abad.id-The Begandring Institute, sebuah divisi baru di bawah Perkumpulan Begandring Soerabaia, tancap gas. Divisi ini bertugas mensupply data yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan kegiatan Begandring. Salah satunya adalah kegiatan wisata sejarah, Surabaya Urban Track (Subtrack).
Secara umum Begandring Soerabaia dalam berkegiatan tidak lepas dari data dan sumber. Apalagi kegiatan kegiatan yang berbasis sejarah. Maka narasi narasi, yang dibangun, harus memiliki dasar. The Begandring Institute itulah yang bertugas menyediakan data data sebagai dasar narasi.
Subtrack Special Imlek di kawasan Pecinan Surabaya. Foto dok begandring
Misalnya, dalam kegiatan wisata sejarah Subtrack di kawasan Kampung Pecinan dalam rangka meramaikan Tahun Baru Imlek pada Minggu 22 Januari 2023, disajikan kemasan baru yang berbeda dari kegiatan serupa sebelumnya.
Biasanya the Walking Heritage Tour, Subtract, dinikmati sambil berjalan kaki menyusuri jalan dan lorong perkampungan. Yang tidak biasa adalah jika tour ini diselingi dengan kelas sejarah. Kelas sejarah adalah sesi presentasi melalui power point yang berisi tentang materi sejarah terkait dengan tema wisata sejarah yang disuguhkan. Presentasi power point ini bertempat di Rumah Abu Han di jalan Karet.
Melalui cara demikian, belajar sejarah menjadi lebih menyenangkan. Mereka bisa belajar sejarah sambil mengamati obyek obyek bersejarah terkait. Misalnya belajar sejarah tentang marga Han dan jejaknya langsung di Rumah Abu Han. Dengan begitu para pembelajar, yang tidak lain adalah para peserta tur, dapat melakukan pengamatan langsung terhadap benda benda yang menjadi saksi bisu keluarga Han.
Bagi pewaris keluarga Han, Robert Han dan Mega Tanuwijaya (istri), perpaduan model wisata dan belajar sejarah ini adalah wujud pelestarian dan pemanfaatan peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah tidak hanya dipandang sebagai sebuah fisik obyek, tetapi ada nilai nilai di balik obyek bersejarah yang tidak kalah pentingnya.
Melintasi jaman di jalan Karet, jalan tertua di kawasan Pecinan Surabaya. Foto dok begandring
Bagi Robert Han menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur adalah cost oriented tetapi ini adalah a long live cultural preservation oriented yang tidak hanya penting bagi keluarga, tetapi juga penting bagi peradaban kota Surabaya. Selama ini, semua effort baik materiil dan non materiil dilakukan oleh keluarga demi menjaga dan menghormati leluhur yang telah membuat tempat bagi keluarganya pada jamannya.
Karenanya Robert Han selalu mengajak anaknya Hubert ketika mengunjungi dan berfikir tentang rumah peninggalan leluhur di jalan Karet itu.
"Yang kami lakukan ini jelas bukan profit oriented, tapi cost oriented. Namun semua demi menghargai dan menghormati leluhur kami yang telah berbuat sedemikian rupa", jelas Robert ketika ditemui di Rumah Abu Han menjelang Hari Raya Imlek.
Rumah Abu Han tidak hanya wujud peninggalan fisik, tetapi di sana ada pesan pesan luhur dari nenek moyang kepada generasi Han kapan pun.
"Dirumah ini masih banyak pesan pesan yang kami belum tahu maknanya karena pesan pesan itu disampaikan dalam bahasa yang sangat puitis. Ada makna makna tersirat. Yang saya tau adalah pesan hormatilah orang tuamu dan kamu akan bahagia di masa depanmu", terang Robert.
Subtrack Special Imlek 2023
Kukuh Yudha Karnanta, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair), mengaku bahwa ia sudah pernah mengikuti wisata sejarah Subtrack beberapa kali sebelumnya dan kali ini memang berbeda.
Sesi kelas sejarah di Rumah Abu Han. Foto dok begandring
"Dengan adanya sesi presentasi dan diskusi interaktif dengan peserta, Subtrack menawarkan wisata sekaligus praktik aktivisme pemanfaatan warisan budaya dan sejarah kepada publik dengan cara yang elegan", jelas Kukuh.
Kukuh menambahkan bahwa sebagai giat wisata warisan sejarah dan budaya, peserta mendapatkan pengalaman berkesan bukan semata dari objek yang dikunjungi, namun dari interaksi antara sesama peserta maupun peserta dengan guidenya.
"Menariknya, seluruh informasi, itinerary, guide book, dan lain lain menggunakan arsip dan data yang sahih. Peserta seperti diajak menelusuri labirin masa lalu, dengan peta, kompas, serta navigator yang ulung dan bersahabat", imbuh Kukuh.
Subtrack Spesial dalam mengisi Tahun Baru Imlek ini diikuti oleh 35 peserta ditambah krew dan panitia pelaksana sekitar 15 orang.
Yuska Harimurti, salah seorang peserta, yang juga aktivis Gusdurian, mengaku bahwa Subtrack di kawasan Pecinan Surabaya ini memberi gambaran tentang masa masa mula Surabaya dengan nilai nilai kearifan lokal dan upaya dalam menjaga kearifan lokal itu sehingga Surabaya sekarang memiliki warna tersendiri diantara daerah daerah lainnya.
"Dari kawasan Pecinan ini kita bisa belajar dan mengenal bagaimana bangsa (kota) ini berproses dan menjaga dirinya sendiri. Ada yang tetap terjaga, ada juga yang sudah punah karena termakan zaman", kata Yuska.
Dari Subtrack di Pecinan, Yuska juga mengaku bahwa dirinya bisa melihat dan belajar bagaimana kota ini bermula dan bertumbuh. Kawasan Pecinan menjadi aset yang penting sebagai saksi bagaimana kota ini semakin bertumbuh.
Sementara peserta lainnya, Listya Damayanti mengatakan bahwa Subtrack selalu ngangeni.
