham karakter warga Jawa Timur. Berbagai karier pernah dia jabat mulai pegawai pamong praja dan selalu berpindah tempat. Sehingga Jawa Timur membutuhkan yang paham kepemimpinan dan sosok disegani.
Pemerintahan Jawa Timur mulai berjalan 12 Oktober 1945. Artinya setiap tanggal 12 Oktober, secara resmi Provinsi Jawa Timur resmi dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia yang sah. Selama membentuk Provinsi Jawa Timur di negara yang baru berdiri, Gubernur Suryo bekerja secara kolektif bersama stafnya. Para staf di Kantor Gubernur Suryoan Jalan Pahlawan Surabaya ini bekerja menyusun program dan anggaran dengan tradisi birokrasi yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan Belanda. Anggota staf itu Doel Arnowo, Mr Dwijoyosewoyo, Bambang Suparto, Subyantoro, Roeslan Abdulgani sebagai sekretaris Gubernur Suryo dan Residen Sudirman sebagai wakil.
Dibalik sosoknya yang tenang dan penuh kematangan memimpin sebuah wilayah, sang gubernur juga dikenal sosok yang tegas dan pemberani. Praktisi sejarah Kuncarsono berpedapat justru Gubernur Soerjo sebagai aktor pertempuran Surabaya.
Semua berawal saat masa bersiap atau masa transisi berakhirnya pemerintahan Jepang. Warga di seluruh Indonesia sangat euforia menyambut proklamasi yang dibacakan Sukarno Hatta. Mereka melakukan aksi vandalis dan liar. Banyak tempat-tempat simbul simbul penjajahan diserbu. Di Surabaya, kelompok pemuda berhasil melucuti persenjataan Garnisum dan Tentara Angkatan Laut Jepang. Konon para pemuda ini merampas 2 ribu lebih pucuk senjata, mortir dan arteri anti tank.
Hari itu, 26 Oktober 1945 nasib buruk menimpa sebuah konvoi truk berisi wanita dan anak-anak Belanda yang melintas di Jalan Darmo. Mereka dikawal pasukan Inggris keturunan India untuk dipindah ke kawasan pelabuhan. Setiba di perempatan, mereka disergap dan dihabisi secara anarki. Sebagian dari mereka melarikan diri menuju kampung-kampung dengan pengawalan tentara Gurka. Namun mereka yang tertangkap tetap dibunuh dan dibakar. Beberapa dari mereka yang lolos segera melapor ke pos militer atas aksi biadap tersebut.
Sejumlah pemuda asal Jawa Timur memilih pulang saat menghadiri Kongres Pemuda yang digelar di Yogjakarta pada 10 November 1945. Foto net
Atas kejadian Aksi liar ini membutuhkan pemimpin lokal yang bisa mengendalikannya. Peran Gubernur Suryo menenangkan massa yang mempraktekan revolusi sosial itu sejak kedatangan Sukarno yang hendak berunding dengan tentara Inggris di Gedung Negara Grahadi. Gubernur Suryo menyambut rombongan Sukarno Hatta dengan mengutus beberapa pemuda di bandara. Saat pesawat Sukarno yang mendarat disergap dan ditembaki, para pemuda utusan ini segera memerintahkan untuk dihentikan. Tidak lama kemudian Sukarno keluar dari pesawat dengan melambaikan bendera merah putih. Mengetahui yang datang adalah pemimpin revolusi, secara serempak para pemuda keluar dari persembunyiannya untuk menyambut Sukarno Hatta.
Rombongan itu memasuki jip untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat perundingan dengan pengawalan pemuda rakyat. Di sana sudah menunggu Gubernur Suryo beserta staf dan pemimpin revolusi Surabaya drg Mustopo. Sebagai tuan rumah, Gubernur Suryo menjamu makan malam di tempat menginap Gedung Negara Grahadi. Namun situasi perang memaksa makan malam menjadi kepanikan, setelah penemuan 5 mayat tentara gurka tanpa kepala mengambang di bantaran kali mas dekat Gedung Negara Grahadi. “Semua rombongan melihat pemandangan yang ironis, yaitu bau anyir membuat tahan nafas dan tahan lapar,”.
