Satuan Pemberontakan 88 Hancurkan Kereta Belanda di Purwakarta. Foto H. Wakker. Beeldbank National Archief.
abad.id- Para gerilyawan Sipil mensabotase jalur Kereta Api Jakarta-Bandung di wilayah Bendul, Sukatani, Purwakarta yang membawa senjata dan rombongan pasukan Belanda, pada 22 Oktober 1948 sekitar pukul 17.00. Rel kereta Api dibongkar sepanjang 20 meter. Aksi ini untuk menjebaak lokomotif Double traksi dengan 1 tender berjalan dengan kecepatan tinggi. Akibatnya rangkaian kereta anjlok dan terguling. Tidak lama kemudian sekitar 50 orang pejuang dan warga sipil menyerbu tentara Belanda yang ada di gerbong gerbong.
Pasukan Belanda tidak dapat melakukan perlawanan, dikarenakan mereka dalam posisi tidak siap, buntutnya 8 orang tentara Belanda tewas dan 23 orang lainnya terluka.
Belanda menganggap ada 2 orang yang paling bertanggung jawab atas insiden ini, yakni Uswata dan Darja, mereka ditangkap dan dihukum mati tak lama kemudian. Aksi penggulingan kereta api milik Belanda ini dilakukan oleh Darja dan Uswata serta kelompoknya sebagai bentuk balas dendam atas tindakan Dutch Police Action pasca kemerdekaan Indonesia 1945.
Tindakan Dutch Police Action sendiri yg terkenal yakni saat Belanda melakukan agresi militer di Kabupaten Karawang, Jawa Barat pada 1947 atau setahun sebelum insiden Bendul Purwakarta. Dutch Police Action dilakukan untuk mengurangi warga sipil yang dianggap memberontak tentara Belanda. Di Karawang Dutch Police Action membantai 431 orang laki-laki dan lebih dikenal sebagai “Pembantaian Rawagede”.
Aksi Heroik Darja dan Uswata sangat terkenal di wilayah Purwakarta.
Aksi pembalasan dilakukan tentara Belanda pada pagi tanggal 23 Oktober 1948. Pasukan Belanda menyerbu kampung dan pembersihan besar-besaran di wilayah Bendul, Purwakarta. Belanda geram dan marah besar pascakereta api logistik mereka terguling di kawasan tersebut. Belanda mensinyalir aksi itu dijalankan oleh sebuah organisasi ekstrim bernama SP 88 (Satoean Pemberontak 88). Alhasil dua pentolan SP 88 Uswata dan Darja ditangkap dan dihukum mati tak lama kemudian.
Aksi lain yang memuat polisi dan tentara Belanda jengkel yaitu agitasi-propaganda. Mereka memasang puluhan bendera merah-putih di kota Purwakarta setiap menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI. Selain itu, SP 88 beraksi lewat coretan-coretan propaganda di tembok-tembok gedung dan keretapi. Penyebaran poster ancaman terhadap mata-mata Belanda pun kerap mereka lakukan di berbagai pusat keramaian. Akibatnya banyak kaum bumiputra menjadi ciut nyali karena bekerja sebagai mata-mata atau pegawai pemerintah sipil bentukan Belanda.
Dalam bukunya Siliwangi dari Masa ke Masa edisi III, Sudjono Dirdjosisworo menulis dalam setiap aksinya, SP 88 mengutamakan kecepatan dan kerahasiaan. Sesuai motto mereka “datang seperti angin dan pergi pun laksana angin”, sebisa mungkin para anggota SP 88 tidak menarik perhatian saat tengah menjalan aksi-aksinya.
Pembentukan SP 88 ini berawal pasca Perjanjian Renville pada awal 1948. Divisi Siliwangi meninggalkan wilayah Jawa Barat. Saat pemindahan pasukan ini, secara diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan menyisakan sebagian kecil anggotanya di Jawa Barat untuk terus mengobarkan perlawanan.
Di Purwakarta, salah satu yang tetap bertahan adalah Field Preparation Barisan Hitam (FPBH), sebuah kesatuan campuran tentara dan lasykar. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Oesman Soemantri, sejak 1 Februari 1948 FPBH lantas mengubah namanya menjadi SP 88. Pasukan ini terpencar di Jarong-Cibungur (Purwakarta)-Cikampek-Dawuan (Karawang). Anggota SP 88 terbilang besar, ditaksir lebih dari 1.500 personel dengan kekuatan senjata sekitar 450 pucuk.
Embel-embel angka “88" diartikan para anggota SP 88 sebagai simbol dari nama dua pemimpin Republik: Sukarno-Hatta. Angka 8 yang pertama adalah huruf S (sa), huruf kedelapan dalam afabet Jawa. Adapun 8 yang kedua adalah H, huruf kedelapan dalam alfabet Romawi. Oesman Soemantri disamarkan menjadi Tritunggal sedangkan wakilnya A.S. Wagianto memakai nama Sang Dewata.
Robert B. Cribb, sejarawan berkebangsaan Australia, merekam strategi penyamaran nama itu dalam bukunya Gangsters and Revolutionaries. Menurut Cribb, bukan hanya mengadopsi nama-nama berbau Sansekerta, para komandan SP 88 pun kerap menggunakan nama-nama “berbau barat" seperti Phantom Bom.
