Umpak kuno di komplek makam Sedo Masjid di jalan Tembaan, Surabaya. Guide TP Wijoyo beri keterangan sejarah klasik Surabaya. Foto begandring
Penulis : Nanang Purwono
abad-id-Tidak kurang dari 50 orang manapaki jejak peninggalan dan bukti keberadaan kedaton Surabaya bersama Surabaya Urban Track (Subtrack), yang dikelola oleh Perkumpulan Begandring Soerabaia, pada Minggu sore, 25 Desember 2022. Subtrack ini mengambil tema Alun Alun Surabaya.
"Ini adalah alun alun yang sesungguhnya. Sejarah alun alun ini diceritakan kepada publik berdasarkan sumber sumber sejarah baik berupa buku buku maupun kartografi (red: peta peta kuno) yang didukung oleh fakta fakta lapangan yang masih ada hingga sekarang", jelas Nanang Purwono, Ketua Begandring Soerabaia ketika mengawali jelajah sejarah, Subtrack di halaman berumput Tugu Pahlawan.
Selain Nanang Purwono yang bertindak sebagai pemandu (guide), ada juga Tri Wijoyo, Taufan Hidayat dan Kuncarsono. Mereka, secara bergantian, memandu rombongan yang tidak hanya diikuti oleh warga Surabaya tapi juga datang dari Sidoarjo.
Jelajah sejarah Subtrack ini menapaki alun alun pertama Surabaya, yang kala itu lebih dikenal dengan nama Surapringga. Area bekas alun alun Surapringga ini adalah di lingkungan Tugu Pahlawan, kelurahan Alun Alun Contong, kecamatan Bubutan.
"Kita berangkat jelajah sejarah Alun Alun Surabaya ini dari titik keberadaan alun alun Surapringga. Yaitu dimana kita berdiri sekarang", terang Nanang di tengah tengah lapangan Tugu Pahlawan.
Dijelaskan Nanang berdasarkan sumber sumber sejarah yang dikumpulkan oleh tim melalui survey sebelum dilaksanakan Subtrack bahwa kawasan Alun Alun Surapringga ini sudah ada sebelum Laksamana Speelman masuk Surabaya pada kisaran tahun 1677 ketika menghadapi Trunonoyo. Dalam laporan Speelman atas penyerbuannya terhadap Trunojoyo yang berpangkal di Surabaya, ia menggambarkan bahwa di kawasan Tugu Pahlawan ini sudah ada paseban dan pusat pertahanan Trunojoyo yang bermarkas di pendopo Surapringga.
Setelah dari situs alun alun Surapringga, para Subtracker (julukan bagi para peserta Subtrack) diajak ke komplek pemakaman kuno di jalan Tembaan, yang letaknya di selatan Tugu Pahlawan. Tri Prio Wijoyo, anggota tim yang membidangi sejarah klasik, menjelaskan tentang kuburan kuno itu. Disana ada makam Kiai Sedo Masjid.
"Konon menurut cerita rakyat yang berkembang bahwa Kiai Sedo Masjid ini adalah seorang takmir Masjid yang tewas tertembak ketika mempertahankan Masjid yang ada di area alun alun", jelas Tri Prio Wijoyo
Masjid yang dimaksud Wijoyo adalah masjid alun alun yang bernama Raudlatul Musyawarah. Karena kawasan alun alun ini selanjutnya dipakai untuk pengembangan infrastruktur kota Surabaya oleh pemerintah Hindia Belanda, maka masjid alun alun ini dibongkar.
Cerita keberadaan masjid ini menjadi bagian dari riwayat alun alun Surapringga (Surabaya). Cerita lainnya yaitu keberadaan makam kuno yang secara struktur tata ruang makam tidak berbeda dengan makam kuno lainnya, seperti komplek makam Sunan Ampel, makam para bupati Surabaya di Bibis dan di Boto Putih Pegirian.
"Dulu, ruang lahan dimana makam Kiai Sedo Masjid ini berada di ruang bagian belakang atau selatan dari komplek makam. Pintu masuk dulu berada di selatan dengan melewati gapura paduraksa. Selanjutnya memasuki gapura paduraksa kedua. Terakhir harus melewati gapura ketiga untuk sampai di area dimana makam Kiai Sedo Masjid ini", jelas Wijoyo yang menjelaskan dengan berdiri di sisi makam Kiai Sedo Masjid.
Lebih lanjut Wijoyo menjelaskan ciri ciri orang yang dihormati dapat dilihat dari bentuk makamnya. Yakni makamnya dibuat jauh lebih tinggi dibandingkan denganmakan lainnya. Kontruksi makam ini untuk menggambarkan tanah tinggi atau yang biasa disebut Siti Hinggil.
Di area makam juga ditemukan sebuah umpak yang terbuat dari batu andesit. Umpak adalah alas atau landasan (padestal) untuk menaruh saka atau tiang rumah joglo atau gasebo yang terbuat dari batu asli (andesit).
Dari komplek makam kuno, kemudian perjalanan sejarah menyisir trotoar jalan Pahlawan sisi barat. Tepat di depan kantor Gubernur Jawa Timur, rombongan berhenti. Sambil memandang ke arah kantor Gubernur Jawa Timur, Kuncarsono (guide berikutnya) menjelaskan.
"Di sebelah utara gedung kantor gubernur ada penanda nol kilometer dan penanda ini dipasang pada tempat penting di suatu daerah. Tempat penting di Surabaya adalah dimana lokasi pemerintahan berada. Sebelum menjadi kantor gubernur Jawa Timur, di sinilah letak kedaton Surabaya. Menurut sumber sejarah, disinilah Eerst Regent Woning van Soerabaja (kediaman bupati Kasepuhan Surabaya) berada", jelas Kuncarsono.
Alun Alun Surapringga, yang berada di lingkungan Tugu Pahlawan sekarang, harus berpindah ke utaranya tugu Pahlawan karena area Tugu Pahlawan saat itu dialih fungsikan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Perpindahan itu ada di kawasan kemayoran, Krembangan, dimana di kawasan itu masih dikenali jejak peninggalan Kraton Surabaya. Salah satunya adalah di situs yang berdiri gedung Kantor Pos Besar Surabaya.
Kantor Pos ini dibangun pada 1928. Sebelum ada kantor pos, disana pernah berdiri kediaman Bupati Surabaya yang dibangun pada 1840-an. Gaya arsitektur bangunan adalah Indische yang memang menjadi tren pada abad 19.
Bupati Surabaya menempati kantor Kabupaten ini hingga 1881 karena bupati menempati rumah kediaman baru di ujung jalan Pregolan di kawasan Tegalsari. Sementara kediaman bupati Surabaya di Krembangan ditempati oleh sekolah Hogere Burger School (HBS) Surabaya dimana Presiden Soekarno belajar (1916-1921). Pada 1923 HBS pindah ke Ketabang. Dari 1923 gedung Kabupaten ditempati oleh polisi Surabaya sampai 1928. Di tahun 1928 inilah gedung dibongkar untuk didirikan kantor Pos Besar Surabaya, yang gedungnya masih berdiri hingga sekarang.