"Subtrack bisa mendongeng sambil jalan jalan dan disisipi canda tawa hangat dan interaktif antara peserta dan pemandunya. Ini cara yang
menarik sekaligus seru untuk belajar sejarah. Pengalaman ini menambah kecintaan saya kepada Kota Surabaya khususnya, juga kepada Indonesia pada umumnya. Selain menambah wawasan saya, kegiatan ini menambah teman", kesan Listya yang sudah beberapa kali ikut Subtrack.
Tanggung Jawab Bersama
Sekarang, terhadap aset bersejarah yang ada tentu menjadi tanggungjawab bersama. Tidak hanya tanggung jawab dalam hal perlindungan, tapi juga pelestarian dan pemanfaatan agar keberadaannya semakin memberi nilai nilai tambah di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata kota.
Ketika Rumah Abu Han tampil sebagai obyek bangunan cagar budaya yang terawat dengan baik dan bisa dimanfaatkan oleh publik, namun jika di sekitarnya (kiri dan kanan bangunan) terlihat kumuh dan apalagi membahayakan bagi Rumah Abu Han, maka perlu ada upaya bersama untuk mengamankan bangunan cagar budaya ini.
Menikmati lesehan di atas marmer Italia. Foto dok begandring
"Tolong sampaikan kepada pemerintah bahwa ada bangunan sebelah yang kosong, di sana ada balok balok yang rapuh yang membahayakan bagi Rumah Abu Han. Saya akan tangani, tapi ini masuk wilayah properti orang lain. Sementara kami tidak tau siapa pemiliknya", terang Robert yang berharap Pemerintah Kota bisa melakukan tindakan dalam hal penyelamatan aset yang bersejarah bagi kota Surabaya.
"Pemerintah tentu tau siapa pemiliknya, dan jika tidak jelas serta tidak ada respon dari pemiliknya, maka pemkot bisa melakukan tindakan preventif untuk melindungi aset bersama, yaitu Rumah Abu Han", tambah Robert.
Lestari, termanfaatkan dan aman menjadi unsur keberlangsungan kegiatan bagi semua. Diantaranya adalah kegiatan wisata sejarah di Rumah Abu Han. Beragam pengunjung sudah masuk ke Rumah Abu Han ini dan akan semakin banyak lagi pengunjung seiring dengan program pemerintah kota Surabaya yang mengembangan kawasan Pecinan sebagai kawasan wisata sejarah kota Surabaya.
Wisata jalan jalan Subtrack Special Imlek 2023 di kawasan Pecinan Surabaya ini mengunjungi beberapa spot peradaban penting. Acara ini diawali dari Klenteng Hok An Kiong di jalan Coklat, kemudian berjalan ke bekas Kuburan Pecinan, Bong, yang saat ini telah berubah manjadi pasar. Namanya Pasar Bong.
Dari sana perjalanan dilanjutkan ke jalan Kembang Jepun yang dikenal sebagai pusat perdagangan dari jaman ke jaman. Di sana Subtrack memasuki gedung kolonial yang dulu adalah sebuah bank. Uni Bank. Kini ditempati harian Radar Surabaya.
Selanjutnya Subtrack menyisir Jalan Karet, jalan tertua di kawasan Pecinan. Letaknya ditepian sungai Kalimas yang dikenal sebagai jalur urat nadi perekonomian, perdagangan, perhubungan dan pembangunan kala itu. Di jalan Karet inilah, Subtrack mengunjungi rumah rumah peradaban kuno etnis Pecinan. Ada Rumah Abu Han, The dan Tjoa.
Kunjungan terakhir adalah klenteng Hok An Kiong di pojokan jalan Coklat dan Slompretan. Di sana peserta langsung menyaksikan aktivitas perayaan Imlek. (nng/pul)
Penulis : Nanang Purwono
abad.id-Madat, istilah ini merujuk pada kegiatan menggunakan zat adiktif untuk mendapatkan nuansa halusinasi dan sugesti. Barang haram berupa narkotika ini dibuat dari tumbuhan yang tumbuh subur di kawasan tropis, sepeti ganja dan opium. Bahan-bahan beracun ini semakin gencar dibasmi, karena disepakati warga dunia berbahaya dan merusak mental bagi yang sudan menjadi pecandunya.
Jauh sebelum menjadi musuh bersama dunia, ternyata madat dikenal sebagai tradisi lokal dari masyarakat adat. Bagkan kegiatan madat sudah ada sejak jaman prasejarh di daerah sebelah timur laut tengah mediterania. Hal itu tertulis dari catatan ilmuwan Yunani abad ke 5 sebelum masehi.
Oleh bangsa Persia dan India, opium salah satu jenis madat biasa dikonsumsi sebagai bagian dari tradisi. Mereka mencampurnya dengan zat lain sehingga menimbulkan eek halusinasi dan rasa gembira. Bahkan tidak sekedar mengkonsumsi, dua bangsa ini memanfaatkan bahan opium untuk komoditi. Salah satu konsumen yang bisa menjual kembali opium yaitu bangsa Portugis.
Munculnya minat konsumsi opium bangsa Portugis mempengaruhi perdagangan di India. Bangsa Portugis melihat penjualan Madat sebagai peluang emas. Bahkan pelaut Portugal menjual kembali bahan opium ke eropa dan dianggap komuditas rempah-rempah. Permintaan bahan madat ini semakin tinggi terutama untuk wilayah China.
Namun penguasa perdagangan opium yang sebelumnya dikuasahi Portugis, akhirnya dikalahkan oleh Belanda ada abad ke 17. Hal ini karena Belanda berhasil membudidayakan tanaman ganja yang sejenis opium di negeri jajahannya Asia tenggara. Keuntungan perdagangan candu dinikmati Belanda untuk memperpanjang masa kekuasaannya di Nusantara. Candu sebagai salah satu mata dagangan penting untuk pendapatan VOC. Pada masa gubernur jenderal Gustaaf Baron van Imhoff (1745), diberlakukan sistem perdagangan bebas candu. Selama 1619-1799, tiap tahun VOC memasok rata-rata 56 ton candu ke Pulau Jawa. Tidak tanggung-tanggung, dalam perdagangan candu ini, para pejabat VOC menciptakan sebuah organisasi yang dinamakan Opium Society. Kelompok Opium Society dibentuk pada tahun 1754. Organisasi ini bergerak tidak hanya sebagai pusat penyimpanan opium tapi juga bertanggung jawab mengontrol penjual-penjual opium grosiran yang kebanyakannya dimiliki oleh saudagar-saudagar Cina yang kaya.