Operasi kontra-intelijen menjadi spesialisasi SP 88. Dalam berbagai aksi, SP 88 tidak hanya melibatkan anggota laki-laki tapi juga perempuan. Salah satunya bernama Roekiah. Dia merupakan komandan intel SP 88 yang beroperasi di wilayah Cicariang, Purwakarta kota, Kembangkuning, Cikuya, Perkebunan Jatiluhur, Cilutung, Cilalawi,dan Cicariang.
Usia SP 88 terbilang panjang. Ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat pada Desember 1948, eksistensi organ teror ini tetap dipertahankan. Mereka kembali menjadi andalan kekuatan militer Republik untuk mengobrak-abrik pertahanan Belanda hingga tercapainya kesepakatan gencatan senjata pada 10 Agustus 1949. (pul)
Pasukan Marsose setelah berhasil memukul mundur pasukan Aceh di gayo. Foto dok net
abad.id- Berakhirnya perang Diponegoro mengembalikan kekuatan Belanda yang kembali mencoba untuk menguasai wilayah Minangkabau. Keinginan ini dilandasi alasan untuk menguasai perkebunan kopi di kawasan pedalaman Minangkabau dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Diketahui nagari Pandai Sikek adalah daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Belanda juga membangun benteng Fort de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat kedudukannya.
Pada tanggal 11 Januari 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat yang telah bersatu melakukan penyerangan pada beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda dan menewaskan 139 serdadu. Belanda melunakkan sedikit konfrontasinya dengan mengeluarkan "Plakat Panjang" berisi pernyataan bahwa kedatangan mereka tidak bermaksud untuk menguasai nagari tersebut, melainkan untuk berdagang dan menjaga keamanan. Untuk menjaga keamanan maka dibuatlah jalan, membuka sekolah dan memerlukan biaya. Maka penduduk setempat diwajibkan menanam kopi dan menjualnya kepada Belanda.
Perlahan-lahan Belanda menyusup dan melakukan penyerangan hingga pada tahun 1837 Benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda. Bahkan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap. Tuanku Imam Bonjol yang tak sudi untuk menyerah dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Dalam pengasingan tersebut Tuanku Imam Bonjol sempat dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado dan meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864.
Peperangan berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu (Rokan Hulu) yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai. Benteng tersebut jatuh ke tangan Belanda pada 28 Desember 1838. Perang Padri berakhir dengan kemenangan pihak Kolonial Belanda, sementara Tuanku Tambusai bersama sisa-sisa pengikutnya terpaksa pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya.
Setelah menguasahi bumi minangkabau, Belanda sangat berambisi menyerang Aceh. Keberhasilan mengalahkan perang Jawa dan Perang Padri membuktikan kekuatan serdadu Belanda. Belanda yakin punya kemampuan menciptakan kemenangan melawan pasukan pribumi yang melakukan taktik gerilya. Jika menguasahi seluruh Sumatra, maka secara geopolitik bisa mengendalikan jalur perdagangan di selat Malaka.
Belanda dengan sangat percaya diri mulai menyerang Aceh tahun 1973. Ternyata lawan Aceh tidak seperti yang ditulis dalam kertas. Pejuang Aceh sangat handal dalam perang gerilya. Mereka mampu tiba-tiba menyergap patroli Belanda, kemudian menghilang di hutan. Tidak jarang, mereka menghilang dengan membawa rampasan dari Belanda. Kerugian Belanda menjadi berlipat-lipat, kehilangan pasukan dan kehilangan persenjatan.
Dikutip dari buku Nino Oktorino berjudul ‘Perang Terlama Belanda: Kisah Perang Aceh, sebelum tahun 1890, Belanda tidak tidak bisa mengimbangi perang gerilya pejuang Aceh. Sebuah saran dari Residen Ternate untuk mengirimkan pasukan bantuan yang terdiri dari pejuang Alfuru. Mereka ini terkenal sebagai pengayau (pemenggal kepala). Namun, usulan tersebut ditentang keras pejabat Belanda di Aceh.
Hingga akhirnya seorang Minang yang menjadi jaksa kepala di Kutaraja, Mohammad Syarif atau Arif memberikan usulan kepada Gubernur Sipil dan Militer Aceh, H.K.F. van Teijn. Mohammad Arif agar Belanda membentuk suatu unit tempur infanteri yang memiliki mobilitas tinggi. Pertimbangan Mohammad Syarif berangkat dari pengalaman sebelumnya saat perang Padri di Bonjol dan perang Diponegoro di Jawa. Personelnya berani mati, mampu bertempur dan berkelahi di jarak dekat, dan nekat.
Rupanya, usulan Mohammad Arif disetujui Gubernur van Teijn, dan membentuk sebuah pasukan yang diberi nama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korps Marsose Aceh dan Daerah Sekitarnya), atau lebih dikenal dengan pasukan Marsose.
Pasukan Marsose ini dibentuk secara resmi pada 2 April 1890. Pasukan ini diberi seragam hijau dengan tanda garis bengkok warna merah pada lengan. Di bagian leher, ada garis merah yang lebih tipis dari pasukan reguler Belanda. Tingkat Pasukan Marsose adalah korps, yang dipimpin oleh seorang Kolonel. Hingga tahun 1904, Korps Marsose sudah memiliki 6 divisi yang tersebar di Aceh Besar.