"Soekarno bersekolah menempati gedung kediaman bupati. Bukan gedung kantor pos, yang dibangun pada 1928. Soekarno lulus dari HBS tahun 1921", jelas Kuncarsono meluruskan informasi yang selama ini beredar bahwa kelas Soekarno di dalam gedung Kantor Pos yang dibnagun pada 1928.
Dari Kantor Pos, tracking berlnjut ke Masjid Kemayoran yang merupakan Masjid pengganti dari area Tugu Pahlawan. Berdasarkan data prasasti yang tertempel di dinding masjid bahwa masjid dibangun pada 1772-1776 tahun Jawa. Selisih tahun Jawa dengan masehi berkisar 72 tahun. Sehingga bila dikonversikan 1776 Tahun Jawa ke tahun Masehi maka ketemu 1848 Masehi.
Jadi masjid kemayoran ini dibangun pada 1848 M. Angka tahun ini diperkuat dengan penanda angka tahun yang menghiasi gawel masjid. Terpahat di sana angka 1935.
Surat kabar Soerabaiasche Handelsblad 1934 memberitakan tentang perluasan Masjid. Dikabarkan bahwa perluasan Masjid (1934) setelah 86 tahun pembangunan Masjid.
"Jadi jika dihitung mundur 86 tahun dari tahun 1934, maka akan ketemu angka 1848. Angka ini (1848) sesuai dengan konversi Tahun Jawa 1772-1776 sebagai mana tertulis pada prasasti masjid", jelas Nanang.
Melihat penanggalan angka tahun pembangunan Masjid Raudlatul Musyawarah Kemayoran pada 1848 terhitung sejaman dengan angka tahun pembangunan kediaman Bupati Surabaya pada 1840-an.
"Ini menunjukkan bahwa pembanghnan alun alun baru di utara Tugu Pahlawan ini dilakukan terpaket", tambah Nanang.
Lantas dimanakah alun alun nya? Alun alun Surabaya di kemayoran ini berada di lahan di antara Masjid dan Kantor Pos. Di lahan yang sekarang telah berdiri sekolahan Ta'muriyah dan SMPN 2 Kepanjen.
Penanda berikutnya bahwa alun alun Surabaya pernah ada di wilayah kelurahan Kemayoran, kecamatan Krembangan adalah adanya Kampung Kauman. Kampung ini persis di barat Masjid. Namanya Kemayoran Kauman. Kampungnya kecil dan ada dua gang yang menyandang nama Kemayoran Kauman. Di kampung, yang dulu tempat bermukim kaum Islam dalam memakmurkan Masjid, jelajah sejarah Subtrack berakhir.
Busana Klasik
Subtrack selalu unik dan menarik. Bukan hanya tema tema yang dihadirkan yang merupakan hasil penelusuran sejarah, tapi dalam aksi Subtrack, para awak Subtrack mengenakan busana busana yang tematik.
Kali ini dengan tema klasik Alun Alun Surabaya, para awak Subtrack mengenakan busana ala Jawa. Bawahan memakai kain batik (sewek), atasan baju lurik dengan mahkota kepala berupa kain ikat atau udeng.
Apa yang dikenakan para awak Subtrack ini untuk menambah atmosfir kegiatan jelajah sejarah sesuai temanya. Busana Jawa dikenakan karena tema yang diangkat adalah cerita klasik Surabaya. Yakni ketika Surabaya masih dalam bentuk pemerintahan tradisional Kabupaten.
Adalah pengaruh Mataram ketika sistim pemerintahan lokal mengacu kepada pemerintahan di atasnya. Mataram dengan sistim monarki mempengaruhi sistim pemerintahan di bawahnya. Surabaya adalah salah satu pemerintahan bawahan Mataram.
Sejak 1625, ketika Surabaya jatuh ke tangan Sultan Agung Mataram, sistim pemerintahan nya langsung dikendalikan Mataram. Tidak hanya sistim pemerintahan saja yang dibawah pengaruh Mataram, tata sosial dan budaya Surabaya juga dalam pengaruh Mataram. Administrasi pemerintahan klasik hingga tata ruang pusat pemerintahan Surabaya meniru pola dan ala Mataram.
Maka ketika menyuguhkan narasi sejarah klasik Surabaya melalui program Subtrack, krew Subtrack mengenakan busana tradisional Jawa untuk mendukung narasi.
Di situs komplek kediaman Bupati Surabaya (Kabupaten Surabaya) di jalan Kebon Rojo, Surabaya.
Foto begandring
"Kami mengenakan busana Jawa seperti ini untuk memberi visualisasi sejarah Surabaya di era kekadipatenan dan kekabupatenan. Kami mengajak peserta Subtrack memahami sejarah kota yang kala itu masih berbentuk kadipaten dan kabupaten", terang Manajer Subtrack, Taufan Hidayat di sela sela jelajah Alun Alun Surabaya.
Sementara itu di tempat terpisah, tokoh penggerak kebudayaan Kota Surabaya, yang juga Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, A Hermas Thony mengapresiasi pegiat sejarah Begandring Soerabaia yang mau memperkenalkan busana tradisional di tengah tengah aktivitas moderen Kota Surabaya.
"Saya salut dengan kawan kawan yang konsisten dalam menggali dan memperkenalkan sejarah dan budaya Surabaya melalui aktivitas nya. Mereka mau mengenakan busana tradisional sebagai upaya memperkenalkan busana klasik orang orang Surabaya di era moderen. Yang dilakukan kawan kawan ini sebagai wujud dan aktualisasi Raperda Pemajuan Kebudayaan dan Nilai Nilai Kepahlawanan Kota Surabaya yang sekarang masuk dalam mekanisme proses pembahasan", terang AH Thony.
Thony menambahkan aksi nyata pemajuan kebudayaan dan proses pembentukan Raperda pemajuan kebudayaan sudah berjalan beriringan.
"Dengan demikian, ketika saatnya Raperda berubah menjadi Perda, masyarakat tidak gagap mengikuti Perda yang ada", tambah Thony.
Apa Kata Subtracker?
Berikut ini apa kata peserta jelajah sejarah Subtrack yang mengambil tema Alun Alun Surabaya:
Yuska Harimurti, Penggerak GUSDURian Jawa Timur
Saya selalu takjub dengan temuan temuan yang ditunjukkan oleh tim Subtrack yang dimotori oleh kawan kawan Begandring Soerabaia seperti Mas Kuncar, mas Nanang dkk . Saya sudah ikut beberapa kali.
Pertama kali saya ikut Subtrack dengan menyusuri kawasan Ampel. Pada Subtrack berikutnya, saya selalu berusaha untuk ikut. Namun ada jadwal yang saya gagal ikut karena kendala waktu. Saya gagal ikut untuk ikut tracking di kawasan Gubeng dan Pasar Pabean.
