Satuan Pemberontakan 88 Hancurkan Kereta Belanda di Purwakarta. Foto H. Wakker. Beeldbank National Archief.
abad.id- Para gerilyawan Sipil mensabotase jalur Kereta Api Jakarta-Bandung di wilayah Bendul, Sukatani, Purwakarta yang membawa senjata dan rombongan pasukan Belanda, pada 22 Oktober 1948 sekitar pukul 17.00. Rel kereta Api dibongkar sepanjang 20 meter. Aksi ini untuk menjebaak lokomotif Double traksi dengan 1 tender berjalan dengan kecepatan tinggi. Akibatnya rangkaian kereta anjlok dan terguling. Tidak lama kemudian sekitar 50 orang pejuang dan warga sipil menyerbu tentara Belanda yang ada di gerbong gerbong.
Pasukan Belanda tidak dapat melakukan perlawanan, dikarenakan mereka dalam posisi tidak siap, buntutnya 8 orang tentara Belanda tewas dan 23 orang lainnya terluka.
Belanda menganggap ada 2 orang yang paling bertanggung jawab atas insiden ini, yakni Uswata dan Darja, mereka ditangkap dan dihukum mati tak lama kemudian. Aksi penggulingan kereta api milik Belanda ini dilakukan oleh Darja dan Uswata serta kelompoknya sebagai bentuk balas dendam atas tindakan Dutch Police Action pasca kemerdekaan Indonesia 1945.
Tindakan Dutch Police Action sendiri yg terkenal yakni saat Belanda melakukan agresi militer di Kabupaten Karawang, Jawa Barat pada 1947 atau setahun sebelum insiden Bendul Purwakarta. Dutch Police Action dilakukan untuk mengurangi warga sipil yang dianggap memberontak tentara Belanda. Di Karawang Dutch Police Action membantai 431 orang laki-laki dan lebih dikenal sebagai “Pembantaian Rawagede”.
Aksi Heroik Darja dan Uswata sangat terkenal di wilayah Purwakarta.
Aksi pembalasan dilakukan tentara Belanda pada pagi tanggal 23 Oktober 1948. Pasukan Belanda menyerbu kampung dan pembersihan besar-besaran di wilayah Bendul, Purwakarta. Belanda geram dan marah besar pascakereta api logistik mereka terguling di kawasan tersebut. Belanda mensinyalir aksi itu dijalankan oleh sebuah organisasi ekstrim bernama SP 88 (Satoean Pemberontak 88). Alhasil dua pentolan SP 88 Uswata dan Darja ditangkap dan dihukum mati tak lama kemudian.
Aksi lain yang memuat polisi dan tentara Belanda jengkel yaitu agitasi-propaganda. Mereka memasang puluhan bendera merah-putih di kota Purwakarta setiap menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI. Selain itu, SP 88 beraksi lewat coretan-coretan propaganda di tembok-tembok gedung dan keretapi. Penyebaran poster ancaman terhadap mata-mata Belanda pun kerap mereka lakukan di berbagai pusat keramaian. Akibatnya banyak kaum bumiputra menjadi ciut nyali karena bekerja sebagai mata-mata atau pegawai pemerintah sipil bentukan Belanda.
Dalam bukunya Siliwangi dari Masa ke Masa edisi III, Sudjono Dirdjosisworo menulis dalam setiap aksinya, SP 88 mengutamakan kecepatan dan kerahasiaan. Sesuai motto mereka “datang seperti angin dan pergi pun laksana angin”, sebisa mungkin para anggota SP 88 tidak menarik perhatian saat tengah menjalan aksi-aksinya.
Pembentukan SP 88 ini berawal pasca Perjanjian Renville pada awal 1948. Divisi Siliwangi meninggalkan wilayah Jawa Barat. Saat pemindahan pasukan ini, secara diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan menyisakan sebagian kecil anggotanya di Jawa Barat untuk terus mengobarkan perlawanan.
Di Purwakarta, salah satu yang tetap bertahan adalah Field Preparation Barisan Hitam (FPBH), sebuah kesatuan campuran tentara dan lasykar. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Oesman Soemantri, sejak 1 Februari 1948 FPBH lantas mengubah namanya menjadi SP 88. Pasukan ini terpencar di Jarong-Cibungur (Purwakarta)-Cikampek-Dawuan (Karawang). Anggota SP 88 terbilang besar, ditaksir lebih dari 1.500 personel dengan kekuatan senjata sekitar 450 pucuk.
Embel-embel angka “88" diartikan para anggota SP 88 sebagai simbol dari nama dua pemimpin Republik: Sukarno-Hatta. Angka 8 yang pertama adalah huruf S (sa), huruf kedelapan dalam afabet Jawa. Adapun 8 yang kedua adalah H, huruf kedelapan dalam alfabet Romawi. Oesman Soemantri disamarkan menjadi Tritunggal sedangkan wakilnya A.S. Wagianto memakai nama Sang Dewata.
Robert B. Cribb, sejarawan berkebangsaan Australia, merekam strategi penyamaran nama itu dalam bukunya Gangsters and Revolutionaries. Menurut Cribb, bukan hanya mengadopsi nama-nama berbau Sansekerta, para komandan SP 88 pun kerap menggunakan nama-nama “berbau barat" seperti Phantom Bom.
Operasi kontra-intelijen menjadi spesialisasi SP 88. Dalam berbagai aksi, SP 88 tidak hanya melibatkan anggota laki-laki tapi juga perempuan. Salah satunya bernama Roekiah. Dia merupakan komandan intel SP 88 yang beroperasi di wilayah Cicariang, Purwakarta kota, Kembangkuning, Cikuya, Perkebunan Jatiluhur, Cilutung, Cilalawi,dan Cicariang.
Usia SP 88 terbilang panjang. Ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat pada Desember 1948, eksistensi organ teror ini tetap dipertahankan. Mereka kembali menjadi andalan kekuatan militer Republik untuk mengobrak-abrik pertahanan Belanda hingga tercapainya kesepakatan gencatan senjata pada 10 Agustus 1949. (pul)