Tiap divisi memiliki 4 kompi, dengan komandan berpangkat Letnan Satu atau Letnan Dua. Setiap kompi memiliki 4 brigade, yang menjadi unit terkecil dalam Koprs Marsose. Sebuah brigade memiliki 20 pasukan, dipimpin oleh seorang Sersan Eropa, dan seorang Kopral bumiputra. Pasukannya terdiri dari orang Belanda dan Eropa, Afrika, serta Jawa, Ambon, Manado, dan beberapa orang Timor.
Maka, pasukan Marsose merangsek mengejar pejuang Aceh hingga pedalaman, bahkan ke tempat-tempat terpencil. Mereka sanggup pergi ke hutan menumpas pejuang Aceh selama berbulan-bulan dan tak tergantung oleh logistik.
Berbeda dengan pasukan reguler Belanda, pasukan Marsose tak tergantung senjata api. Mereka handal menggunakan kelewang untuk menghabisi lawan di pertempuran jarak dekat. Dengan segera, pasukan ini menjadi momok bagi pejuang Aceh. Apalagi, perwira-perwira Marsose seperti Van Daalen, Golijn, Schmidt, Van der Maaten, dan Christoffel begitu gigih mengejar pejuang Aceh, seperti tak terhalang oleh gunung, hutan lebat, dan rawa yang dalam.
Salah satu korban keganasan serdad Marsose, salah satunya pasukan Sisingamangaraja XII di pedalaman Sumatera Utara. Pasukan Sisingamangaraja XII yang sebelumnya dikenal sangat hafal hutan dan menguasahi medan, ternyata masih kalah dan melarikan diri melawan Marsose. Saat penyerangan Sisingamangaraja XII dipimpin Pasukan Marsose Kolone Macan. Disebut sebagai pasukan paling hebat dan kejam Marsose Belanda. Pimpinannya tak kalah kejam, seorang perwira bernama Hans Christoffel, asal Swiss.
Kolone Macan didirikan di Cimahi, anggotanya prajurit pilihan yang beringas, jago berkelahi, dan bujangan. Pasukan ini mudah dikenali dengan simbol kain merah di leher. Mereka adalah prajurit pilihan dari orang pilihan, karena pasukan Marsose sendiri sudah merupakan pasukan khusus Belanda untuk menghadapi taktik gerilya.
Sang kapten, Hans Christoffel tak kalah tangguh. Dia sudah luka berkali-kali selama tugasnya di Aceh. Termasuk, saat peluru menyerempet kepalanya, atau saat ibu jarinya putus ditebas prajurit Aceh. Pada 24 September 1910, pasukan Kolone Macan berhasil mengendus dan menewaskan Pang Nanggroe di rawa-rawa Paya Picem. Pan Nanggroe adalah suami Cut Meutia.
Metode Kolone Macan dalam menghadapi penduduk juga menyeramkan. Mereka akan mendatangi suatu desa, menandai rumah yang prianya sedang tak ada. Keesokan harinya, mereka kembali. Jika tidak ada jawaban yang memuaskan, mereka langsung menembak mati siapapun di depan rumahnya. (pul)
Semaun dan Darsono waktu masih muda. Foto dok net
abad.id- Nama Semaun dalam sejarah berdirinya Bangsa Indonesia selalu dihubungkan dengan sebuah ideologi kiri. Padahal peran Semaun dalam merintis menuju kemerdekaan sangat penting. Khususnya kepada buruh yang telah berhasil sadar berorganisasi dan menolak penindasan kaum kapitalis.
Bagi HOS Cokroaminoto di Surabaya, patut berbangga memiliki 3 murid cermelang. Mereka Sukarno berhaluan nasionalis, Semaun berhaluan kiri dan Kartosuwiryo yang hingga akhir hayatnya yakin dengan sikap negara Darul Islam.
Semaun, tokoh revolusioner kelahiran Mojokerto pada 1899 ini, berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Sejak kecil, Semaun dikenal sangat cerdas. Di usia ke 13 tahun dan hanya berbekal ijazah sekolah dasar itu, Semaun diterima berkerja di Staats Spoor Maatschapi (Perusahaan Kereta Api Negara) sebagai juru tulis. Walaupun disibukkan dengan pekerjaan, keinginan belajarnya tak pernah padam. Setiap sore hari ia menyempatkan diri untuk belajar bahasa Belanda di Hollandsch Inlandsce School (HIS).
Dengan kedudukan dirinya sebagai pegawai kereta api, sebenarnya sudah cukup mapan dan terjamin kehidupannya. Tapi, karena semakin banyak penderitaan rakyat yang ia lihat kala itu, Semaun tergerak untuk melakukan gerakan pembebasan. Semaun masuk ke organisasi Sarekat Islam (SI) dibawah kepemimpinan Cokroaminoto pada usia 15 tahun. Di SI, Semaun menduduki posisi Sekertaris Sarekat Islam cabang Surabaya. Masuknya Semaun dalam gerakan SI mempertemukan dirinya dengan Henk Sneevliet di Surabaya tahun 1915.
