images/images-1682576460.png
Budaya

Mimpi Orang Belanda di Tanah Syurga

Pulung Ciptoaji

Apr 27, 2023

809 views

24 Comments

Save

Mereka berasal dari warga kelas bawah di negeri Belanda, kemudian menjadi kaum urban di tanah jajahan. Lalu memanfaatkan fasilitas sebagai warga negara kelas 1, sehingga memudahkan mendapatkan pekerjaan, penghidupan dan kemakmuran. Foto Fb

 

abad.id- Mimpi hidup mewah bergelimang harta di tanah syurga, telah menjadi kenyataan kaum urban warga negara Belanda di tanah jajahan.  Cerita tentang mudahnya mencari harta dan hidup seperti raja cepat menyebar di eropa. Untuk menuju tanah syurga ini, mereka berbondong bondong dan siap menempuh perjalanan ke timur jauh dengan biaya yang tidak murah.

 

Di jaman Hindia Belanda hanya ada 3 profesi usaha yang bisa mendatangkan pundi-pundi kekayaan. Usaha pertama berhubungan dengan juragan batik. Profesi kedua berhubunan dengan pabrik gula serta profesi ketiga usaha di bidang jual beli tanah dan barang komuditas.

 

Di Garut awal tahun 1900 misalnya, pernah ada orang pribumi kaya bernama Masmin yang bergerak di bidang batik yan dikenal dengan batik garutan. Rumahnya sangat besar dan memiliki banyak karyawan. Usaha berkembang hingga menyewa-nyewakan mobil Auto Verhuurderij Masmin. Untuk memperlancar usahanya, Masmin memasang jaringan telpon pertama kali di Kota Garut. Maka tersambunglah nomor telpon 01 yang bisa menghubungkan dengan para kolega bisnisnya.

 

Warga pribumi lain yang sangat kaya bernama Taspirin.  Dia tinggal di Semarang. Pada awal abad ke-20 awalnya  hanya orang biasa. Tasripin lahir pada tahun 1834 dan mulai bisnis sejak muda dengan membeli sejumlah tanah dari orang-orang Belanda. Saat itu sedang terjadi krisis keuangan yang sangat parah pasca perang Jawa dan Sumatra, sehingga keuangan pemerintah tidak sedang baik. Warga Belanda yang terlanjur memiliki aset memilih menjualnya untuk bekal pindah tempat atau kembali ke negara asal.

 

Aset Taspirin tersebar di seluruh Kota Semarang. Tasripin disebut satu-satunya orang Jawa yang kaya pada saat itu. Lantas bagaimana bisa orang pribumi bisa menjadi sangat kaya. Ternyata usaha awal  Tasripin di bidang penyamakan kulit, hasil bumi, serta sewa menyewa tanah dan bangunan. Selain itu, Tasripin juga menjalankan usaha pengiriman barang di daerah Kota Lama Semarang. Aset tanah Tasripin tersebar di beberapa perkampungan seperti Kampung Kulitan, Gandekan, Gedungbobrok, Jayenggaten, Kepatihan, Pesantren, Sayangan, Kebon Kenap, Wotprau, Demangan, Bang Inggris, Kampung Cokro, Kampung Bedug. Dalam catatan koran Bataviaasch Nieuwsblaad pada 11 Agustus 1919, nilai kekayaan aset warisan Tasripin mencapai 45 juta gulden.

 

Rupanya cerita tentang seorang pribumi kaya raya bernama Tasripin terdengar hingga Negeri Belanda. Ratu Belanda Wilhelmina sangat bersimpati dan memberikan sejumlah uang koin yang di kedua sisinya ada gambar wajahnya. Uang ini bukan sekedar mata uang, namun berupa tanda medali penghargaan seorang raja kepada rakyatnya. Untuk mengapresiasi pemberian itu, Tasripin memasang beberapa uang koin di lantai rumah. Karena adanya uang koin ditemat itu,  para serdadu Belanda tak pernah menggeledah aset rumah milik Tasripin. Sebab jika mereka masuk rumah dan menginjak lantai itu, maka sama saja telah menghina Ratu Belanda.

 

Untuk warga pendatang non Belanda, nama raja gula Oei Tiong Ham dianggap paling kaya dalam sejarah jaman kolonial. Oei Tiong Ham dilahirkan di Semarang tanggal 19 November 1866. Oei memulai bisnis pertamanya dengan hasil bumi seperti kopi, karet, kapuk, gambir, tapioka, serta opium. Karena bisnisnya berkembang pesat, dia berani untuk mengakuisisi 5 pabrik gula yang akan bangkrut seperti Pabrik Gula Pakis, Rejoagung, Ponen, Tanggulangin, dan Krebet. Bisnis gulanya berkembang pesat. Karena itulah, ia kemudian dikenal sebagai Raja Gula Asia dan menjadi orang terkaya se-Asia Tenggara.

 

Tak cukup sampai di situ, dia kemudian mendirikan OTHC dan melebarkan sayap bisnisnya dari Hongkong, New York, hingga London. Memasuki abad ke-20, ia menjadi orang terkaya se-Asia Tenggara, dan karena kesuksesan usaha gulanya, ia mendapat julukan Raja Gula dari Jawa. Sebagai seorang Raja Gula, Oei Tiong Ham tinggal di sebuah istana yang megah. Istana itu kini dikenal dengan nama Gedung Balekambang. Untuk mengurus rumahnya, Oei Tiong Ham mempekerjakan 40 asisten rumah tangga, 50 tukang kebun, serta dua koki.