Hari itu tanggal 30 oktober 1945, dan Gubernur Suryo masih menjadi tuan rumah perundingan genjatan senjata antara Republik Indonesia dengan Tentara Sekutu. Beberapa pempimpin lokal sengaja diundang untuk berunding di Kantor Gubernur Jalan Pahlawan Surabaya. Mereka yang terlibat Residen Sudirman, pemuda Ruslan Abdulgani. Hasilnya penghentian aksi tembak menembak serta memberi kesempatan warga Darmo Surabaya untuk eksodus ke kawasan pelabuhan. Usai genjatan senjata disepakati, rombongan Sukarno Hatta meninggalkan Surabaya dengan pesawat yang sama.
Namun ternyata genjatan senjata itu hanya berakhir dalam hitunan jam pasca Sukarno Hatta kembali ke Jakarta. Lagi-lagi Gubernur Suryo harus menenangkan suasana Surabaya yang justru semakin panas. Terdengar kabar Brigadir Jenderal Mallaby tewas terbunuh di sebuah aksi sabotase. Tentu ini merupakan peringatan keras dan harus ada tindakan yang tepat. Sebab kejadian tanggal 30 Oktober 1945 yang menewaskan Brigadir Jenderal Mallaby telah diberitakan media asing dengan tuduhan peristiwa yang mengerikan.
Tanggal 31 Oktober di Jakarta, Sukarno telah menerima laporan kematian Brigadir Jenderal Mallaby pemenang pertempuran di Asia Pasifik dengan nada meremehkan. Menurut Si Bung, merupakan tanggung jawab sendiri sebagai pemimpin Republik Indonesia. Dia menjelaskan sudah berusaha meredakan pertempuran dengan perundingan dan genjatan senjata. Namun kedua belah pihak sulit dikendalikan dan Sukarno seakan-akan membenarkan terbunuhnya sang jendral. Sebab bagi Sukarno, kehadiran tentara Inggris dianggap membuka jalan bagi NICA masuk kembali menjajah Indonesia. Sementara itu bagi Inggris, tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby tidak bisa diterima begitu saja harus ada tersangka. Christison melalui radio memerintahkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan pelaku pembunuhan, atau pilihan lain akan diluluhlantakan. Maka, Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menyebarkan selebaran ke penduduk Surabaya pada tanggal 9 November. Isinya, meminta semua senjata dan tawanan diserahkan ke tentara sekutu beserta para pempimpin dan penguasa. Batasnya tanggal 10 pukul 06.00 Wib pagi.
Dalam bukunya Sukarno Biografi 1901-1950 tulisan Lambert Gierbel menggambarkan betapa gusarnya Sukarno mendengar ultimatum tentara sekutu. Namun hal itu tidak terjadi bagi sang Gubernur Suryo yang tetap tenang menghadapi situasi. Malam hari pada tanggal 9 November 1945, Residen Sudirman bertanya kepada Sukarno melalui telpon tentang apa yang harus dilakukan terhadap situasi genting di Surabaya. Sebenarnya Sukarno ingin menyampaikan bahwa Inggris bukan musuh Indonesia seperti yang disampaikan pada perundingan sebelumnya. Namun menyerahkan persoalan itu ke Menteri Luar Negeri Soebarjo. Maka malam itu juga Soebarjo membujuk markas besar tentara Inggris di Jakarta agar menahan pasukan untuk tidak bergerak. Namun kepercayaan Inggis terhadap kemampuan dan kewibawaan pemimpin Republik Indonesia sudah berakhir dan tetap akan melakukan serangan di Surabaya.
Hari itu tanggal 9 November pukul 23.00 Wib malam, pemerintah Provinsi Jatim memberi kabar situasi sulit di Jakarta. Hasilnya persoalan ini diserahkan ke pemimpin-pemimpin di daerah. Melihat situasi genting, tengah malam warga Surabaya menyiapkan diri. Kelompok ekstrimis dan kelompok moderat dan birokrat menyatukan diri untuk melawan. Sebagai Gubernur yang bertanggung jawab terhadap wilayah, menyampaikan sesuatu yang penting di radio-radio yang berisi memoar.
“Saudara-saudara,
Pemerintah kita di Jakarta diminta hari ini juga memecahkan persoalan di Surabaya, sayang tanpa hasil. Oleh karena itu kami di Surabaya berpegang pada kesimpulan kami sendiri. Marilah kita berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa agar diberikan kekuatan jiwa dan raga dan karunia dan kekuatan dalam perjuangan kami.
Selamat berjuang”
(pul)