Setelah cukup dekat dengan Sneevliet, Semaun memutuskan pindah ke Semarang. Tempat di mana Sneevliet mendirikan ISDV. Pecahnya Revolusi Sosialis/Komunis pada bulan Oktober 1917 di Rusia, bagaimanapun berpengaruh pada aktivitas politik kaum pergerakan Hindia Belanda. Kemenangan Revolusi Oktober di Rusia itu telah membangkitkan kesadaran komunisme. Revolusi Oktober memberi inspirasi bahwa imperialisme Belanda pasti dapat digulingkan, dan rakyat bumiputera akan dapat mendirikan negara yang bebas dan merdeka.
Di Semarang, Semaoen mendapatkan tugas menjadi pimpinan SI lokal. Karena sikap dan prinsip komunisme mereka yang semakin radikal, hubungan dengan anggota SI lainnya mulai renggang. Pada Kongres Nasional Sarekat Islam ke-2 di Jakarta yang diselenggarakan dari tanggal 20 hingga 27 Oktober 1917, membahas hubungan antara agama, kekuasaan dan kapitalisme. Tema yang menimbulkan perdebatan keras dan kerenggangan (perpecahan) di dalam SI. Pasca Kongres, SI Semarang mulai mengadakan aksi-aksi untuk memperjuangkan cita-citanya.
Akhir tahun 2017, SI Semarang mengadakan rapat anggota dan menyerang ketidakberesan di tanah-tanah partikulir. Juga kaum buruh diorganisasi supaya lebih militan dan mengadakan pemogokan terhadap perusahaan-perusahaan yang sewenang-wenang. Korban pertama pemogokan ini adalah sebuah perusahaan mebel yang memecat 15 orang buruhnya. Atas nama SI, Semaoen dan
Kadarisman memprolamasikan pemogokan dan menuntut 3 hal. Pertama, pengurangan jam kerja dari 8,5 jam menjadi 8 jam. Kedua, selama mogok, gaji dibayar penuh dan ketiga, setiap yang dipecat, diberi uang pesangon 3 bulan gaji. Dalam proklamasi pemogokan itu, mahalnya biaya hidup, juga digugat. Pemogokan ini ternyata merupakan senjata yang ampuh. Dalam waktu 5 hari saja, majikan menerima tuntutan SI Semarang dan pemogokan pun dihentikan.
Peristiwa tersebut semakin mempopulerkan nama Semaun di kalangan rakyat. Pada tahun 1919, saat menginjak usia 20 tahun, Semaun terpilih sebagai anggota pimpinan pusat SI merangkap Ketua cabang SI Semarang. Semaun juga aktif menulis di media massa. Bahkan, akibat tulisannya, Semaun sempat dipenjara di Yogyakarta dari Juli sampai November 1919. Di dalam penjara, ia menyibukkan diri dengan menulis novel berjudul Hikayat Kadirun dan buku berjudul Penuntun Kaum Buruh.
Lewat Penuntun Kaum Buruh, Semaun menuangkan gagasan agar buruh bergerak dengan menceritakan kondisi Hindia Belanda kala belum ada ketimpangan, "Ketika di Indonesia belum ada sepur atau trem (kereta api), maka keadaan negeri ini sunyi, sepi, tentram, dan damai. Begitu juga penduduknya (rakyatnya) yang hidup, berpikir, berbudi, serta bekerja dengan sabar dan damai. Hampir semua rakyat Indonesia mempunyai sebidang tanah yang memberikan penghasilan dan penghidupan baginya." tulis Semaun dalam bukunya.
Keluar dari penjara, Semaun kembali ke Semarang. Sikapnya kepada pemerintah Hindia Belanda makin radikal. Semaun benar-benar menerapkan ajaran Sneevliet. Ia berkembang jadi propagandis sosialisme yang keras. Sisi itu juga membawa perubahan pada SI yang semula lunak pada Hindia Belanda. Corak kiri, lama kelamaan makin kentara dalam SI. Kuatnya pengaruh Semaun membuat pimpinan SI lainnya kepayahan mengimbangi sikap kiri organisasi.
Bahkan, orang-orang kaya raya seperti Niti Semito, raja rokok kretek dari Kudus atau Haji Busro dari Semarang ikut mendukung SI ala Semaun. Banyak aksi-aksi mogok buruh yang didukung pengusaha lokal tersebut. H.O.S Tjokroaminoto merespons pergerakan Semaun dengan menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme. Buku itu menjelaskan bahwa sosialisme ada dalam ajaran Islam.
Dengan cara propaganda dan managemen aksi yang baik sehingga mendatangkan simpati, hingga tahun 1920, Semaun berhasil membangun 93 cabang di Pulau Jawa (Cirebon, Semarang, Yogya, Surabaya, Madiun), beberapa di pantai Barat Sumatera dan pada perkebunan Deli. Anggota VSTP pada Mei 1923 telah mencapai 13.000 orang, atau hampir seperempat buruh industri perkeretaapian Hindia Belanda. Dari jumlah itu, 60 persen anggota pasti membayar iuran, sisanya membayar iuran organisasi pula namun tidak terlalu patuh.
Namun kekhawatiran pun muncul. Pimpinan SI pusat yang menginginkan azas Islam dalam SI mulai melihat Semaun sebagai bahaya. SI ala Semaun dianggap melenceng karena terlalu kiri. Kekhawatiran itu semakin meruncing saat Semaun mendirikan Perserikatan Komunis Hindia (PKH).