Kali ini dengan tracking rute Alun Alun Surabaya, alhamdulillah saya gak ketinggalan.
Ini rute luar biasa. Ini sejarah kebesaran Surabaya, tapi gak banyak orang Surabaya mengetahui sejarah ini.
Menurut saya, apa yang diupayakan oleh teman teman tentang sejarah kota ini adalah sebuah upaya yang sangat penting dan tak ternilai harganya dalam menjaga sebuah peradaban. Kota boleh maju, tapi jangan melupakan dan bahkan hancurkan sejarahnya.
Prasasti bukti pembangunan masjid kemayoran 1772-1776 (1844-1848 M).
Foto begandring
Karena dari sejarah inilah kita akan semakin paham bagaimana sebuah peradaban ini berawal dan menuju kemana. Kita tinggal melihat dan mengkomparasi dengan kondisi yang ada saat ini.
Subtrack dengan segala kapasitas para guide sekaligus sejarahwan yang sangat mumpuni memungkinkan kita menjadikan sebuah pelajaran sejarah menjadi hal yang menyenangkan. Semoga akan semakin banyak yang tertarik dan mendukung kerja kerja tim Subtrack di masa yang akan datang.
Saya tunggu etape Subtrack berikutnya.
Fifin Maidarina, penulis
Surabaya punya banyak titik sebagai wisata sejarah dan ini terbukti dengan track yang ditawarkan oleh Begandring dan Subtracknya. Selalu ada rute rute menarik yang menjadi temuan temuan mereka.
Tracking wisata yang kali ini menawarkan wisata jejak Alun alun Surabaya memberikan pemahaman tentang posisi dan sejarah alun-alun Surabaya yang sebenarnya. Bahkan ada sejarah pemindahan lokasi alun-alun dari kawasan Tugu Pahlawan (keluraghan Aalun alun Contong) ke kawasan kelurahan Kemayoran, yang sebelumnya saya benar benar tidak tahu. Saya yakin banyak orang seperti saya yang belum tau sejarah Alun Alun Surabaya ini.
dr Moenik
Baru kali ini saya ikut jelajah sejarah Subtrack. Ternyata sangat edukatif dan menyenangkan. Saya berharap program edukatif ini disosialisasikan kepada sekolah sekolah dan pemerintah yang memegang kebijakan.
Untuk pemasyarakatan kegiatan edukasi ini, kiranya bisa dilakukan semacam lomba lomba yang bertema sejarah pada momen momen seperti Hari Jadi Kota Surabaya. Pemerintah Kota bisa bekerja sama dengan Begandring Soerabaia melelui programnya Jelajah Sejarah Subtrack. (Tim)
. .
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Kalau kita jalan ke sekitar Praban pasti kita bisa dengan mudah menemui makam Joko Jumput. Makam Joko Jumput terletak diapit dua toko dan pintu gerbangnya mudah terlihat di pinggir jalan utama praban. Jika masuk ke makam tersebut, terdapat sebuah lorong sempit menuju makam. di dalam komplek makam terdapat 4 makam. Keempat makam itu adalah makam Joko Jumput dan ibu angkat bernama Mbok Rondo Praban Kinco. Lalu makam Putri Purbowati yang diketahui sebagai istri Joko Jumput. Putri Purbowati adalah anak raja pertama Surabaya Adipati Jayengkrono. Sedangkan makam satunya lagi adalah makam ibu kandung Joko Jumput.
Penemuan makam Joko Jumput di kawasan padat pertokoan ini karena kejadian luar biasa. Sebab sebelumnya nama Joko Jumput berkali-kali disebutkan dalam legenda cerita rakyat. Bahkan di serat babad tanah jawa juga disebutkan nama Joko Jumput, namun tidak pernah ditemukan dimana petilasannya. Joko Jumput seperti hilang ditelan bumi, setelah peristiwa pertarungan melawan Joko Taruno.
Menurut informasi Farid Faiza tokoh masyarakat Praban Surabaya, Joko Jumput ini masih ada hubungan darah dengan Raden Patah, Raja Demak. Joko Jumput masih salah satu pangeran di Kerajaan Majapahit yang diasuh oleh ibu angkat bernama Mbok Rondo Praban Kinco. Ibu Joko Jumput dikenal sebagai pembuat jamu. Bukti bahwa kawasan Praban memiliki peran penting dalam perluasan wilayah Surabaya, yaitu ditemukan sebuah lesung dan pipihan untuk membuat jamu. Kedua benda ini diyakini sebagai barang peninggalan Mbok Rondo Praban Kinco.
Sedangkan penemuan makam Joko Jumput berawal dari peristiwa kebakaran hebat tahun 1984 di kawasan pertokoan Praban. Kusnandar saksi yang masih hidup dari peristiwa tersebut menceritakan, kebakaran hebat melalap habis pertokoan. Setelah api berhasil dipadamkan, warga dan pemilik bangunan mulai mencari bongkahan bangunan atau barang yang bisa diselamatkan. Dari puluhan bangunan yang hancur jadi debu itu, terdapat sebuah tempat kamar seorang pembantu yang masih utuh tanpa dilalap api. Warga semakin penasaran karena dibawah tempat tidur tersebut terdapat 4 buah maesan. Takut pernah terjadi peristiwa sesuatu, warga secara swadaya berusaha menggali kuburan tersebut. Sementara warga lain lebih percaya mendatangkan orang pintar dari kawasan Ampel untuk menyelidiki siapa yang dikubur ditempat itu. “hasil penerawangan sesepuh Ampel dan keterangan dari banyak orang pintar, orang yang dikubur bernama Joko Jumput. Tokoh ini sudah lama dianggap hilang mesipun namanya sangat melegenda,” kata Kusnandar.
Penemuan makam Joko Jumput di kawasan padat pertokoan setelah kejadian luar biasa. Foto Pulung
Sejak awal pemilik toko yang terbakar tidak pernah mengetahui bagian kamar belakang itu ternyata sebuah kuburan. Pemilik toko tersebut membeli dari pihak lain dan melewati banyak generasi kepemilikan. Ada dugaan pada masa pemerintahan Hindia Belanda sengaja merahasiakan makam Joko Jumput ini, sebab dianggap para pengikutnya bisa menggelorakan semangat perlawanan. Sejak penemuan makam Joko Jumput, pemilik rumah merelakan sebagian tanahnya untuk jalan menuju makam. Serta bagian kamar yang sebelumnya menjadi satu dari toko tersebut dijadikan cagar budaya makam Joko Jumput.