 

Saat kondisi Semarang kurang kondusif, Oei Tiong Ham memutuskan pindah ke Singapura pada tahun 1920. Selain itu, keputusannya untuk pindah ke Singapura dikarenakan tak tahan dengan beban pajak yang dikenakan Pemerintah Belanda. Selama di Singapura, dia menguasai seperempat bagian luas wilayah di sana. Bahkan sampai saat ini masih ada satu ruas jalan di sana yang memakai namanya, yaitu Oei Tiong Ham Park.  Empat tahun setelah kepindahannya, Oei Tiong Ham meninggal mendadak karena serangan jantung.

 

orang kaya belanda

Mereka membentuk komunitas eklusif yang anggotanya Belanda totok. Warga keturunan Indo, warga timur jauh dan priyayi pribumi akan kesulitan masuk di komunitas ini. Foto dok net

 

Proses mencapai menjadi kaya materi dengan cara berbeda-beda. Ada yang berjuang keras, ada pula yang beruntung menjadi menantu orang kaya. Bahkan pada masaa itu sudah banyak yang menang judi lotre.  Cerita orang-orang kaya dengan banyak tingkah dicitrakan sebagai orang kaya baru (OKB). OKB telah langgeng sejak zaman Belanda, termasuk sifat-sifat mereka yang identik dengan sok pamer, norak, dan doyan foya-foya. Kekayaan tak menyelamatkan mereka dari perilaku yang tak jauh dari budak.

 

Para OKB ini sebenarnya orang Belanda yang di negeri asalnya bukan siapa-siapa. Kebanyakan mereka bukan berasal dari keluarga terhormat, apalagi bangsawan. Mereka adalah kelompok orang Belanda yang terpinggirkan, dipecat, dan berpendidikan rendah, namun menjadi penghuni di seluruh wilayah Nusantara sejak abad ke-17.

 

Setiba di Indonesia mereka kemudian memanfaatkan hak istimewa sebagai warga kelas satu di tanah jajahan. Maka kaum urban ini bisa mendapatkan akses pekerjaan, tempat tinggal murah dan menjadi kaya raya. Mereka selalu membentuk sebuah komunitas eklusif dan lebih memiluh tinggal di kota-kota besar. Di Batavia misalnya, kelompok OKB ini sering mempertontonkan kebiasaan suka pamer kekayaan yang berselera rendahan.

 

Barang-barang yang dipamerkan tampak beragam. Ada yang memamerkan perhiasaan mahal, kereta kuda, hingga memamerkan berapa banyak budak yang mengiringi mereka.

 

“Yang dimaksud sebagai barang mewah saat itu antara lain adalah busana mahal dan perhiasan yang sering dipakai serta dipertontonkan para warga yang sebenarnya di luar batas kemampuan mereka. Begitu juga pesta makan berlebihan, pesta pernikahan, berbendi ria yang semakin sering dilakukan ketika itu, serta berpayung sutra yang sering dilakukan para warga perempuan. Selain itu, memiliki budak dalam jumlah besar sebagai pembantu rumah tangga juga termasuk memiliki barang mewah,” tulis Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII .

 

Sebentuk kekayaan itu dianggap oleh OKB sebagai tanda kemakmuran. Lebih lagi, orang Belanda yang terlanjur kaya dikenal suka foya-foya melalui pesta dansa dan penghisap candu. Sikap ini diyakini adalah bentuk perpaduan aneh dari kebiasaan orang Belanda di tanah airnya yang cenderung pelit, berpadu dengan kebiasaan Portugis di Hindia-Belanda yang cenderung suka pamer

 

Orang Belanda Suka Pamer Kekayaan

 

Salah satu bukti keborosan mereka adalah sikap foya-foya dan suka pesta. Kemunculan-kemunculan klub eksklusif seperti Societeit de Concordia dan Societeit de Harmonie di Batavia mendukungnya.

 

Saking eksklusifnya, klub tersebut tidak dapat diakses oleh sembarang orang, terutama bagi kaum bumiputra dan Belanda miskin yang gajinya dibawah 500 gulden. Kalaupun memaksa, dapat dipastikan Belanda miskin harus bekerja keras selama beberapa tahun agar pangkatnya naik.

 

Paa anggota adalah orang yang dianggap penting yang berpesta di Harmonie. Oleh karena itu, Societeit dijadikan sebagai tempat ajang pamer kekayaan. Di sana, para OKB mengobrol, lobi jabatan, dan berpesta.

 

Akan tetapi, penghidupan yang mudah itu tak serta-merta mengubah standar peradaban penduduk Belanda di Batavia. Sebab sejak bayi, anak-anak orang Belanda ini banyak diserahkan ke dalam pengasuhan budak perempuan. Sejak merasa mapan dan mampu memiliki pembantu, orang tua Belanda banyak yang malas mengasuh anaknya. Karena terlalu dekat dengan pengasuh warga pribumi, maka sering kali muncul sikap meniru perilaku pengasuhnya. Mulai bahasa, cara bergaul dan perilaku kampungan. Beruntung sebagian anak keturunan Belanda ini masih memiliki empati dan simpati terhadap lingkungannya, dan berbeda dari generasi pendatang Belanda totok. (pul)

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023