Sementara itu tahun 1920, pimpinan SI, H.O.S Tjokroaminoto dihadapkan ke masalah hukum dengan tuduhan korupsi, walaupun kemudian tak terbukti. Sedangkan Semaun sedang mengikuti rapat di Moskow yang dihadiri Stalin. Di kesempatan yang kosong ini, para pemimpin Central Sarekat Islam Agus Salim dan Soerjopranoto mencoba mendepak kaum kiri yang dinilai tidak sesuai dengan nilai keislaman. SI cabang Semarang di bawah pimpinan Semaun menjadi sasaran penertiban ini. Selain membersihkan anasir Komunis di tubuh SI, rapat itu juga menghasilkan keputusan pemindahan SI pusat dari Surabaya ke Yogyakarta.
Pada 24 Mei 1922, Semaun telah tiba dari Moskow merasa tidak kaget dirinya sudah bukan anggota SI. Semaun semakin serius mengawal pergerakan di kalangan buruh. Puncak dari rangkaian aksi mogok tersebut terjadi pada Februari 1923. Aksi tersebut muncul akibat pemerintah Hindia Belanda melakukan penurunan gaji buruh. Aksi mogok para buruh kereta api yang tergabung dalam VSTP pun terjadi. Aksi mogok itu meledak di beberapa kota. Tak hanya buruh kereta api. Polisi kolonial dari kalangan pribumi juga ikut melakukan aksi mogok.
Dikutip dari surat kabar Kaoem Moeda edisi 2 Februari 1923 yang mengabarkan banyaknya polisi-polisi pribumi berpangkat rendah melakukan aksi mogok demi menuntut tunjangan mereka. Tindakan mogok massal diberbagai kota ini membuat pemerintah Hindia Belanda geram.
Imbasnya, pada 8 Mei 1923, Semaun ditangkap di rumahnya di Semarang. Mirisnya, penangkapan Semaun bertepatan dengan kelahiran putra keduanya, Axioma. Semaun punya dua anak, anak pertama diberi nama Logika Sudibyo.
Meskipun media menulis Semaun tertangkap, aksi mogok masih dilakukan paa buruh di pulau Jawa. Penangkapan Semaun diikuti pula dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda membuangnya ke Timor. Tapi, keputusan berubah lebih berat. Semaun harus dibuang keluar dari wilayah Hindia Belanda.
Semaun pun diasingkan ke Amsterdam pada September 1923. Namun, pengasingan ini malah menjadi semacam kekuatan bagi kaum kiri di Tanah Air, karena Semaun diangkat menjadi perwakilan partai komunis di Eropa.
Beberapa tahun kemudian, Semaun pindah ke Moskow. Oleh pemerintah Uni Soviet, Semaun dipercaya menjadi Ketua Badan Pembangunan Nasional wilayah Turkmenistan. Pada masa-masa awal kemerdekaan, dari Moskow, ia ikut mendukung pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Semaun juga memulai siaran radio berbahasa Indonesia di sana. Ia bahkan mengajar bahasa Indonesia untuk sekolah-sekolah di Soviet. Semaun juga menikah dengan seorang wanita Soviet bernama Valentina Iwanowa. Mereka dianugerahi dua orang anak. Yang pertama, laki-laki bernama Rono Semaun. Sementara, yang kedua ada;ah wanita bernama Elena Semaun.
Setelah Indonesia merdeka, hasrat Semaun untuk pulang ke Tanah Air semakin menggebu. Namun, rencana kepulangannya sempat terhenti karena pemerintah Soviet takut Semaun membuka berbagai informasi penting yang membahayakan keamanan intelijen Soviet.
Semaun baru bisa pulang setelah mendaoat bantuan Sukarno. Ceritanya sahabat satu perguruan Coroaminoto ini sedang berkunjung kali pertama ke Moskow pada Agustus-September 1956. Sukarno lalu meneruskan permintaannya kepada Marsekal Barsilov, pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet. Akhirnya, Semaun bisa pulang ke Indonesia pada 1957.
Sepulangnya ke Tanah Air, Semaun sempat mengajar mata kuliah ekonomi di Universitas Padjadjaran sejak 1961. Semaun juga mendapat gelar doktor honoris causa dari kampus tersebut. Di Unpad, Semaun mengajar hingga akhir hayatnya pada 7 April 1971 dan dimakamkan di Pasuruan. (pul)
Mereka berasal dari warga kelas bawah di negeri Belanda, kemudian menjadi kaum urban di tanah jajahan. Lalu memanfaatkan fasilitas sebagai warga negara kelas 1, sehingga memudahkan mendapatkan pekerjaan, penghidupan dan kemakmuran. Foto Fb
abad.id- Mimpi hidup mewah bergelimang harta di tanah syurga, telah menjadi kenyataan kaum urban warga negara Belanda di tanah jajahan. Cerita tentang mudahnya mencari harta dan hidup seperti raja cepat menyebar di eropa. Untuk menuju tanah syurga ini, mereka berbondong bondong dan siap menempuh perjalanan ke timur jauh dengan biaya yang tidak murah.