Kisah Joko Jumput Terlibat Legenda Perluasan Wilayah Kadipaten Surabaya
Salah satu kisah yang terkenal dari legenda Joko Jumput adalah kisah Sayembara yang diadakan oleh Kusumaning Ayu Purbowati putri dari Adipati Jayengrono II. Di mana dalam Babad menurut catatan Dian Roesmiati dari FIB Unair cerita masyarakat kampung Praban, bahwa ada dua orang pemuda yang ingin meminang Purbawati. Orang pertama yang ingin meminang seorang putra Bupati Sampang yaitu Raden Situbondo. Tubuhnya memang cacat tetapi jangan ditanya soal kesaktian, Raden Situbondo ini kesaktianya luar biasa. Pihak lain yang ingin meminang adalah Putra Bupati Kediri Raden Joko Taruno. Dilamar dua pemuda putra bupati membuat sulit membuat keputusan, akhirnya Purbowati berkonsultasi dengan ayahnya. Lantas dibuatlah sebuah sayembara.
Mengingat wilayah kadipaten Surabaya yang masih sempit dan dikelilingi hutan belantara, maka bagi siapa saja yang mampu mbabat alas sebanyak – banyaknya untuk diajadikan pemukiman penduduk dialah yang akan dijadikan suami oleh Dewi Purbowati. Syarat lain, tidak saat melakukan babat alas perluasan wilayah kadipaten ini peserta tidak boleh membawa benda pusaka.
Bagi Raden Situbondo hal ini bukanlah hal yang sulit mengingat akan kesaktianaya. Dengan mudah ia membabat alas kawasan utara Surabaya. Padahal wilayah hutan disekitar kadipaten Surabaya terkenal sangat angker. Tidak hanya binatang buas akan tetapi terkenal sebagai tempat jin buang anak. Ada beberapa kisah yang menarik dari Raden Situbondo ketika ia mbabat alas di hutan Surabaya diantaranya adalah saat ia bertemu dengan singa jadi – jadian yang berasal dari kerajaan Jin – Trung. Keduanya bertarung dan akhirnya singa jadi jadian itu kalah dan mengaku takluk pada anak Bupati Sampang tersebut. Setelah kejadian tersebut penduduk setempat memberikan nama Simo Katrungan. Nama Simo berasal dari bahasa jawa Singa sedangkan Katrungan diambil dari Jin – Trung. Tidak kalah sakti dari Raden Situbondo, Joko Taruno melakukan babat alas dari sisi selatan. Dengan kemampuan saktinya, Raden Taruno dengan mudah menaklukan semua hambatan. Sekali tangan diangkat ke atas, maka seketika pohon-pohon besar tumbang. Hingga suatu ketika keduanya bertemu di sebuah titik yang sama sama hendak dibabat alasnya.
Merasa sudah kerja keras, keduanya bertarung dengan kesaktiannya masing-masing. Rupanya kemampuan bela diri tangan kosong Raden Situbondo jauh lebih tinggi dari pada lawannya. Sehingga dengan sekali pukulan, tubuh Joko Taruno melayang jauh dan tersangkut di sebuah pohon besar.
Ditempat lain Desa Untaran wilayah Tandes, hidup seorang janda penjual jamu bernama Mbok Rondo Praban Kinco. Dia tingal bersama anak angkat laki-laki yang ditemukannya dari hutan. Namanya Joko Jumput, yang diartikan anak pungut. Melihat ibunya yang sudah renta, Joko Jumput menggantikan perannya mencari bahan jamu di hutan. Hutan menjadi satu satunya lahan hidup bagi keluarga Joko Jumput ini.
Saat Joko Jumput mencari bahan jamu di hutan, sayup-sayup dia mendengar suara orang merintih minta pertolongan. Joko Jumput mendekati suara tersebut, dan ditemukan tubuh Joko Taruno sedang tersangkut di sebuah pohon yang sangat tua dan tinggi. Melihat orang kesakitan, Joko Jumput langsung memanjat pohon untuk menolong Joko Samudra. Setelah turun, dengan kemampuan membuat ramuan jamu Joko Jumput berhasil menyembuhkan luka di tubuh JokoTaruno.
“Sekarang ceritakan kepadaaku, apa yang terjadi sehingga engkau tersangkut di atas pohon,” tanya Joko Jumput
“ Sebelumnya saya bertemu dengan pemuda bernama Raden Situbondo di dalam hutan dan dia terlihat ingin merusak hutan,” kata Joko Taruno berbohong.
Mendengar cerita tersebut, tentu Joko Jumput marah. Sebab hutan yang dia tempati merupakan rumah dan sumber kehidupannya. Bagi keluarga Mbok Praban ini, semua bahan jamu dan ramuan tumbuh subur di hutan. Maka jika hutan punah, dipastikan tidak lagi mendapatkan bahan jamu yang menjadi mata pencahariannya.
Keduanya sepakat bergegas mencari Raden Situbondo untuk membuat perhitungan. Raden Situbondo ditemukan tidak jauh dari lokasi Joko Taruno tersangkut. Secara kebetulan Raden Situbondo sedang beristirahat di dekat pohon besar yang sudah rusak dan tumbang.
“ Hai bangun, ayo lawan aku”
“ Kamu siapa, berani sekali membangunkan aku yang sedang istirahat” kata Raden Situbondo.
“Namaku Joko Jumput dari Desa Tandes. Aku tidak terima hutan tempat aku tinggali ini kamu babat habis”
“Aku memang ingin membabas habis hutan ini karena untuk pemukiman, aku akan membuat desa baru di hutan ini. Kalau kamu tidak terima, memangnya kamu siapa,” hardik Raden Situbondo.
Mendengar tantangan Raden Situbondo itu membuat Joko Jumput sangat marah. Kemudian terjadi perrtarungan antar keduanya. Kemampuan bela diri tangan kosong Raden Situbondo sering membuat Joko Jumput kewalahan. Padahal Raden Situbondo sama sekali tidak mengeluarkan pusaka, sebab dalam aturan peserta sayembara tidak diperbolehkan babat alas tanah Suroboyo membawa pusaka. Saat situasi terdesak, dengan terpaksa Joko Jumput mengeluarkan senjata pusaka berupa cemeti lanang peninggalan ayah angkatnya seorang sais kuda. Secara sekilas cemeti lanang ini berukuran kecil. Namun jika diayunkan ke udara ujung cambuk mengeluarkan bara api seperti petir menyala. Melihat ukuran cemeti yang kecil itu dengan sombong Raden Situbondo justru meremehkan dan mempersilahkan Joko Jumput mencambuk tubuhnya. Seketika Joko Jumput mengayunkan cambuk dan mengenahi bagian kaki. Seketika tubuh Raden Situbondo yang sudah kerasukan roh singo tersebut lunglai tidak berdaya. Melihat Raden Situbondo tidak berdaya dan mengakui kekalahannya itu, Raden Taruno yang sebelumnya sembunyi di semak semak langsung muncul dan mengambil ikat kepala Pangeran Situbondo. Kemudian dengan liciknya, Joko Taruno berlari menuju hutan sambil membawa ikat kepala Raden Situbondo itu. rupanya Raden Taruno tengah menuju pendopo Kadipaten suroboyo untuk menemui Adipati Jayengrono, sambil meninggalkan Joko Jumput dan Raden Situbondo di tengah hutan.