Pada awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa, dari Batavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup ke desa-desa dan wilayah Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium. Peningkatan berlipat ganda terjadi antara tahun 1802 sampai 1814 akibat pengaruh inflasi serta pelaksanaan monopoli Inggris yang lebih keras. Dekade selanjutnya 1814-1824 pajak dari perdagangan candu meningkat hingga lima kali lipat.
Opium Society dinilai sangat merugikan dan ditentang banyak orang terutama dari kelompok Anti Opium Bond pada tahun 1890. Kelompok ini menyarankan kepada pemerintah kolonial untuk mengganti sistem opiumpacht menjadi sistem opium regie. Saran ini diterima dan dijalankan hingga akhir abad ke-19. Sistem penjualan candu ini langsung dikendalikan oleh pemerintah secara keseluruhan, mulai impor hingga candu sampai ke tangan pembeli.
Kebijakan Opium regie ini juga mengaturlarangan penanaman opium di tanah Hindia Belanda. Opium tersebut diimpor dan diolah dipabrik yang didirikan di Batavia. Sistem opium regie mengharuskan penjual yang disebut mantri candu, mencantumkan papan nama di setiap bangunan yang menjual candu dengan nama “Kantor Penjualan”. Loket penjualan candu terdapat di dekat dengan pasar, perkebunan, dan pelabuhan. Loket candu ini dibuka pada siang hingga pukul 22.00 malam.
Cara VOC menguatkan kekuasaan di tanah jajahan dengan cara memberikan bantuan. Dari tulisan M Ali Surakhman berjudul Skandal Candu dan Perjanjian VOC dan Sultan Jambi, mengatakan dalam pemberian bantuan itu diringi juga dengan perjanjian perjanjian yang mengikat. Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalaga terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor. Kerajaan Jambi mendapatkan bantuan dari VOC sehingga berhasil menang. VOC memberikan perjanjian-perjanjian pada kerajaan Jambi.
Dalam kontrak 6 Juli 1643, Sultan Jambi yang diwakili Pangeran Anom dengan VOC yang diwakili Pieter Soury mengenai menyebutkan, budak-budak kompeni yang terdiri dari orang orang Cina boleh tinggal dan berdagang di Jambi. Demikian pula rakyat Jambi boleh berdagang dan tinggal di Batavia. Lalu Kontrak 12 Juli 1681 antara Sultan Jambi dengan VOC yang diwakili oleh Adrian Wiland menyebutkan, kompeni memberikan perlindungan kepada kesultanan Jambi jika mendapat ancaman dari Palembang. Kontrak 11 Agustus 1683 antara Sultan Ingalaga dengan VOC menyebutkan kompeni memperoleh monopoli pembelian lada, impor kain dan opium (candu) di Jambi.
Kepulauan Riau yang menjadi bagian dari perdagangan Selat malaka terdapat sebuah rumah candu. Bangunan yang dipergunakan untuk rumah candu di kabupaten Lingga terletak di Desa Penuba. Bangunan ini dibangun pada tahun 1933 oleh Belanda yang dipergunakan rumah peristirahatan pimpinan, tempat hiburan dan menghisap candu.
Rumah eks candu merupakan dead monumen. Kehadiran Rumah candu mampu juga dikembangkan sebagai bagian dari sarana edukasi terkait efek pengunaan narkoba. Foto dok pesonakata.com
Tidak hanya itu, Belanda juga mendapatkan monopoli atas perdagangan madat di tanah Jawa. Wilayah Jawa dianggap pasar yang menjanjikan, sebab penduduknya padat dan belum ada aturan larangan dari pemerintah lokal kerajaan . Kegiatan madat dianggap hal yang lumrah dan bukan tabu. Bahkan pendatang China yang tinggal di pulau Jawa dianggap paling royal terhadap bahan madat ini. Beberapa tempat khusus madat disediakaan secara terbuka oleh pengusaha lokal, berikut pula bahan dan alatnya. Tumbuh suburnya kegiatan madat ini membuahkan keuntungan Belanda berkali-kali lipat.
Untuk memperlancarkan kartel ini, Belanda memberi kelonggaran tempat tempat khusus madat berkembang bebas. Tempat madat di Lawang Ombo di kota tua Lasem misalnya, selalu ramai didatangi pemadat. Di tempat itu siapapun dengan bebas menghisap candu dan pengadaan bahan baku secara legal berdasarkan undang-undang.Foto dok sulindo.com
Namun masa keemasan madat ini hanya berakhir pada tahun 1942, saat Jepang mengambil alih kekuasan Hindia Belanda. Jepang benar-benar melarang candu (Brisbane Ordinace) dan menghapus undang-undang kebebasan madat. Pada masa pemerintahan Jepanag lebih mengutamakan mobilitas dan stabilitas keamanan secara umum. Sehingga tempat tempat yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum sangat dibatasi dan diatur ketat. Termasuk tempat prostitusi dan arena judi.
Masa kejayaan perdagangan madat benar-benar berakhirsaat pasca kemerdekaan. Untuk mencegah dampaka buruk madat, sehaja tahun 1971 Presiden Suharto mengeluarkan Intruksi no 6/1971 dengan membentuk badan koordinasi yang dikenal dengan Bakorlak Inpres 6/71. Badan ini menghasilkan amandemen semua kegiatan penanggulangan berbagai bentuk penyimpangan yang dapat mengancam keamanan negara, mulai pemalsuan uang, penyelundupaan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap warga negara asing.
