images/images-1676019038.png
Tokoh

Skripsi Bung Tomo di Universitas Indonesia Tentang Ekonomi Desa

Pulung Ciptoaji

Feb 10, 2023

351 views

24 Comments

Save

Penulis : Pulung Ciptoaji

 

abad.id- Umumnya sejarah hanya mencatat sosok Bung Tomo saat peristiwa agresi militer di Surabaya dan pidato heroik yang membangkitkan semangat perang jihad. Padahal banyak hal yang bisa digali dari Sutomo nama asli Bung Tomo ini. Pria kelahiran Blauran Surabaya 3 Oktober 1920 sangat senang dengan kegiatan mobilisasi massa sejak masih sekolah MULO.

 

Lahir dari seorang ayah yang sangat bangga dengan nilai nilai ksatria Jawa bernama Kartawan Ciptowijiyo. Kesadaran tentang cinta tanah air muncul karena sang kakek seorang pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Kartawan Ciptowijiyo pernah bekerja sebagai asisten di kantor pajak, perusahaan ekpor impor milik Belanda dan terakhir sebagai polisi pamong praja. Pekerjaan sambilan Kartawan menjadi distributor mesin jahir merek Singer. Keluarga ini sangat mendukung tekad Bung Tomo dalam berorganisasi, namun tetap menuntut pendidikan sampai tuntas.

 

Petualangan di kegiatan kepemudaan diawali hanya ikut ikutan di usia 12 tahun. Bung Tomo sudah sering bolos sekolah. Beruntung kedua orang tua Bung Tomo memberi kesempatan hingga pendidikan dasar selesai. Bahkan mendesak untuk melanjutkan sekolah di HBS yang standart sekolah sangat  berkwalitas seperti di Belanda. Tentu sekolah selama 5 tahun tersebut sangat menyulitkan Bung Tomo. Bukan karena tidak bisa mengikuti 19 mata pelajaran yang diajarkan, namun praktek diskriminasi yang dilakukan di sekolah tersebut membuatnya tidak betah. Bung Tomo memilih sering mbolos dengan alasan kegiatan laskar kepemudaan.

 

Lagi-lagi orang tua yang berharap anaknya lulus dari HBS harus mencari akal. Setelah melakukan perundingan dengan pihak sekolah, akhirnya Bung Tomo harus menyelesaikan pendidikan di HBS dengan pola korespondensi. Dengan cara ini Bung Tomo bisa lulus meskipun dianggap tidak resmi lulusan HBS.

 

Usia tamat dari HBS menambah kedewasaan pribadi Bung Tomo yang menghadapi banyak masalah  di organisasi laskar yang dia pimpin. Juga telah tamat pendidikan di tingkat dasar, sebagai syarat kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pamong. Namun tidak demikian, Bung Tomo semakin gila berorganisasi. Bahkan semakin sibuk saat terjadi aksi agresi militer Belanda di Surabaya hingga meletus perang 10 November. Bung Tomo yang saat itu sedang bekerja sebagai wartawan, sudah merasa berada di garis depan dalam menggelorakan semangat perlawanan terhadap sekutu. Pidato yang direkam di RRI benar-benar telah menjadi api pembakar mesiu. Saat itu, siapapun akan melawan untuk menyatakan tidak dijajah lagi.

 

Bung Tomo Masuk Kuliah di Universitas Indonesia

 

Dalam buku pekik Bung Tomo tulisan Abdul Wahid, dikatakan pasca perang selesai justru membuat situasi organisasi gerakan massa makin sulit. Peristiwa itu tahun 1950, menandai semua laskar-laskar  militer dan TNI melanjutkan kegiatannya dengan kembali ke barak. Banyak peristiwa politik dimulai sejak tahun tersebut, mulai peleburan KNIL dan PETA menjadi satu dalam tubuh TNI. Serta pembubaran tentara pelajar (TRIP) yang para anggotanya mendapat opsi pilihan melanjutkan ke militer atau kembali ke bangku sekolah.

 

Bagi Bung Tomo yang menjadi pemimpin kelompok pergerakan pemuda, pilihannya melanjutkan berkiprak ke kegiatan politik. Beberapa partai sudah siap menerima Bung Tomo yang dikenal kritis dan berani. Sementara tuntutan orang tuanya, harus melanjutkan sekolah perguruan tinggi hingg tuntas. Bagi Bung Tomo, sekolah di perguruan tinggi belum mendesak. Sebab masih suka menjadi aktifis sosial kepanduan yang berjiwa bebas, dan bisa mencurahkan banyak waktunya untuk kepentingan banyak orang.