Kedatangan Joko Taruno di pendopo kadipaten mengejutkan Adipati bersama Putri Dewi Purbowati. Rasa heran itu bertambah dengan disertakan ikat kepala Pangeran Situbondo kepada Adipati, yang menandakan bahwa Joko Taruno berhasil mengalahkan saingan beratnya Raden Situbondo. Tanpa menaruh curiga sekalipun, Adipati Jayengrono menerima ikat kepala tersebut untuk diputuskan pemenang sayembara. Namun belum sempat diumumkan, tiba-tiba datanglah Joko Jumput yang mengikuti larinya Joko Taruno. Kedatangan Joko Jumput ini juga mengadu telah dibohongi Joko Taruno yang mengaku telah mengalahkan Raden Situbondo. Mendengar dua cerita yang berbeda itu, adipati meminta keduanya untuk membuktikan kesaktiannya.
Sejak penemuan makam Joko Jumput, pemilik rumah merelakan sebagian tanahnya untuk jalan menuju makam.Foto Pulung
Menurut versi Farid Faiza juru kunci makam, Joko Taruno merasa malu di hadapan Adipati Jayengrono atas kedatangan Joko Jumput. Dengan penuh kemarahannya, Joko Taruno menyerang Joko Jumput dengan senjata sakti keris kolomunyeng. Meresa mendapat serangan mendadak, Joko Jumput mempertahankan diri dengan cambuk lanang yang bisa menyala api. “ Pertarungan berlangsung selama 7 hari 7 malam di kawasan alas Praban. Beberapa kali cambuk lanang diayunkan membuat pohon-pohon besar roboh dan bertumpang tindih (malang). Sejak saat itulah kawasan tersebut dikenal menjadi Embong Malang yang artinya pohon roboh yang malang melintang,” cerita Farid.
Pertarungan penuh emosi Joko Taruno ini membuat tenaganya semakin terkuras habis. Lama kelamaan Joko Taruno lengah, dan cambuk lanang mengenahi tubuh Joko Taruno hingga membuatnya jatuh tersugkur. Setelah Joko Taruno dikalahkan oleh Joko Jumput, semakin yakin pula Adipati Jayengrono terhadap siapa pemenang sayembara. Adipati menepati janjinya akan menikahkan dengan Putri Purbowati dan mengundang Mbok Praban ke kadipaten. Kepada Raden Situbondo diperintahkan untuk babat alas di wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Sementara Joko Taruno memilih pulang ke Kerajaan Kediri. (pul)
Bedah buku. Nanang Purwono (kiri), Purnawan Basundoro (dua dari kiri), Meimura (dua dari kanan) dan Kukuh Yudha Karnanta (kanan). Foto begandring
abad.id-Sebuah buku Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Surabaya telah lahir. Ini menambah khasanah kepustakaan kota Surabaya. Pada Jumat sore, 23 Desember 2022, buku itu diluncurkan dan dibedah di Balai Pemuda oleh Dekan FIB Unair Prof. Purnawan Basundoro, pegiat sejarah Nanang Purwono, dan seniman ludruk Meimura dengan moderator dosen FIB Universitas Airlangga.
Wali kota Surabaya, Eri Cahyadi, hadir dalam moment itu. Momen bedah buku merupakan satu rangkaian dengan Pengukuhan Bunda Literasi Kota Surabaya. Dalam sambutannya, Eri mengatakan, buku, khususnya Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Kota Surabaya ini, akan membantu menguak jati diri kota Surabaya. Karenanya pihak pihak terkait, misalnya Dinas Pendidikan Kota Surabaya bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota agar buku ini menjadi bahan bacaan pelajar di sekolah sekolah.
Purwanan Basundoro ketika mbedah buku Ensiklopedia. Foto begandring
"Dinas Pendidikan ada ya..? Nah, ya. Jangan sampai gak ada. Nanti silakan bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan agar buku ini menjadi bacaan di sekolah sekolah", pinta Eri kepada Dindik Kota Surabaya.
Harapan Eri ini sangat beralasan agar anak anak Surabaya secara dini sudah mulai diperkenalkan dengan sejarah dan budaya Kota yang menjadi jati diri Kota.
"Jangan sampai anak anak kita ini tidak mengerti jika ditanya tentang kelokalan Surabaya. Tapi mengerti tentang C Pop Korea", terang Eri yang merasakan khawatir jika budaya lokal dilindas budaya asing.
Agar tidak terlindas, maka orang Surabaya harus kuat. Untuk kuat harus membaca. Membaca bagai vitamin dan asupan bergisi yang harus dikonsumsi. Maka output dari membaca adalah pemahaman. Dengan pamahaman, orang Surabaya bisa memilih dan memilah, mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang sesuai dengan kearifan lokak dan mana yang tidak. Dengan begitu, orang Surabaya tidak bisa digilas oleh roda zaman yang tidak sesuai dengan budaya lokal.
Karenanya Eri mengapresiasi hadirnya buku Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Surabaya yang ditulis secara kolaboratif oleh arek arek Surabaya meski asalnya dari luar Surabaya.
"Arek Surabaya adalah mereka yang kini telah menjadi warga Surabaya meski asalnya dari luar kota", tegas Eri tentang Arek Surabaya.
Buku Ensiklopedia ini ditulis secara bertahap. Tahap pertama pada 2021. Tahap kedua pada 2022. Dari hasil penulisan tahap pertama, ternyata berhasil memperoleh penghargaan dari Inggris melalui ajang Time Higher Education Awards Asia 2022 yang dianugarahkan di Jepang.
Menambah khasanah kepustakaan kota Surabaya
Jika mereka, yang di manca negara saja, bisa menghargai karya ini, berarti buku Ensiklopedia ini sangat berkualitas dan layak baca. Buku yang ditulis secara kolaboratif ini sekaligus menunjukkan sifat dan karakter arek Suroboyo. Yaitu Gotong Royong, holobis kuntul baris.
Seniman ludruk Surabaya Meimura, salah satu pembicara dalam bedah buku, menjelaskan bahwa Holobis Kuntul Baris memiliki makna bergotong royong untuk mencapai tujuan bersama.
Di dalam masyarakat Jawa, burung jenis bangau yang bernama kuntul diibaratkan kebersamaan. Burung kuntul kalau terbang selalu bergerombol rapi dan membentuk formasi anak panah yang meruncing di depan. Anak panah adalah alat untuk membidik sasaran dan tujuan.