Tidak hanya itu, pemerintah orde baru juga mengeluarkan Undang-undang nomor 9/1976 tentang narkotika. Isinya mengatur berbagai hal tentang peredaran gelap. Juga mengatur tentang terapi dan rehaabilitasi korban narkotika, dengan menyebutkan secara khusus peran dokter dan rumah sakit sesuai dengan petunjuk menteri kesehatan. (pul)
Mutiara Peradaban Kota di Kampung Pecinan Surabaya
Abad.id - "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung', adalah salah satu peribahasa yang populer di kalangan masyarakat. Peribahasa ini mengandung arti bahwa seseorang sudah sepatutnya mengikuti atau menghormati adat istiadat yang berlaku ditempat tinggalnya.
Peribahasa ini tidak hanya populer tetapi juga telah melegenda. Inilah sebuah konsep adaptasi budaya (cultural adaptation) bagi siapapun ketika mulai membuka lembaran baru hidup di suatu daerah, entah untuk jangka waktu yang panjang atau pendek. Disanalah tercipta nilai nilai perpaduan budaya (cultural integration values) dan cara cara hidup (ways of life).
Kiranya konsep adaptasi kultural ini sangat dibutuhkan di suatu negara yang majemuk seperti Indonesia. Bahkan di suatu daerah, seperti di Surabaya, dimana kemajemukan itu nyata adanya. Apalagi kota ini adalah sebuah kota pelabuhan yang memiliki sifat terbuka. Keberagaman menjadi warna kehidupannya.
Di abad 13 atau bahkan sebelumnya, Surabaya yang berada di muara sungai Pa-Tsih-Kan (Kalimas/Kali Surabaya), adalah gerbang keluar masuk pedalaman Jawa. Ada sumber sumber, yang dengan jelas mencatat kehadiran bangsa asing ke Jawa melalui sungai Pa-Tsih-Kan. Mereka adalah Mongol (1293), Cheng Ho (1433), VOC (1612) dan Marga Han (1700).
Selain mereka, juga masih ada bangsa bangsa asing lainnya yang masuk ke Surabaya seperti Arab, khususnya dari Haddramaut. Mereka berkoloni mendekati sebuah kawasan dimana terdapat rumah ibadah Islam, Masjid Ampel yang didirikan oleh Raden Rahmad pada pertengahan abad 15 di Ampel Denta, sekarang kampung Ampel.
Pada abad 18 Pemerintah Kolonial melalui Undang Undang Wilayah (kampung), Wijkenstelsel, menciptakan permukiman berdasarkan etnis. Ada kampung Pecinan, kampung Arab dan Melayu (Vreemde Oosterlingen), Kampung Eropa (Belanda) dan golongan pribumi.
Kebijakan ini diambil setelah ada peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740, sehingga orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat. Karenanya melalui kebijakan kependudukan Pasal 163 Indische StaatSregelling Wet van 2 September 1854, Ned. S. 1854-2, S. 1855-2 jo. 1, maka dengan tegas kawasan permukiman dibagi menjadi 3 (tiga) golongan penduduk, yakni : (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing, seperti Tionghoa, India, Arab; dan (3) Golongan Pribumi.
Di kota Surabaya tidak terlepas dari pemberlakuan peraturan itu. Penduduk Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) bermukim di timur sungai Kalimas. Sedangkan warga Eropa bermukim di seberangnya (barat Kalimas). Antara keduanya, warga Timur Asing khususnya etnis Pecinan terbilang sudah lebih lama mendiami wilayah yang berada di antara dua sungai (Kalimas dan Pegirian).
Adalah keluarga Marga Han, salah satu dari tiga Marga Etnis Tionghoa (The dan Tjoa), yang bertempat di Pecinan Surabaya ini. Meski secara teritorial dan judicial, keberadaan masing masing etnis dibedakan, namun secara sosial dan kultural mereka terlibat dalam pembauran, seperti dalam bidang perdagangan dan sosial budaya.
Bisnis dan perdagangan menyatukan mereka dalam sebuah interaksi yang mutual (saling menguntungkan). Bahkan terjadi dalam interaksi yang semakin intensif karena ada perkawinan silang antar etnis, seperti Cina dan Jawa. Belum lagi pembauran dalam hal agama dan kepercayaan. Agama tidak memandang suku dan ras. Di Surabaya, pemeluk agama Islam, yang kala itu mulai berkembang sejak kehadiran Raden Rachmad, terdiri dari warga lokal, Arab dan China.
Bahkan di Kawasan Pecinan sendiri, misalnya di rumah persembahyangan nenek moyang keluarga Han, atau biasa disebut Rumah Abu Han, arsitektur bangunannya mencerminkan keberagaman etnis.
Robert Han, ahli waris keluarga Han, yang ditemui di Rumah Abu Han dalam momen sembahyangan keluarga Hari Raya Imlek pada Sabtu 21 Januari 2023 mengatakan bahwa kehadiran nenek moyangnya di Surabaya sudah menunjukkan etiket alkulturasi budaya yang harmonis dalam rancang bangun rumah.
"Coba lihat, rumah ini dibangun dengan corak Jawa, kolonial dan tentunya Tionghoa", kata Robert kepada tim penulis begandring.com.
Tim penulis Begandring.com mengapit Robert Han dan Mega Tanuwijaya
Robert Han (generasi ke 9 Marga Han di Jawa) dalam acara keluarga di rumah Abu Han ini didampingi oleh Mega Tanuwijaya (istri) dan Hubert Putra Han (anak). Mereka adalah pewaris yang sangat ngugemi (memegang teguh) tradisi nenek moyang.
Datang ke rumah leluhur di jalan Karet Surabaya adalah wujud nyata interaksi dan komunikasi yang selalu mereka jaga dengan leluhur. Agama dan kepercayaan boleh berbeda, tapi tradisi sebagai bagian dari budaya leluhur tidak boleh luntur.
Mega Tanuwijaya mendukung lestarinya tradisi nenek moyang keluarga Han. Menurutnya rumah leluhur tidak hanya bersifat fisik belaka, tapi dibalik hadirnya dan lestarinya rumah leluhur adalah wujud jembatan komunikasi yang menghubungkan mereka sekarang dengan para pendahulu. Karenanya Hubert Putra Han diajak sebagai bagian dalam proses regenerasi menjaga jembatan komunikasi di kemudian hari.
