Masihkah Pacekan dan Delta Jagir Dianggap Sebagai Sumber Sejarah Hari Jadi Kota Surabaya?
Nama kampung Pacekan kiranya terlalu asing bagi warga Surabaya, utamanya generasi sekarang. Mereka tidak tau Kampung Pacekan. Kampung Pacekan pernah ada di daerah kilang penjernihan air di Jagir Ngagel.
Letak kampung ini, berdasarkan peta Surabaya 1892, berada di perpecahan sungai (Delta): antara sungai Kalimas (mengalir ke utara) dan sungai Jagir atau Sungai Londo (mengalir ke timur). Dikatakan sungai Londo karena sungai ini dibuat atas perintah pemerintah Hindia Belanda pada 1865.
Ternyata, nama Kampung Pacekan dipakai sebagai sarana untuk mengidentifikasi sejarah penting Surabaya. Yaitu sejarah Hari Jadi Kota Surabaya.
Kampung Pacekan, yang berada di sebuah delta percabangan sungai antara sungai Kalimas dan sungai Jagir, dianggap sebagai pintu keluarnya tentara Mongol dari pulau Jawa pada 31 Mei 1293. Karena peristiwa itulah maka tanggal 31 Mei 1293 digunakan sebagai Hari Jadi Kota Surabaya.
Narasi sejarah ini bisa gugur karena menurut peta Groote Atlas Van Nederlandsch Oost Indie Vol II - Java Madoera" (1706), kali Jagir, yang dikabarkan dilewati tentara Mongol meninggalkan pulau Jawa pada 31 Mei 1293, belum ada. Jadi, delta Jagir juga otomatis tidak ada. Karenanya, tidak mungkin Mongol meninggalkan pulau Jawa melewati Kali Jagir Surabaya.
Dalam peta Surabaya 1706, yang dimuat Groote Atlas, belum ada gambar sungai Jagir nya. Ini berarti di Jagir juga belum ada delta, yang menjadi pangkalan armada Jayakatwang.
Pembangunan kanal, sudetan dan dam pada tahun 1830-1880 di Jawa Timur
Kampung Pacekan jika dikaitkan dengan sungai Pa-Tsich-Kan, nama lain dari sungai Kalimas, mungkin ada benarnya. Bisa jadi nama Pacekan diambil (berasal) dari nama Pa-Tsich-Kan, sungai yang melewati kawasan itu. Ini sebagaimana ditulis oleh WP. Groenneveld dalam bukunya "Notes in the Malay Archipelago and Melacca", compiled from Chinese Sources" (1876).
Groenneveld menduga bahwa lokasi Kampung Pacekan, yang berada di kawasan delta sungai, menjadi pangkalan militer Jayakatwang sebelum diserang oleh tentara Mongol pada 1293. Kiranya poin ini perlu mendapat kritik karena berdasarkan peta Surabaya 1706 dan 1719, kawasan delta di Jagir itu belum ada. Justru kawasan delta yang ada adalah di kawasan Pandean - Peneleh.
Sumber sejarah Groenneveld ini menjadi salah satu rujukan tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya (1973-1975), yang hasil penulisannya dikomplilasi menjadi buku "Hari Jadi Kota Surabaya", dan diterbitkan oleh Humas Kotamadya Surabaya pada 1975.
Tidak hanya menjadi sebuah buku, tapi lebih jauh lagi bahwa hasil penelitian itu menjadi penentuan dan penetapan Hari Jadi Kota Surabaya. Sehingga sejak tahun 1975, tanggal 31 Mei 1975 diperingati sebagai Hari Jadi Kota Surabaya hingga Mei (2022).
Apakah Hari Jadi Kota Surabaya masih akan diperingati pada 31 Mei 2023 mendatang, ketika sejarah itu bisa gugur oleh temuan fakta sejarah yang baru?