Prof. Purnawan Basundoro yang bertindak sebagai penyunting buku menjelaskan bahwa buku ini menyajikan tidak kurang dari 30 tema tentang sejarah dan budaya kota Surabaya. Dibandingkan dengan tema tema yang bisa diambil berdasarkan materi cagar budaya yang bersifat tangible (bendawi) dan materi Pemajuan Kebudayaan yang bersifat intangible (tidak bendawi), maka isi buku Ensiklopedia Sejarah dan Budaya ini masih sedikit tapi berkelanjutan untuk menampung banyaknya materi ini. Karenanya Ensiklopedia ini akan berseri seri.
Karenanya kolaborasi, gotong royong dan holobis kuntul baris yang menjadi sifat dan karakter Surabaya ini akan menjadi rel, yang menjadi tumpuan gerbong para penulis. Para penulis terdiri dari beragam latar belakang. Ada akademisi, jurnalis, pegiat sejarah dan budaya, Seniman, budayawan dan ada pula arkeolog serta antropolog. Keragaman para penulis dan nara sumber itu menunjukkan keragaman dan kekayaan sejarah dan budaya kota Surabaya. Para penulis dan nara sumber membidangi area penulisan masing masing.
Menurut Nanang Purwono dari Begandring Soerabaia, buku Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Surabaya ini bagai sebuah pintu gerbang yang menghantarkan untuk memasuki belantara sejarah dan budaya Surabaya. Banyak materi tentang sejarah dan budaya Surabaya. Sementara, Ensiklopedia ini masih memuat sebagian kecil saya dari isi belantara sejarah dan budaya Surabaya.
"Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Surabaya ini akan ditulis berseri", pungkas Nanang. (nng/pul)
Asisten II Kota Surabaya Mengunjungi Begandring Soerabaia di Peneleh
Kawasan Peneleh, Kecamatan Genteng, selayaknya menjadi rumah peradaban dan sejarah kota Surabaya. Karena di wilayah kelurahan Peneleh, yang dibatasi oleh dua sungai (Kalimas dan Pegirian serta jalan Jagalan), menyimpan kekayaan sejarah yang disertai dengan data dan fakta.
Di kawasan kelurahan Peneleh terdapat Rumah Lahir Bung Karno (RLBK), Rumah HOS Tjokroaminoto, Rumah Roeslan Abdoelgani, Rumah Achmad Jais, Sumur kuno Jobong, Masjid Jamik Peneleh dan Makam Belanda Peneleh. Di kawasan inilah lahir dan tinggal tokok tokoh kebangsaan, termasuk tokoh tokoh pergerakan, yang pernah bersama sama dokter Soetomo mendirikan Soerabaiache Studieclub (1914), yang selanjutnya menyokong lahirnya Sumpah Pemuda pada 1927. Ada nama Ahmad Jais, Mas Sunjoto, Raden Panji Soenario Gondokusumo dan RMH Soejono, yang diabadikan menjadi nama jalan diingkungan Peneleh.
Titik titik bersejarah ini tersebar di kawasan ini, diantaranya di kampung Peneleh, kampung Pandean, di Kampung Grogol dan Kampung Plampitan. Adapun sumber sumber sejarah yang mendasarinya antara lain Prasasti Canggu (Hayam Wuruk), buku Penyambung Lidah Rakjat Indonesia (Cindy Adam) dan Erwerd Een stad Geboren (GH Von Faber).
Sayang jika kekayaan sejarah ini belum dioptimalkan menjadi produk industri ekonomi kreatif. Padahal dalam 17 sub ekonomi kreatif disebutkan bahwa warisan budaya menjadi salah satunya. Hal ini disampaikan oleh Suriyadi Kusniawan S.Hum., M.Hum dalam "Sarasehan Kota Kreatif 2022, Penguatan Ekosistem Ekonomi Kreatif" yang diselenggarakan oleh UPT Pemberdayaan Lembaga Seni dan Ekonomi Kreatif Wilwatikta, Disbudpar Propinsi Jawa Timur pada Rabu, 21 Desember 2022.
Menurutnya warisan budaya lokal (local heritage) akan menjadi sumber produk ekonomi kreatif yang berbeda (distinguished) dan mampu bertahan dibandingkan sumber sumber lainnya.
"Asalkan aktor aktor lokal sebagai penggerak ekonomi kreatif mampu mengidentifikasi lokal wisdomnya. Setiap daerah memiliki local wisdom yang berbeda beda", jelas Suriyadi.
Fakta dan data semacam inilah, yang sesungguhnya telah didapat oleh Komunitas Begandring Soerabaia di wilayah kelurahan Peneleh. Melalui kegiatan penelusuran, observasi dan riset yang dilakukan Begandring di lingkungan Peneleh, Begandring tidak hanya mengidentifikasi peninggalan dan lokasi sejarah, tapi juga menyusun narasi berdasarkan sumber sumber sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan.
Dari narasi itu, selanjutnya diaktualisasikan, yang salah satunya menjadi produk wisata edukasi Jelajah Sejarah yang bernama Subtrack (Surabaya Urban Track). Subtrack menawarkan kawasan, kampung kampung, tempat tempat bersejarah baik yang berupa gedung, struktur, lingkungan dan benda yang bersifat in-situ di Surabaya. Salah satunya adalah kawasan Peneleh.
Kunjungan Asisten II Kota Surabaya
Irfan Widiyanto, Asisten II Walikota Surabaya, yang membidangi urusan perekonomian dan pembangunan Kota Surabaya mengunjungi Komunitas Begandring Soerabaia di Lodji Besar di jalan Makam Penelah 46 Surabaya pada Selasa malam, 20 Desember 2022. Selama ini Irfan hanya mendengar nama Begandring Soerabaia melalui kiprahnya yang berkolaborasi dengan Walikota Surabaya, Eri Cahyadi, mewakili pemerintah Kota Surabaya.
Irfan begandringan gayeng di Lodji bersama Begandring Soerabaia
Dalam kolaborasi itu, Walikota terlibat dalam produksi dua film dokudrama yang masing masing berperan sebagai Presiden Pertama RI, Soekarno. Pertama, dalam film "Koesno, Jati Diri Soekarno" dan kedua film "Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi '45". Film pertama berhasil masuk nominasi film pendek terbaik Festival Film Indonesia 2022. Menurut Kepala Stasiun TVRI Jawa Timur, Asep Suhendar, bahwa film Koesno duduk pada urutan ke 3 dari 7 nominator.
Pembuatan film dokudrama dan produk produk dari program Begandring, contohnya Jelajah Sejarah Subtrack, sesungguhnya semuanya berawal dari serangkaian diskusi dan rapat rapat informal (Vergadering = Begandring) di Lodji Besar di jalan Makan Peneleh 46 Surabaya. Dari Lodji Besar inilah semua aktivitas kreatif Begandring bermula. Seiring dengan berjalannya waktu, Lodji Besar menjadi rumah kreatif, yang tidak hanya bermanfaat bagi Komunitas Begandring, tapi juga bagi masyarakat umum dan mahasiswa.
Suasana rumah loji (Lodge Gebouw) yang di bangun pada 1907 ini memberi inspirasi kreatif bagi siapapun yang datang. Mereka bisa ngopi dan berdiskusi.