Di jaman Hindia Belanda hanya ada 3 profesi usaha yang bisa mendatangkan pundi-pundi kekayaan. Usaha pertama berhubungan dengan juragan batik. Profesi kedua berhubunan dengan pabrik gula serta profesi ketiga usaha di bidang jual beli tanah dan barang komuditas.
Di Garut awal tahun 1900 misalnya, pernah ada orang pribumi kaya bernama Masmin yang bergerak di bidang batik yan dikenal dengan batik garutan. Rumahnya sangat besar dan memiliki banyak karyawan. Usaha berkembang hingga menyewa-nyewakan mobil Auto Verhuurderij Masmin. Untuk memperlancar usahanya, Masmin memasang jaringan telpon pertama kali di Kota Garut. Maka tersambunglah nomor telpon 01 yang bisa menghubungkan dengan para kolega bisnisnya.
Warga pribumi lain yang sangat kaya bernama Taspirin. Dia tinggal di Semarang. Pada awal abad ke-20 awalnya hanya orang biasa. Tasripin lahir pada tahun 1834 dan mulai bisnis sejak muda dengan membeli sejumlah tanah dari orang-orang Belanda. Saat itu sedang terjadi krisis keuangan yang sangat parah pasca perang Jawa dan Sumatra, sehingga keuangan pemerintah tidak sedang baik. Warga Belanda yang terlanjur memiliki aset memilih menjualnya untuk bekal pindah tempat atau kembali ke negara asal.
Aset Taspirin tersebar di seluruh Kota Semarang. Tasripin disebut satu-satunya orang Jawa yang kaya pada saat itu. Lantas bagaimana bisa orang pribumi bisa menjadi sangat kaya. Ternyata usaha awal Tasripin di bidang penyamakan kulit, hasil bumi, serta sewa menyewa tanah dan bangunan. Selain itu, Tasripin juga menjalankan usaha pengiriman barang di daerah Kota Lama Semarang. Aset tanah Tasripin tersebar di beberapa perkampungan seperti Kampung Kulitan, Gandekan, Gedungbobrok, Jayenggaten, Kepatihan, Pesantren, Sayangan, Kebon Kenap, Wotprau, Demangan, Bang Inggris, Kampung Cokro, Kampung Bedug. Dalam catatan koran Bataviaasch Nieuwsblaad pada 11 Agustus 1919, nilai kekayaan aset warisan Tasripin mencapai 45 juta gulden.
Rupanya cerita tentang seorang pribumi kaya raya bernama Tasripin terdengar hingga Negeri Belanda. Ratu Belanda Wilhelmina sangat bersimpati dan memberikan sejumlah uang koin yang di kedua sisinya ada gambar wajahnya. Uang ini bukan sekedar mata uang, namun berupa tanda medali penghargaan seorang raja kepada rakyatnya. Untuk mengapresiasi pemberian itu, Tasripin memasang beberapa uang koin di lantai rumah. Karena adanya uang koin ditemat itu, para serdadu Belanda tak pernah menggeledah aset rumah milik Tasripin. Sebab jika mereka masuk rumah dan menginjak lantai itu, maka sama saja telah menghina Ratu Belanda.
Untuk warga pendatang non Belanda, nama raja gula Oei Tiong Ham dianggap paling kaya dalam sejarah jaman kolonial. Oei Tiong Ham dilahirkan di Semarang tanggal 19 November 1866. Oei memulai bisnis pertamanya dengan hasil bumi seperti kopi, karet, kapuk, gambir, tapioka, serta opium. Karena bisnisnya berkembang pesat, dia berani untuk mengakuisisi 5 pabrik gula yang akan bangkrut seperti Pabrik Gula Pakis, Rejoagung, Ponen, Tanggulangin, dan Krebet. Bisnis gulanya berkembang pesat. Karena itulah, ia kemudian dikenal sebagai Raja Gula Asia dan menjadi orang terkaya se-Asia Tenggara.
Tak cukup sampai di situ, dia kemudian mendirikan OTHC dan melebarkan sayap bisnisnya dari Hongkong, New York, hingga London. Memasuki abad ke-20, ia menjadi orang terkaya se-Asia Tenggara, dan karena kesuksesan usaha gulanya, ia mendapat julukan Raja Gula dari Jawa. Sebagai seorang Raja Gula, Oei Tiong Ham tinggal di sebuah istana yang megah. Istana itu kini dikenal dengan nama Gedung Balekambang. Untuk mengurus rumahnya, Oei Tiong Ham mempekerjakan 40 asisten rumah tangga, 50 tukang kebun, serta dua koki.
Saat kondisi Semarang kurang kondusif, Oei Tiong Ham memutuskan pindah ke Singapura pada tahun 1920. Selain itu, keputusannya untuk pindah ke Singapura dikarenakan tak tahan dengan beban pajak yang dikenakan Pemerintah Belanda. Selama di Singapura, dia menguasai seperempat bagian luas wilayah di sana. Bahkan sampai saat ini masih ada satu ruas jalan di sana yang memakai namanya, yaitu Oei Tiong Ham Park. Empat tahun setelah kepindahannya, Oei Tiong Ham meninggal mendadak karena serangan jantung.