 

Lalu Kartawan Ciptowijiyo memberi contoh sosok pejuang lain seperti Sukarno dan Hatta yang lulus dari perguruan tinggi. Dengan kata lain ayahnya mengingatkan, justru kalau menjadi mahasiswa maka sangat mudah untuk berjuang dengan mengatas namakan rakyat.

 

Makam Bung Tomo di kuburan ngagel Surabaya. Foto Pulung

 

Memang usia senja itu pasti, sedangkan kesempatan tidak akan datang ke dua kalinya. Akhirnya Bung Tomo mendaftarkan diri di Universitas Indonesia Jakarta pada tahun 1958 sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi. Sebenarnya itu pilihan yang tidak melekat di hati Bung Tomo yang dikenal pejuang dan pandai memobilisasi massa. Bukan berangkat dari pilihan pribadi, namun karena usulan keluarga. Harapan keluarga Bung Tomo kelak menjadi ahli ekonomi yang bisa memberikan solusi terhadap persoalan bangsa.

 

Keluarga besar belajar dari krisis selama perang dunia ke 2 di Eropa sangat mempengaruhi jumlah warga makin miskin di tanah jajahan Hindia Belanda. Krisis makin parah ketika Jepang terlibat perang di Asia Pasifik. Pasca perang berkepanjangan ini, krisis ekonomi masih dirasakan hingga awal Bung Tomo masuk kuliah.

 

Awalnya semangat Bung Tomo untuk kuliah patut dipertanyakan. Apalagi kondisi umur yang sudah terlalu matang dan terlalu sibuk dengan urusan organisasi. Maka banyak kegiatan kampus tidak diikuti. Namun sejak dari mahasiswa, ada yang berubah dari pola perlawanan Bung Tomo terhadap ketidak adilan. Jika sebelumnya menggunakan pola memobilisasi massa, setelah menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi selalu berjuang dengan tulisan. Kritik-kritik keras terhadap pemerintah dilakukan melalui tulisan di media massa, hingga mengakibatkan telinga panas bagi yang membaca. Bung Tomo juga mengritik teman-temannya sesama mahasiswa yang hanya rajin kuliah, membaca di perpustakaan tanpa memikirkan nasib bangsanya. “ Predikat mahasiswa selayaknya diaktualitaskan dengan perjuangan, bukan dengan duduk manis di bangku kuliah. Tanpa itu predikat mahasiswa tidak akan memberikan arti sama sekali,” kata Bung Tomo.

 

Bung Tomo dalam sebuah tulisannya juga mengkritik niat kuliah agar hanya ingin menjadi pegawai negeri, atau hendak menjadikan studinya sebagai jembatan mencari pekerjaan. Baginya orang-orang seperti ini tidak ada niat menyelamatkan bangsanya. “ Cara berfikir seperti ini sangat prakmatis, dan akan mendatangkan bahaya bagi bangsanya karena indifidualis,” jelas Bung Tomo.

 

Bung Tomo juga sangat jarang muncul di kampus kecuali untuk urusan sangat penting. Apalagi berkumul dengan kawan-kawannya sesama mahasiswa. Kesibukannya sebagai aktifis di luar kampus dianggap banyak menyita waktu. Semua bisa dimaklumi para dosennya, sehingga masih memberi kesempatan kepada Bung Tomo untuk mengulang atau memberi tugas tanpa pernah ada perintah Droup Out.

 

Baru setelah menjadi mahasiswa selama 10 tahun, Bung Tomo berhasil mengikuti ujian kelulusan pada tahun 1968. Paling berkesan bagi Bung Tomo yaitu butuh waktu lama menyusun skripsi, tugas wajib karya ilmiah. Bung Tomo merasa butuh bahan dan data. Skripsi Bung Tomo saat itu berjudul Pengaruh Agama Pada Pembangunan Ekonomi di Daerah Pedesaan Indonesia. Sedangkan dosen pembimbing Prof Dr Selo Sumarjan. Skripsi ini berhasil dipertahankan melalui sidang ujian resmi dengan penguji Prof Djoko Soetomo, SH. Drs Mardjono dan Drs Soebroto.

 

Sripsi ini dianggap istimwa, sebab mencerminkan sisi pribadi Bung Tomo yang selalu membela rakyat kecil. Pada saat itu keterpurukan ekonomi akibat sisa-sisa penjajahan Belanda masih dirasakan, meskipun Indonesia sudah merdeka. Khsusnya masyarakat pedesaan yang masih banyak ditemukan orang miskin, pengangguran, serta buruh tani tanpa memiki lahan. Bung Tomo berharap kajian karya ilmiah tersebut digunakan pemerintah untuk bahan menyusun kebijakan pro rakyat. Setelah melewati yudisium, Bung Tomo boleh menyandang gelar doktorandus pada tahun 1969. (pul)

 

 

 

 

 

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022