Kiranya alasan alasan itulah yang membuat Asisten II Kota Surabaya, Irfan Widiyanto, mengunjungi Begabdring Soerabaia di Lodji Besar. Ketika Irfan masuk rumah kuno di depan Makam Belanda Peneleh, ia disambut pengurus Begandring antara lain Kuncarsono, Nanang Purwono dan mitra Kukuh Yudha Karnanta (FIB Ubair) serta lainnya, melihat setiap ruang di Lodji yang penuh informasi sejarah Surabaya.
Di ruang depan terpajang reklame reklame jadul yang bisa bercerita tentang Hindia Belanda termasuk Surabaya.
Di ruang berikutnya terdapat koleksi artefak artefak kuno berupa pecahan gerabah terakota, guci dan keramik termasuk batu bata kuna dengan ukuran besar dari era Klasik.
Di ruang berikutnya terdapat peta peta dalam ukuran besar yang menggambarkan Surabaya dari abad ke abad. Di ruang ini juga tersedia buku buku sebagai bahan bacaan, Perpustakaan Begandring.
Di ruang depan, terdapat potret kota Surabaya, utamanya Kawasan Kota Tua. Di ruang ini terdapat potert Surabaya di antara daerah daerah lain yang berupa peta besar Jawa Timur.
Sementara di teras Lodji terdapat peta Kawasan Kota Tua Surabaya. Disanalah Irfan secara detail mencermati titik titik yang menjadi harapan pemerintah Kota Surabaya dalam upaya revitalisasi kawasan Kota tua.
Di teras inilah Irfan mulai Begandringan (diskusi informal sambil ngopi) dengan pengurus Begandring. Salah satu poin obrolannya adalah tentang kawasan Peneleh yang sangat kaya dengan sejarah. Karena Peneleh masuk di wilayah Kecamatan Genteng, maka saat itu juga, Irfan menelpon Camat Genteng Muhammad Aries Hilmi untuk bergabung dalam begandringan di Lodji Besar.
Camat Genteng (berjaket) beserta Camat Pabean Cantian dalam kunjungan lanjutan ke Begandring pada Rabu 22/12/2022
Pengembangan Kawasan Sejarah Peneleh
Dengan hadirnya Camat Genteng Muhammad Aries Hilmi di Lodji Besar maka lengkaplah Begandringan di Lodji Besar pada Selasa malam, 20 Desember 2022. Ada Asisten II Kota Surabaya Irfan Widyanto, ada Camat Genteng Muhammad Aries Hilmi, ada pengurus Begandring Soerabaia bersama mitra FIB Unair.
Setelah menerima paparan tentang potensi di kawasan Peneleh dan gerakan yang sudah dan sedang dilakukan oleh Begandring Soerabaia, Irfan ingin mengsinkronkan antara kegiatan Begandring dengan kebijakan Camat Genteng dalam pengembangan kawasan Peneleh yang berbasis sejarah dan budaya.
Dijelaskan oleh Kuncarsono, salah satu pendiri Begandring Soerabaia, bahwa kegiatan Begandring tidak semata mata berbagi informasi kepada masyarakat luas melalui program diskusi publik, jelahah sejarah Subtrack, publikasi dan pembuatan film, tapi juga melakukan people and Community Empowering.
"Kami ini juga mengajak warga terlibat sebagai subyek dan penggerak. Misalnya ada warga Pandean yang sudah menjadi pelaku penggerak dalam kegiatan komunitas dan bahkan ia sudah mengaplikasikan di lingkungan warga. Misalnya melayani tamu tamu yang datang dan melihat Sumur Jobong", terang Kuncarsono ke Irfan dan Aris.
Di mata Irfan potensi Peneleh sudah nyata dan di kawasan ini sudah ada komunitas penggerak yang sudah bergerak nyata yang tentu bisa lebih jauh mengembangkan potensi lokal ini. Karenanya Irfan meminta Begandring bersama Camat Genteng untuk memetakan arah pengembangan Peneleh yang berbasis sejarah dan budaya.
"Coba dibuat konsepnya dulu seperti apa. Ini sebagai dasar pemetaan siapa melakukan apa. Bahkan Dinas apa akan melakukan apa dalam sinergi pengembangan kawasan Peneleh ini", tegas Irfan yang begitu optimis.
Menurutnya, masih ada kawasan lain yang perlu dikembangkan dalam rangka membangkitkan potensi kota Surabaya.
"Masih ada yang perlu dikerjakan secara kolaboratif, misalnya kawasan Kota Tua Surabaya. Segera", pungkas Irfan.
Keseriusan pemerintah Kota Surabaya ini ditunjukkan dengan kembalinya Camat Genteng ke Sekretariat Begandring Soerabaia di Lodji Besar pada keesokan hari, Rabo 21 Desember 2022. Ia mengajak ke Camat Pabean Cantian dan jajarannya. (Nanang)
abad.id-Tinggi wanita itu hanya 1,5 meter dan sangat kecil untuk ukuran wanita kulit putih. Kulitnya menjadi kecoklatan karena terlalu lama berada di tengah udara tropis negara India. Diwajahnya penuh dengan garis-garis ketuaan, serta mata birunya memancarkana harapan hidup dan kasih sayang. Tangannya menjadi kasar, banyak mengelupas kulit ari seperti milik tangan pembantu rumah tangga. Di usia yang ke 73 tahun itu, Bunda Teresa sudah tidak lagi segesit dulu. Apalagi tubuhnya juga digerogoti penyakit jantung.
Hari itu tahun 1979, tampilan Ibu teresa begitu apa adanya. Dunia yang kagum atas perjuangan dan dedikasi Bunda Teresa menyebutnya Bidadari Kaum Gelandangan, atau Bidadari Kaum Sengasa. Hari istimewa bagi Bunda Teresa sebab mendapatkan nobel perdamaian dan pehargaan Order of Merit Dari kerajaan Inggris. Ditengah gemerlap prestasi itu, Bunda Teresa masih tinggal di kota termiskin dan paling jorok Kalkuta. Hiruk pikuk udara yang berdebu dan bau busuk memudahakan siapapun terkena broncistis atau asma.
Di komplek tempat tinggal yang dia sebut Mother House, setiap hari berkumpul para gelandangan lapar. Mereka berpakaian compang camping menunggu makanan dan obat gratis dari Mataji, (panggilan orang orang itu kepada Bunda Teresa). Suasana antri dan wajah yang resah itu berbaur dengan suara klakson dan bisingnya kota.