Persembahan dalam ritual perayaan Imlek di keluarga Han
Tidaklah heran jika rumah leluhur Marga Han di jalan Karet terlihat sangat terawat, tertata dan terjaga. Rumah leluhur Marga Han ini bagai teropong waktu dengan lensa yang jernih untuk melihat sejarah masa lalu Surabaya.
Surabaya sejak dulu sudah tercipta sebagai kota yang multikultural. Orangnya beragam etnis. Untuk melihat masa lalu Surabaya, bahkan hingga ke masa kedatangan bangsa Mongol (1293 M), Cheng Ho (1433) dan pendahulu Marga Han di Jawa (1700-an), rumah leluhur Han ini berkontribusi kepada kota Surabaya.
Rumah leluhur, yang umum disebut Rumah Abu ini, bagai museum hidup (living museum). Dia bukan sebuah artefak, yang dipajang dalam bingkai etalase entitas yang bernama museum. Tapi Rumah Abu Han sendiri adalah in situ museum. Rumah dan segala isinya adalah sebuah museum yang berdiri di kawasan bersejarah dalam peradaban Surabaya. Rumah Abu Han tidak berdiri sendiri, tapi ia bertengger di kawasan yang lingkungannya menyimpan berjuta cerita baik yang sudah terungkap maupun yang berpotensi diungkap. Ini semua adalah kekayaan sejarah dan budaya Surabaya.
Tentu menjadi tugas bersama dalam upaya menjaga dan melestarikan aset bersejarah ini. Tidak kalah pentingnya adalah upaya pemanfaatannya sebagai media edukasi, ilmu pengetahuan, penelitian dan kebudayaan.
Melalui Rumah Abu Han, dapat diketahui riwayat keluarga dalam peran dan tatanan pemerintahan klasik Surabaya, kebudayaan dan dalam percaturan dagang internasional yang membawa nama Surabaya dikenal di kancah perdagangan global pada masanya.
Karenanya ketika Rumah Abu Han terawat, terjaga dan tertata dengan baik bagai sebuah mutiara peradaban kota Surabaya, maka lingkungan dimana Rumah Abu Han berada diharapkan bisa mengimbangi penampilan mutiara kota ini. Rumah Abu Han adalah sebagian dari isi potret dalam bingkai Kampung Pecinan Surabaya. (Nanang)
Anak-anak menjadi korban bom Cikini, 10 anak sekolah tewas dan 48 orang mengalami cedera. Foto 30 tahun Indonesia Merdeka
abad.id-Upaya pembunuhan terhadap presiden Suarno dilakukan Jusuf Ismail, anggota pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pelaku bersama 3 komplotannya melemparkan enam granat ke arah Presiden Soekarno. Lima di antaranya meledak dan menewaskan 10 orang anak sekolah dan mencederai 48 orang. Peristiwa itu selalu diingat sebagai tragedi Cikini adalah percobaan penggranatan untuk membunuh Presiden Soekarno di Jalan Cikini No. 76 Jakarta Pusat. Peristiwa ini terjadi pada Sabtu malam 30 November 1957.
Peristiwa itu berawal saat diselenggarakan perayaan hari jadi Perguruan Cikini yang ke-15. Presiden Soekarno juga turut hadir di sana untuk merayakan. Kehadiran Soekarno disambut dengan antusias para peserta, terutama para murid sekolah. Kedatangan Soekarno ke Perguruan Cikini tidak hanya sebagai orangtua dari kedua anaknya Guntur dan Megawati, melainkan juga atas undangan dari Kepala Perguruan Cikini, Sumadji Muhammad Sulaimani dan Direktur Percetakan Gunung Sari, Johan Sirie. Usai acara, Presiden Soekarno bergegas segera meninggalkan lokasi.
Di sepanjang jalan dari halaman sekolah, warga sudah bergerombol untuk menantikan presiden Sukarno lewat. Namun, tiba-tiba terdengar suara ledakan hebat dari lemparan granat yang diarahkan ke halaman sekolah. Ledakan tersebut membuat banyak orang tergeletak. Selain itu, mobil yang dikendarai Presiden Soekarno juga hancur di makan lautan api akibat ledakan besar dari granat yang dilemparkan. Beruntung Soekarno bersama kedua anaknya, Guntur dan Megawati selamat. Namun 10 anak sekolah tewas dan 48 orang mengalami cedera.
Dalam buku itu diceritakan salah seorang yang berjasa menyelamatkan Sukarno dan keluarga adalah Mayor Sudarto, ajudan Presiden. Secara lugas Sudarto mengaku memerintahkan anak buahnya untuk menembak siapa saja yang mendekati Presiden saat diisolir di satu tempat yang gelap, di antara dua bangunan di seberang Sekolah Rakjat Cikini.
"Tidak ada jalan lain menyelamatkan jiwa Presiden dari bahaya maut itu kecuali mengorbankan diri terlebih dahulu sebelum peluru atau pecahan granat menyentuh bagian kepala negara dengan menjadikan diri kami, Ajun Inspektur Polisi Sudio, anggota polisi Oding, dan saya sendiri sebagai perisai terakhir," kata Sudarto, seperti yang dikutip dari harian Sin Min, 6 Desember 1957.
Kegagalan yang membahayakan keselamatan Presiden hampir terjadi ketika Sudarto hendak menelepon untuk meminta bantuan. Telepon di sekeliling kompleks itu terputus. Sudarto menduga sengaja diputus karena rmasuk dalam skenario pembunuhan Presiden. Mayor Sudarto yang saat itu berumur 35 tahun segera melarikan Bung Karno dari tempat persembunyian dengan menaiki mobil dengan kawalan ketat.
Rombongan tidak langsung ke Istana Presiden. “Kami harus berputar-putar melalui Lapangan Banteng karena jalan terhalang pintu kereta api yang tertutup. Saya perintahkan perjalanan ke Istana tidak boleh berhenti untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Sudarto.
Namun apa lacur, pintu kereta api di Jalan Pintu Air dekat Capitol juga tertutup. Terpaksa rombongan penyelamatan berputar melalui pintu kereta api hingga akhirnya selamat sampai ke Istana.