Di depan pejabat Kota Surabaya yang terdiri dari Irvan Widyanto (Asisten II), A. Hermas Thony (wakil ketua DPRD), Musdiq Ali Suhudi (Kepala Bapenda), Yusuf Masruh (Kepala Dinas Pendidikan), M. Aris Hilmi (Camat Genteng), dan Skundario (Lurah Peneleh) dalam sebuah diskusi, Prof. Purnawan Basundoro menegaskan bahwa sejarah Surabaya di Jagir bisa gugur dengan adanya temuan sejarah baru di Pandean, Peneleh pada 2018 lalu.
Pembangunan Kanal Wonokromo dan Perlawanan Pondok
Delta Jagir belum ada sebagai mana ditunjukkan oleh peta peta lama seperti tahun 1706, 1719, dan seterusnya hingga akhirnya dibuatnya kanal Wonokromo pada 1865 untuk mengatasi meluapnya sungai Kalimas karena debit air yang tinggi dari hulu Kali Surabaya.
Hulu Kali Surabaya ini bermula di Mirip, pecahan dari Brantas, Mojokerto. Ketika sudah masuk Surabaya, aliran Kali Surabaya (Kalimas) ini baru bercabang di daerah Genteng. Percabangan (anak Kali Surabaya atau Kalimas) ini menjadi Kali Pegirian atau Rivier van Ampel kerena melewati sekitar Kampung Ampel hingga ke Muara.
Di percabangan inilah terdapat Delta kali yang dikenal dengan Delta Peneleh. Sementara di Jagir, percabangan sungai baru ada ketika dibangun Kanal Wonokromo, yang mengalir lurus ke timur hingga selat Madura. Kanal, yang digunakan sebagai sudetan untuk mengurangi debit air yang masuk Kalimas ini, dibangun pada 1865 sejaman dengan proyek sudetan lainnya di Jawa Timur.
Misalnya pembangunan Pintu Air Mirip Mojokerto (1848), Pembangunan Dam Jagir dan Lengkong Mojokerto (1870), Pembangunan sudetan Kali Porong (1882), pembangunan Dam Gubeng dan Gunungsari (1880-an). Sejarawan Gresik Eko Jarwanto menambahkan bahwa sudetan Bengawan Solo di Bungah Gresik dibangun pada 1880 dan membutuhkan waktu bertahun tahun.
Karena kanal Wonokromo berfungsi untuk pengendalian banjir, karenanya di hulu kanal ini juga dibangun pintu air, yang bisa dibuka dan ditutup. Jika debit air dari selatan cukup tinggi, maka pintu airnya dibuka agar air langsung bisa terbuang ke selat Madura tanpa harus melalui kota (Kalimas) yang bermuara di Krembangan.
Sebaliknya, jika debit air dari selatan kecil, ketika Surabaya membutuhkan kecukupan air untuk irigasi dan industri, maka pintu air Jagir di tutup agar air bisa masuk ke Kalimas. Karenanya pintu air Jagir disebut Banjir Sluis. Pintu air ini mulai dibangun pada 1870 dan ketika Surabaya terbentuk sebagai kotamadya (Gemeente) pada 1906, pembangunan dam Jagir semakin komprehensif (Erlita Tantri: Dutch Flood Cobtrol in Surabaya 1906-1942)
Bahkan di sepanjang Kalimas dibangun dam dam dan sluis agar Kalimas tidak hanya menjadi penyedia air untuk kebutuhan domestik, irigasi dan industri, tetapi juga bisa menjadi sarana transportasi dan perhubungan.
Pada pertengahan abad 19 ketika Surabaya mulai berkembang sebagai kota industri, salah satunya industri gula, maka kebutuhan air untuk irigasi perkebunan sangat penting. Pada abad itu pabrik pabrik gula di Surabaya berjajar di sepanjang Kalimas mulai pabrik gula Ngagel, Bagong, Gubeng, Darmo hingga Ketabang.