Bunda Teresa lahir 27 Agustus 1910 di Skopje (Yugoslavia) dari orang tua bernegara Albania. Nama aslinya Agnes Gonxha Bejaxhin. Ketika kecil tingkah lakunya seperti anak laki-laki. Meskipun demikian Bunda Teresa selalu tertarik dengan tugas-tugas misionaris. Di usia muda 18 tahun, ia berlayar ke Dublin (Irlandia) untuk belajar bahasa Inggris di Biara Ordo Loreto sebelum dikirim ke India. Di usia 20 tahun ia mengajar di St Marys High Scool di Kalkuta, dan sejak saat itu para siswa sering memanggilnya dengan Bunda Teresa.
Kedekatannya dengan kaum miskin berawal ketika menggelar retret di Darjeeling ( Bengali Utara ). Di tempat itu dia seperti mendengar suara perintah Tuhan. Isinya memerintahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan dan kepada kaum miskin dan sengsara. Sejak saat itu Bunda Teresa minta ijin keluar dari biara dan tinggal di daerah yang paling miskin (Slum) kota Kalkuta. Bunda Teresa meninggalkan kebiasaan Ordo Loreto, dan kini memakai pakian sari putih dengan piringan biru. Pakaian ini kelak dijadikan ordo baru yang didirikannya pada taun 1950 di Kalkuta, The Society of the Missionaries of Charity. Bunda Teresa juga mengundurkan diri sebagai guru di St Marys High Scool karena menganggap tugasnya terhadap kaum miskin lebih penting.
Kini Bunda Teresa hanya memakai pakian sari putih dengan piringan biru. Pakaian ini kelak dijadikan ordo baru yang didirikannya pada taun 1950 di Kalkuta, The Society of the Missionaries of Charity.
Totalitas Bunda Teresa mengabdi untuk warga miskin dimulai dengan pindah kewarga negaraan India pada tahun 1948. Serta membuka sekolah pertama yang diperuntukan bagi orang miskin. Sekolah itu didirikan yang pertama di wilayah termiskin kota Kalkuta. Bantuan finansial terhadap aksi simpatik Bunda Teresa dari seluruh dunia, membuahkan hasil dengan membuka Nirmal Hridai Home, sebuah rumah perawatan khusus bagi orang yang menjelang ajal. Kemudian menyusul mendirikan Shinshu Bhavans, sebuah panti yang merawat bayi-bayi dan anak terlantar. Pada tahun 1957, Bunda Teresa membuka sebuah Leprosarium atau rumah perawatan bagi penderita penyakit lepra.
Kini ordo yang diadirikan telah berkembang di seluruh India dan 30 negara. Di Kalkuta saja memiliki 250 biarawati dan 1800 diantaranya tersebar di seluruh dunia. Ordo ini mengendalikan 87 panti yatim piatu di India dan 4- di negara lain. Juga mengendalikan 213 rumah obat seperti apotik, 54 rumah sakit lepra dan 60 sekolah. Semuanya disediakan untuk orang miskin dan tidak dipungut biaya. Banyak sukarelawan dari penjuru dunia datang ke India untuk membantu di panti panti perawatan Ibu teresa.
Nirmal Hriday House, Rumah Tunggu Kematian
Nirmal Hriday House atau rumah bagi kaum miskin yang menjelang ajal, dijadikan tempat latihan bagi pelamar yang ingin menjadi relawan Bunda Teresa. Siapapun diwajibkan bekerja terlebih dahulu di rumah perawatan ini sebelum mereka bekerja di Shinshu Bavans atau Leprosarium. Salah seorang biarawati yang bekerja mengaku jika anda bisa bertahan bekerja disini maka anda juga akan tahan bekerja di manapun juga.
Penghuni rumah perawatan ini menderita berbagai macam penyakit. Umumnya masalah gizi, TBC dan disentri. Setiap orang yang memasuki ruangan perawatan harus menahan diri untuk tidak muntah, sebab udara berbau busuk. Disinfektan dianggap tidak berhasil menghalau bau kotoran manusia atau muntahan pasien yang berceceran.
Namun bagi Bunda Teresa, Nirmal Hriday House ini adalah tempat kasih sayang. Ia tidak pernah lupa orang-orang pertama yang dirawatnya. Pada tahun 1952 ketika sedang berjalan di kota Kalkuta, ia menemukan orang yang terbaring di selokan tepi jalan. Tampaknya korban sakit parah. Dipungutnya pria terlantar itu dan dibawa pulang.” Itulah orang pertama yang aku tolong, setelah dimandikan dan dibersihkan luka lukanya, kubaringkan di balai-balai. Kemudian ia berkata seumur umur saya hidup bagaikan binatang, menggelandang sepanjang jalan. Kini saya akan mati bagaikan bidadari dicintai dan dirawat. Tiga jam kemudian ia meninggal dunia dengan senyum di bibirnya,” cerita Bunda Teresa.
Penghui pertama lain seorang wanita yang ditemukan Bunda Teresa di tepi jalan depan sebuah rumah sakit. orang malang ini sedang digigit tikus dan tubuhnya penuh koreng digerogoti belatung. Ibu teresa membawanya pulang dan membersikan tubuh dan lukanya. “ Ketika saya baringkan di tempat tidur, dipeganglah lenganku. Satu satunya ucapannya adalah terimakasih dan iapun meninggal dunia,” tutur Bunda Teresa.
Ada sukarelawan lain Levia dari Yorkshire (Inggris) menceritakan, Nirmal Hriday House dihuni 107 penderita yang tidak lama lagi akan meninggal dunia. Selanjutnya tempat mereka akan digantikan penderita lain. Salah seorang penghuni itu bernama Kelok, wanita muda berusia 20 tahun yang menderita TBC parah. Berat tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit. Ia berbaring di sebuah tempat tidur dengan tungkai yang tidak lebih besar dari dua jari tangan manusia dewasa normal. Pasien lain bernama Lakhi juga menderita TBC, disentri dan kekuragan gizi. Melihat penampilananya dikira usia 40 tahun, padahal Lakhi baru berumur 10 tahun. Lakhi tidak pernah mengeluh meskipun tubuhnya sakit. karena levernya membengkak sampai 3 kali lipat. Penghuni lainnya Gauri seorang wanita cantik usia 18 tahun yang menderita TBC parah. Meskipun tubuhnya kurus, Gauri masih senang bercanda dan menggoda suster dan biarawati yang merawatnya. Ada harapan Gauri untuk sembuh.
Di usia senjanya itu, banyak pihak yang menyarankan Bunda Teresa mengurangi aktifitasnya. Keadaan kesehatan juga menurun akibat penyakit jantung. Beberapa tahun terakhir memang pernah dirawat di beberapa rumah sakit, namun Bunda Teresa tetap ingin dekat dengan orang miskin dan sengsara. “Semua terserah kepada Tuhan,” kata Bunda Teresa.
Pengabdian kepada Tuhan dan kaum miskin dan sengsara sudah maksimal. “Yang patut diingat, jangan merendahkan mereka hanya karena miskin. Orang miskin itu adalah manusia seperti kita juga yang punya perasaan dan keinginan. Berilah mereka perhatian dan kasih sayang,” pesan Bunda Teresa. (pul)