Pasca aksi teror tersebut, tim pengawal Presiden langsung melakukan evaluasi dan pengamana ketat. Semua anggota didata, dan beruntung semuanya selamat dan hanya sedikit luka. Sedangkan kondisi Presiden Soekarno dan keluarga sehat tanpa luka. Berikutnya tim pengawal ingin mendengar langsung perintah Sukarno atas peristiwa itu.
Rupanya Presiden Sukarno sangat murka. Hatinya teriris melihat korban anak-anak bergelimpangan. Sukarno segera memerintahkan pengejaran terhadap para pelaku pelemparan granat. Ia juga meminta untuk dilakukan penyelidikan terkait dalang di balik peristiwa tersebut.
Pelaku peristiwa bom cikini dibawa ke pengadilan militer tanggal 28 april 1958. Mereka Jusuf Ismail Saadon bin Mohammad, Tasfif bin Husain dan Mohammad bin Abu Bakar dijatuhi hukuman mati. Foto 30 tahun Indonesia Merdeka
Hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, para aparat dan intelijen negara berhasil menangkap empat pemuda sebagai pelaku aksi teror bom Cikini. Mereka bernama Jusuf Ismail, Sa'idon bin Muhammad, Tasrif bin Husein, dan Moh Tasin bin Abubakar. Keempat orang penghuni Asrama Sumbawa yang juga berlokasi di kawasan Cikini dan anggota dari pemberontak Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII). Selain mereka, aparat juga mengamankan Kolonel Zulkifli Lubis, mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat yang dicurigai sebagai otak dari tragedi bom Cikini.
Dari intrograsi dan penelidikan, motif melempar bom ke presiden Sukarno bukan hanya sebuah aksi teror biasa. Lebih dari itu ingin menyingkirkan Soekarno dari kursi kepresidenan. Menurut Mubarok pengamat politik Unesa, pada masa kepemimpinan Soekarno, banyak orang yang merasa tidak puas dengan kondisi politik yang terjadi saat itu. ruang ekpresi dan argumentasi sangat tidak ada, sehingga kelompok ini melakukan upaya untuk melakukan pembunuhan.
Salah satu cara yang digunakan adalah dengan teror melemparkan granat. Ide tersebut muncul ketika pelaku mendengar Presiden Soekarno akan menggelar acara di Perguruan Cikini pada 30 November 1957. Kemudian mereka merancang pembunuhandi tengah keramaian dengan cara melemparkan granat ke rombongan Presiden Soekarno dengan sasaran membuatnya jatuh dari jabatannya.
Ada juga motif lain yang masih dalam penggalian yaitu dugaan keterlibatan CIA adalam aksi percobaan pembunuhan. Kelompok ini merasa tidak senang karena Sukarno terlalu dekat dengan komunis. Beberapa kegiatan PKI selalu berhasil mendatangkan Sukarno, sehingga jumlah massa semakin besar. Hasilnya saat pemilu 1955 suara PKI sangat banyak dan masuk 5 besar partai pemenang. Keberhasilan PKI berhasil meraup lebih dari 6 juta suara pemilih dan berada di urutan ke empat partai.
Namun Sukarno lebih yakin kelompok DI/TII berada di balik aksi teror bom Cikini. Dengan penuh amarah, Sukarno langsung memerintahkan tokoh DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo segera ditangkap.
Bagi Sukarno, nama Kartosoewirjo bukan orang asing dalam pergerakan merintis kemerdekaan Indonesia. Kartosoewirjo tertarik pada dunia pergerakan di Surabaya pada 1923 dan sempat satu atap di rumah kost HOS Cokroaminoto. Kartosoewirjo mengagumi Tjokroaminoto yang sering berpidato dalam berbagai pertemuan. Kartosoewirjo melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.
Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah. Kekecewaannya terhadap pemerintah membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Wilayahnya berada di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Soekarno yang menjadi presiden, teman kosnya semasa di Surabaya, adalah orang yang menandatangani eksekusi mati Kartosoewirjo pada September 1962. “Salah satu keputusan berat yang harus diambil Soekarno adalah menandatangai vonis mati terhadap sahabatnya tersebut,”.
Setelah mengusut peristiwa ini, maka dilakukan persidangan pada 15 Agustus 1958. Dalam persidangan itu satu terdakwa menyebutkan bahwa Letnan Kolonel Zulkifli Lubis adalah dalang utamanya. Bahkan, terdakwa juga mengatakan sempat beberapa kali menyusun upaya percobaan untuk membunuh Soekarno. Akan tetapi, beberapa kalangan meragukan pengakuan tersebut. Zulkifli pribadi juga menolak atas tuduhan itu.
Hingga pada akhirnya, Jusuf Ismail mengaku dialah yang memelopori pelemparan granat tersebut. Maka Letkol Zulkifli Lubis lolos dari tuduhan. Keempat terdakwa pelaku tragedi Cikini diputuskan diberi hukuman mati di hadapan regu tembak pada 28 Mei 1960. (pul)
abad.id-Bagi anda yang besar di era tahun 80-an, pasti kenal dengan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). SDSB berupa kupon undian dengan menebak angka. Hampir sama dengan Porkas, undian resmi yang digelar pemerintah orde baru ini muncul setiap Senin dan hari Rabu. Selembar kupon berharga Rp.1.000,- dijual pukul 18.00, dan akan diumumkan hasil undiannya pukul 00.00 tengah malam melalui radio RRI. “Hari Kamis dini hari sudah diumumkan angka yang keluar. Maka pemegang kupon yang tebakannya tepat, bisa mengambil hadiah di loket tempat membeli, pada hari Kamis sampai Minggu, dengan membawa kupon asli,” kata Iwan Hidayat seorang pengusaha kopi di Mataram.