Adanya pembangunan kanal Wonokromo juga dikuatkan dengan peristiwa pertikaian yang terjadi antara santri pondok Ndresmo dengan pihak Belanda. Hingga sekarang, cerita perlawanan santri Pondok Ndresmo melawan Belanda karena menolak perintah pembangunan kanal Wonokromo masih beredar di masyarakat.
Adalah KH Mas Dawam Mukarom Pondok Al Ahih Nderesmo, yang sempat bertutur kepada Ahmad Zaki Yamani, kepala Divisi Pendidikan dan Pelatihan Begandring bahwa memang ada perintah dari pihak Belanda di Surabaya kepada rakyat, termasuk para santri Pondok Ndresmo yang lokasinya ada di pinggir lahan kanal untuk pembuatan kanal hingga ke selat Madura. Tapi warga Pondok menolak.
Penolakan ini berbuntuk konflik. Kiai Ali Akbar, mewakili Pondok, dengan dibantu oleh Mbah Kendor dan Mbah Iskandar, yang makamnya ada di komplek pesarean Bungkul, menghadap pihak Belanda bahwa dirinya berserah ditangkap untuk menghentikan perlawanan dari warga Pondok kepada pihak Belanda. Kiai Ali Akbar berkompromi dengan pihak Belanda bahwa dirinya berserah ditangkap, asalkan warga Pondok dibebaskan dari pembangunan kanal dan Pondok bebas dari bayar pajak.
"Sebelum Kiai Ali Akbar ditangkat atau berserah diri, pihak Belanda sempat memburunya hingga ke dalam Pondok, bahkan masuk ke dalam rumah sang Kiai. Untungnya anak Kiai Ali Akbar, yang bernama Ali Asghor yang masih kecil luput dari buruan pihak Belanda karena disembunyikan di balik kukusan", terang Zaki Yamani yang menirukan cerita dari KH Mas Dawam Mukarom.
Untuk menghindari kekacauan itulah Kiai Ali Akbar berserah. Konon tersiar kabar hingga sekarang bahwa Kiai Ali Akbar diasingkan ke Belanda. Setelah itu pembangunan kanal Wonokromo terus berjalan dan keluarga Pondok tidak diusik atau mengusik dan bahkan mereka terbebas dari berbagai pajak.
Hilangnya Nama Kampung Pacekan
Nama Kampung Pacekan sudah hilang dari peta Surabaya. Bahkan di lokasi juga tidak ada lagi nama Pacekan. Dulu, nama Kampung Pacekan bertengger di kampung maupun di peta.
Nama "Pacekan" memang mirip dengan nama sungai Kalimas (Pa-Tsih-Kan) dalam istilah China, yang memang berasal dari Catatan China sebagaimana ditulis Groenneveld. Groenneveld sendiri menduga nama Pacekan diambil dari kata Pa-Tsih-Kan karena daerahnya dilewati sungai ini.
Sejarawan Profesor Aminuddin Kasdi dalam sebuah diskusi publik, yang digelar oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya di gedung Siola pada Agustus 2022 menyoal tentang Kampung Pacekan. Selain menjelaskan bahwa di situ pernah dipakai sebagai pangkalan armada Jayakatwang pada abad 13, Aminuddin juga menerangkan bahwa nama Pacekan berasal dari kata dasar "pacek", yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bersetubuh (untuk hewan).
Lebih lanjut Aminnudin menjelaskan bahwa kawasan, yang dekat dengan stasiun kereta api Wonokromo ini, dulu merupakan kawasan prostitusi liar di Surabaya. Jadi "Pacek", yang berarti bersetubuh, dikonotasikan dengan tempat prostitusi. Pacekan secara harafiah berarti tempat prostitusi.
Bagi orang Jawa, yang mengerti makna Pacekan, maka nama ini sangat bermakna negatif dan saru. Tidak salah jika di kemudian hari nama Pacekan (=senggama untuk binatang) hilang.
Apakah nama Pacekan dan Delta Jagir, yang mulai ada sejak akhir abad 19, masih dijadikan jejak dan bukti sejarah Hari Jadi Kota Surabaya? (Nanang)