Mereka membentuk komunitas eklusif yang anggotanya Belanda totok. Warga keturunan Indo, warga timur jauh dan priyayi pribumi akan kesulitan masuk di komunitas ini. Foto dok net
Proses mencapai menjadi kaya materi dengan cara berbeda-beda. Ada yang berjuang keras, ada pula yang beruntung menjadi menantu orang kaya. Bahkan pada masaa itu sudah banyak yang menang judi lotre. Cerita orang-orang kaya dengan banyak tingkah dicitrakan sebagai orang kaya baru (OKB). OKB telah langgeng sejak zaman Belanda, termasuk sifat-sifat mereka yang identik dengan sok pamer, norak, dan doyan foya-foya. Kekayaan tak menyelamatkan mereka dari perilaku yang tak jauh dari budak.
Para OKB ini sebenarnya orang Belanda yang di negeri asalnya bukan siapa-siapa. Kebanyakan mereka bukan berasal dari keluarga terhormat, apalagi bangsawan. Mereka adalah kelompok orang Belanda yang terpinggirkan, dipecat, dan berpendidikan rendah, namun menjadi penghuni di seluruh wilayah Nusantara sejak abad ke-17.
Setiba di Indonesia mereka kemudian memanfaatkan hak istimewa sebagai warga kelas satu di tanah jajahan. Maka kaum urban ini bisa mendapatkan akses pekerjaan, tempat tinggal murah dan menjadi kaya raya. Mereka selalu membentuk sebuah komunitas eklusif dan lebih memiluh tinggal di kota-kota besar. Di Batavia misalnya, kelompok OKB ini sering mempertontonkan kebiasaan suka pamer kekayaan yang berselera rendahan.
Barang-barang yang dipamerkan tampak beragam. Ada yang memamerkan perhiasaan mahal, kereta kuda, hingga memamerkan berapa banyak budak yang mengiringi mereka.
“Yang dimaksud sebagai barang mewah saat itu antara lain adalah busana mahal dan perhiasan yang sering dipakai serta dipertontonkan para warga yang sebenarnya di luar batas kemampuan mereka. Begitu juga pesta makan berlebihan, pesta pernikahan, berbendi ria yang semakin sering dilakukan ketika itu, serta berpayung sutra yang sering dilakukan para warga perempuan. Selain itu, memiliki budak dalam jumlah besar sebagai pembantu rumah tangga juga termasuk memiliki barang mewah,” tulis Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII .
Sebentuk kekayaan itu dianggap oleh OKB sebagai tanda kemakmuran. Lebih lagi, orang Belanda yang terlanjur kaya dikenal suka foya-foya melalui pesta dansa dan penghisap candu. Sikap ini diyakini adalah bentuk perpaduan aneh dari kebiasaan orang Belanda di tanah airnya yang cenderung pelit, berpadu dengan kebiasaan Portugis di Hindia-Belanda yang cenderung suka pamer
Orang Belanda Suka Pamer Kekayaan
Salah satu bukti keborosan mereka adalah sikap foya-foya dan suka pesta. Kemunculan-kemunculan klub eksklusif seperti Societeit de Concordia dan Societeit de Harmonie di Batavia mendukungnya.
Saking eksklusifnya, klub tersebut tidak dapat diakses oleh sembarang orang, terutama bagi kaum bumiputra dan Belanda miskin yang gajinya dibawah 500 gulden. Kalaupun memaksa, dapat dipastikan Belanda miskin harus bekerja keras selama beberapa tahun agar pangkatnya naik.
Paa anggota adalah orang yang dianggap penting yang berpesta di Harmonie. Oleh karena itu, Societeit dijadikan sebagai tempat ajang pamer kekayaan. Di sana, para OKB mengobrol, lobi jabatan, dan berpesta.
Akan tetapi, penghidupan yang mudah itu tak serta-merta mengubah standar peradaban penduduk Belanda di Batavia. Sebab sejak bayi, anak-anak orang Belanda ini banyak diserahkan ke dalam pengasuhan budak perempuan. Sejak merasa mapan dan mampu memiliki pembantu, orang tua Belanda banyak yang malas mengasuh anaknya. Karena terlalu dekat dengan pengasuh warga pribumi, maka sering kali muncul sikap meniru perilaku pengasuhnya. Mulai bahasa, cara bergaul dan perilaku kampungan. Beruntung sebagian anak keturunan Belanda ini masih memiliki empati dan simpati terhadap lingkungannya, dan berbeda dari generasi pendatang Belanda totok. (pul)
Kegembiraan karena telah merdeka telah memunculkan kebencian terhadap bangsa penjajah. Hiruk pikuk pasca proklamasi telah memunculkan insiden-insiden kekejaman tak terkendali atas warga Belanda dan Indo-Belanda di beberapa daerah. Sisa tulang belulang korban kekerasan dibawa pulang ke negeri Belanda pada tahun 1946. Foto FB
Orang Belanda memiliki istilah yang jarang muncul di buku sejarah Indonesia: "masa bersiap". Ini adalah masa di penghujung 1945 hingga ke 1946, ketika Indonesia sudah memproklamirkan diri, namun para pemuda dan pejuang belum terkonsolidasi dan terkontrol secara solid. Sementara warga Belanda yang tersisa di Indonesia masih mengandalkan sisa-sisa KNIL dan sedikit tentara Belanda yang sudah datang untuk memberi rasa aman.