Mereka yang membeli SDSB awalnya hanya berniat sebagai hiburan sekaligus iseng-iseng berhadiah. Memang, iming-iming hadiah SDSB berupa uang tunai sangat menggiurkan. Menurut Dwi Budiono seorang aktifis sosial, kupon SDSB harganya cuman Rp 1000. Sedangkan undian berupa 6 digit angka, misalnya 6 5 4 3 2 1. Jika tepat menebak persis sama dengan keenam urutan angka tersebut, maka hadiahnya sebesar Rp 1 Milyar. Kalau 4 angka (4 digit terakhir), hadiahnya senilai Rp2,5 juta. Jika 3 angka (3 digit terakhir), hadiahnya sebesar Rp.350 ribu dan 2 angka (2 digit terakhir), hadiahnya senilai Rp.60 ribu. “Di satu sisi sebagai hiburan, sedangkan di sisi yang lain menjadi keuntungan bagi penyelenggaranya. Pernah orang Trenggalek langsung kaya setelah dapat hadiah utama SDSB Rp 1 Miliar dan masuk koran,” cerita Dwi.
Lalu, bagaimana cara mendapatkan angka bisa keluar secara tepat. Mereka para penghobi SDSB melakukan hal-hal unik diluar nalar. Mantan wartawan media mistik yang terbit di Surabaya Liberty punya banyak kisah mendapatkan nomor SDSB. Menurut Sidik, tidak jarang para penggemar SDSB sengaja “kesurupan” dan melakukan ritual untuk mendapatkan tebakan angka yang jitu. Caranya dengan bertapa di tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker pada malam hari. Di kawasan Bungurasih Surabaya terdapat sebuah tempat yang dikenal dengan Mbah jenggot. Di tempat ini yang punya hajat melakukan ritual mengundang roh dengan mediasi orang agar kesurupan. Saat kesurupan, yang punya hajat bertanya ke barang halus nomor kode yang akan keluar. Sang mahluk akan menulis di tanah dan diyakini itu nomor jitu.
Kupon SDSB harganya Rp 1000. Jika tepat menebak persis 6 angka urutan maka hadiahnya sebesar Rp 1 Milyar Foto dok net.
Ada cara lain dengan membakar kemeyan atau membakar daging burung tertentu. Hal ini diyakini akan mengundang datangnya makhluk astral yang akan memberitahukan angka yang akan keluar. Angka itu tertulis pada piring putih atau pada telur yang sudah disiapkan. Paling mudah dengan melakukan rapalan, atau meletakan korek api kayu yang dibungkus kertas putih di sebuah temat pada malam hari. Media rapalan bisa ditinggal setelah diberi mantra. Besok pagi tinggaal ngambil dan posisi media rapalan bisa berubah dan memberi kode tertentu.
Jika mendapat angka, maka angka itu tidak langsung keluar pada minggu pertama. Biasanya baru keluar setelah 2 bulan berikutnya. Bahkan bisa saja angka keluar tapi harus dibolak balik. Angka muncul dari hasil mistis itu tepat, namun urutannya terbalik.
Selain dengan dengan cara nggarandong, penggemar SDSB juga paling suka menanyakan kepada orang gila, atau anak kecil yanag masih polos berapa angka yang akan keluar. Sama seperti hasil bertapa, angka yang dikatakan oleh orang gila ini harus dipasang berturut-turut beberapa minggu dan dibolak-balik. Menurut mereka, angka yang dikatakan orang seperti itu sering benar. Ada pula para penghobi SDSB ini bertanya ke guru ngaji atau orang pintar. Maka mulailah kegiatan ritual yang tidak bisa di nalar. Seperti yang dilakukan guru ngaji di Sidotopo dengan perantara air putih yang disemburkan di cermin. Saat itu pula peserta pengajian bisa melihat bersama-sama nomor nomor misterius yang muncul di cermin. “ Cara ini pernah menggemparkan warga Sidotopo, sebab hampir satu kampung dapat undian SDSB,” cerita Sidik.
Para penggemar SDSB semua pasti juga menjadi ahli tafsir mimpi. Apa saja mimpi yang mereka alami, selalu cari magna lalu dihubungkan dengan angka. Jika mimpi melihat siput atau bekicot misalnya, lalu akan ditafsirkan sebagai angka 02. Atau jika mimpi melihat kumpulan orang, maka jumlah orang tersebut diangap sebagai angka yang akan keluar. Bahkan buku primbon tafsir mimpi menjadi pegangana wajib para penghobi. Selanjutnya akan berdiskusi di warung kopi tentanag tafsir mimpi yang dialami.
Terkadang penjual obat selalu ditunggu. Pada saat tertentu, orang-orang istimewa ini akan mengeluarkan sebuah kode nomor yanag bisa diartikan. Bahkan sambil menjual obat mereka menjual prediksi angka yang akan keluar. Dengan berbagai trik, mereka dapat meyakinkan para penggemar SDSB untuk membeli angka tersebut. Serta seorang dalang wayang kulit hingga tontotan hiburan rakyat ludruk dan ketoprak selalu ditunggu hingga tuntas. Bagi penggemar SDSB melihat tontonan bukan karena terhibur namun disebabkan menunggu kode nomor yang tersirat disampaikan oleh pemain ketoprak atau pak dalangnya.
Sedangkan cara yang umum dengan melakukan rekap nomor. Yaitu melakukan hitungan rumus tertentu nomor yang sudah pernah keluar dan nnomor yang belum pernah. Misalnya pada Minggu lalu angka yang keluar adalah 2345, maka setelah direkap dengan nomor lain yang belum keluar hasilnya akan muncul sebuah angka untuk minggu depan. Sebenarnya faktor X dan keberuntungan saja seseorang bisa mendapatkan undian ini, maka jangan pernah dibuat serius hingga gila nomor. ” Ada tetangga saya dapat nomor SDSB dalam jumlah besar Rp 10 juta justru kaget dan sakit-sakitan hingga meninggal dunia,” kata Sidik Purwoko.
Sejarah Judi Resmi di Indonesia
Perjudian secara resmi di Indonesia memiliki sejarah panjang, dan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Saat itu perjudian tak hanya dianggap sebagai hiburan, tetapi bisa dijadikan alat untuk menyatukan berbagai kalangan. Padai zaman kolonial Belanda, judi berlangsung melalui sebuah ordonansi atau peraturan yang dikeluarkan residen setempat. Maka perjudian yang awalnya dianggap sesuatu yang tabu, lama kelamaan mulai dilegalkan oleh pejabat setempat.