Setelah pasukan reguler dikapalkan dari Belanda, dan militer Belanda menguasai beberapa wilayah penting, pihak Belanda menggali kuburan-kuburan dari korban tindak kekerasan. Foto Fb
Sementara itu di pihal lain kelompok pejuang telah mempunyai banyak senjata sisa rampasan Jepang. Dengan bangga dan penuh percaya diri mereka memamerkan kekuatan tempurnya di depan publik. Seakan kelompok pemuda ini tidak takut terhadap ancaman dan bahaya musuh.
Dalam buku Biografi Soekarno tulisan warga Belanda Lambert Giebelt mengartikan, seruan jika sebelum maju adalah 'Siap. Artinya siap menghadapi siapa saja yang danggap menghalangi kemerdekaan. Alasan munculnya aksi massa bersiap akibat selama masa kolonialisasi Belanda telah melakukan banya kejahatan. Mulai perkosaan, dan pembunuhan-pembunuhan dengan keji tanpa kuasa dan hukum.
Dalam catatan sejarahdigambarkan aksi massa bersiap terjadi di Aceh akhir 1945. Di sana para Pemuda tanpa koordinasi bergabung dengan para ulama dan petani membunuh para hulubalang Belanda. Kemadian merampas tanah-tanah yang luas. Aksi serupa juga banyak dilakaukan di daerah lain seperti di Tegal, Semarang, Solo dan Madiun.
Menurut Lambert Giebelt, aksi pembunuhan dan penjarahan sebagai 'revolusi sosial', kurang bernilai historis. Masa bersiap lebih cocok disebut masa anarkis sejarah revolusi. Memang betul bahwa dalam masa ini berkembang pendapat istilah revolusi nasional (memperjuangkan kemerdekaan). Sesuai dengan pendapat marxisme, harus diselesaikan dalam waktu singkat, yaitu dengan mengadakan revolusi sosial (perombakan struktur kekuasaan yang ada).
Soekarno sudah berusaha menjalankan kewibawanya sebagai pemimpin. Yaitu berusaha meredam amarah rakyat dengan jalan diplomasi. Namun semuanya gagal. Bahkan peristiwa yang menonjol ketika berusaha menghentikan massa bersiap di Surabaya.
Aksi kekerasan ini berawal dari desakan pemerintah Belanda. Mountbatten memutuskan untuk menempatkan Tentara pendukung di kota-kota pesisir Padang, Palembang, dan Medan di pulau Sumatra, serta Bandung, Semarang, dan Surabaya di pulau Jawa. Rakyat Surabaya mengira bahwa para tentara Inggris hendak pembuka jalan rezim kolonial Belanda. Mereka yang sudah menenteng senjata siap melakukan perlawanan.
Mustopo, seorang dokter gigi yang mengangkat dirinya sebagai komandan tentara Republik Indonesia di Surabaya, ingin langsung menghabisi pasukan-pasukan yang mendarat. Namun, Soekarno berhasil membujuknya melalui relepon sehingga pendaratan pasukan berjalan tanpa halangan.
Dua hari pertama keadaan tenang-tenang saja. Pada 27 Oktober tampak pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet persis di atas kota yang isinya menurut penduduk untuk menyerahkan senjata. Aksi ini maksudnya baik, dilancarkan markas besar Inggris di Batavia untuk memunjang usaha Mallaby melakukan pelucutan tentara Jepanag dan mempertahankan Status Quo. Namun ternyata langkah itu tidak diketahui Mallaby.
Radio Pemberontakan sebagai radio perjuangan menyiarkan bahwa pamflet-pamtlet tersebut sebagai tantangan perang. Maka perangpun pecah. Untr-unit BKR dengan didampingi rakyat bersenjata kapak, parang dan bambu runcing dengan jumlah seratus ribu orang, melakukan penyerbuan. Beberapa pos penjagaan pasukan Inggris ditembaki dan dikepung massa yang mengamuk. Bagi Tentara Inggris tidak ada pilihan lain kecuali menembak. Tentara yang kehabisan peluru kemudian jatuh ke tangan massa. Mereka pasti dibunuh secara mengerikan.
Nasib naas juga menimpa sebuah konvoi truk berisi wanita dan anak-anak Belanda, yang sedang dipindahkan dari daerah Darmo ke pelabuhan untuk diungsikan. Konvoi truk ini dikawal tentara Gurka Inggris. Sebagian diataranya ditembak mati ketika masih berdiri di bak terbuka. Mereka yang berhasil melarikan diri dari kendaraan mencari perlindungan di rumah penduduk di sepanjang jalan. Jika tertangkap langsung dibunuh secara biadab. Bahkan ada yang dibakar hidup-hidup di rumah tempat mereka belindung.
Beberapa orang Gurkha yang berhasil lolos dan melaporkan ke pos penjagaan terdekat dengan kondisi luka parah. Sementara tentara Inggris lain yang berhasil lolos membuat pertahanan di lima gedung yang tersebar di pusat kota. Tentara Inggris yang konon sudah terlatih dalam perang dunia ke II ini berusaha menangkis serbuan beribu-ribu orang yang hendak masuk untuk membunuh mereka. Mallaby yang takut pasukannya akan disapu bersih, mengirim berita kepada Christison di Batavia. Christison minta kepada Soekarno untuk langsung terbang ke Surabaya untuk meredam aksi brutal rakyatnya. (pul)