Di zaman Indonesia pasca Kemerdekaan, judi buntut merebak namun bersifat lokal. Di beberapa kota besar di wilayah Indonesia sepetti Bandung dan Surabaya, ada judi buntut dengan sebutan toto raga yang mengacu pada olahraga pacuan kuda. Kemudian tahun 1960-an pemerintah Sukarno membentuk Yayasan Rehabilitasi Sosial, sebuah yayasan yang didirikan oleh pemerintah untuk mengelola perjudian legal. “Pemerintah membutuhkan dana cukup besar untuk pembangunan, maka salah satu cara untuk mengumpulkan uang masyarakat dengan cara mengelola perjudian,” kata Dwi Budiono.
Pengundian hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial dilakukan setiap satu bulan sekali. Nilainya cukup fantastis mencapai Rp 500. Sementara nilai terendahnya berkisar antara Rp 10-20 ribu. Karena judi legal ini sangat menjanjikan keuntungan namun hanya muncul satu bulan sekali, beberapa bandar menggelar judi yang sama secara ilegal. Salah satunya "Lotere Buntut". Cara hanya menebak dua angka terakhir undian berhadiah yang dikeluarkan pemerintah, namun bandarnya modal pribadi.
Sejak awal dibentuk tahun 1978, tak kurang dari 4 juta kupon SDSB ludes dibeli masyarakat dan diundi pada Senin dan Rabu. Foto dok istimewa
Lotere Buntut ini bertebaran hingga ke pelosok-pelosok. Sasarannya adalah petani, buruh, dan pedagang-pedagang kecil. Tanpa memerlukan peraturan yang sulit, para pecandu permainan ini dapat langsung memasangkan taruhannya. Besaran hadiah yang didapat cukup menggiurkan, antara Rp 60 ribu samapai Rp 80 ribu.
Melihat fenomena minat minat hiburan judi cukup menjanjikan, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang baru saja dilantik langsung melakukan gebrakan. Pertimbangannya mencoba menarik dana masyarakat untuk pembangunan DKI melalui legalisasi perjudian. Serta mencegak judi ilegal atau judi buntut dengan memperkenalkan judi resmi Jakarta dengan nama Nalo, singkatan dari National Lotere berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tahun 1957.
Pro dan kontra sebuah kebijakan keap terjadi, tetapi fakta menunjukan perjudian mampu menghasilkan uang cukup besar sehingga infrastruktur di Jakarta bisa terbangun dengan cepat. Meskipun secara materi menguntungkan pemerintah, namun akhirnya Sukarno menyadari bahwa perjudian itu berpotensi merusak moral. Maka pada tahun 1965 Sukarno menghentikan seluruh aktivitas perjudian melalui Surat Keputusan Presiden nomor 113 tahun 1965. Bahkan masukan perjudian ke dalam kategori kejahatan subversive.
Orde Baru Mengenalkan Porkas dan SDSB
Dalam perjalanannya, meskipun perjudian secara resmi dinyatakan terlarang tetapi pada praktiknya masih terus terjadi dimana-mana, judi buntut bisa ditemukan dihampir seluruh wilayah Indonesia terutama di kota-kota besar secara ilegal. Melihat fenomena ini pihak yang dekat dengan kekuasaan Orde baru mencoba mengambil kesempatan, dengan melegalkan"judi buntut" dengan dalih untuk kegiatan kemanusian.
Pemerintah melalui Badan Usaha Undian Harapan membuat program yang dikenal dengan SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) pada tahun 1978. Sejak awal dibentuk, tak kurang dari 4 juta kupon SDSB ludes dibeli masyarakat dan diundi pada Senin dan Rabu. Operator yang ditunjuk mengendalikan SDSB ini Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang dipimpin Robby Sumampow. Orang yang dekat dengan Cendana ini sebelumnya sukses mengelola judi Porkas dan mengelola sejumlah grup usaha dan hotel di Solo dan Jakarta.
Robby Sumampow bersama tim kementrian sosial mempelajari judi SDSB selama 2 tahun di Inggris, tujuannya agar mampu menciptkan model undian tanpa memiliki ekses judi. Di Inggris, jenis undian berhadiah menggunakan perhitungan-perhitugan yang sistematik. Dalam Managing National Lottery Distribution Fund Balances, yang dikeluarkan oleh lembaga resmi Inggris, menjelaskan perhitungan lotere bukan semata-mata tebakan saja. Namun semacam permainan berhitung yang rumit. Maka Robby Sumampow mencoba melakukan hal yang sama untuk diterapkan di Indonesia.
Akhirnya setelah penelitian dirasa cukup pemerintah meresmikan SDSB pada tahun 1985 melalui Surat Keputusan Menteri Sosial nomor BBS-10-12/85. Setahaun berjalan, omzet dari undian berhadiah SDSB ini mencapai angka Rp. 1 triliun, angka yang luar biasa. Karena untuk besar, Pemerintah Orde Baru melalui Departemen Sosial kembali mewacanakan bergulirnya judi legal lain yang dinamakan 'Porkas' yang peruntukan untuk kegiatan olahraga.
Selama 8 tahun undian Porkas beroperasi, kelompok agamawan dan aktifis sosial menganggap Porkas dan SDSB tak lain dari judi yang terselubung. Masyarakat mulai protes turun ke jalan menolak keberadaan SDSB. Pada tahun 1992, aksi demontrasi juga dilakukan mahasiswa hingga terjadi bentrokan antara pengepul dengan massa aksi di Jakarta. “Aksi menolak SDSB juga terjadi di Surabaya dan sejumlah mahasiswa ditangkap oleh pemerintah orde baru, dan mereka dituduh makar,” cerita Dwi Budiono.
Peredaran Porkas, SDSB dan berbagai judi buntut legal akhirnya dihentikan bulan November 1993 melalui keputusan Menteri Sosial Endang Kusuma Intem. Sementara pengusaha kawakan asal Kota Solo, Robby Sumampouw, meninggal dunia di Singapura pada Minggu 11/10/2020 di usia pada 76 tahun. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji