images/images-1683947144.jpg
Sejarah

Asal Muasal Marsose, Serdadu Belanda Paling Disegani

Pulung Ciptoaji

May 13, 2023

488 views

24 Comments

Save

Pasukan Marsose setelah berhasil memukul mundur pasukan Aceh di gayo. Foto dok net

 

abad.id- Berakhirnya perang Diponegoro mengembalikan kekuatan Belanda yang kembali mencoba untuk menguasai wilayah Minangkabau. Keinginan ini dilandasi alasan untuk menguasai perkebunan kopi di kawasan pedalaman Minangkabau dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

 

Diketahui nagari Pandai Sikek adalah daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Belanda juga membangun benteng Fort de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat kedudukannya.

 

Pada tanggal 11 Januari 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat yang telah bersatu melakukan penyerangan pada beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda dan menewaskan 139 serdadu. Belanda melunakkan sedikit konfrontasinya dengan mengeluarkan "Plakat Panjang" berisi pernyataan bahwa kedatangan mereka tidak bermaksud untuk menguasai nagari tersebut, melainkan untuk berdagang dan menjaga keamanan. Untuk menjaga keamanan maka dibuatlah jalan, membuka sekolah dan memerlukan biaya. Maka penduduk setempat diwajibkan menanam kopi dan menjualnya kepada Belanda.

 

Perlahan-lahan Belanda menyusup dan melakukan penyerangan hingga pada tahun 1837 Benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda. Bahkan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap. Tuanku Imam Bonjol yang tak sudi untuk menyerah dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.  Dalam pengasingan tersebut Tuanku Imam Bonjol sempat dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado dan meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864.

 

Peperangan berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu (Rokan Hulu) yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai. Benteng tersebut jatuh ke tangan Belanda pada 28 Desember 1838. Perang Padri berakhir dengan kemenangan pihak Kolonial Belanda, sementara Tuanku Tambusai bersama sisa-sisa pengikutnya terpaksa pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya.

 

Setelah menguasahi bumi minangkabau, Belanda sangat berambisi menyerang Aceh. Keberhasilan mengalahkan perang Jawa dan Perang Padri membuktikan kekuatan serdadu Belanda. Belanda yakin punya kemampuan menciptakan kemenangan melawan pasukan pribumi yang melakukan taktik gerilya. Jika menguasahi seluruh Sumatra, maka secara geopolitik bisa mengendalikan jalur perdagangan di selat Malaka.

 

Belanda dengan sangat percaya diri mulai menyerang Aceh tahun 1973. Ternyata lawan Aceh tidak seperti yang ditulis dalam kertas. Pejuang Aceh sangat handal dalam perang gerilya. Mereka mampu tiba-tiba menyergap patroli Belanda, kemudian menghilang di hutan. Tidak jarang, mereka menghilang dengan membawa rampasan dari Belanda. Kerugian Belanda menjadi berlipat-lipat, kehilangan pasukan dan kehilangan persenjatan.

 

Dikutip dari buku Nino Oktorino berjudul ‘Perang Terlama Belanda: Kisah Perang Aceh, sebelum tahun 1890, Belanda tidak tidak bisa mengimbangi perang gerilya pejuang Aceh. Sebuah saran dari Residen Ternate untuk mengirimkan pasukan bantuan yang terdiri dari pejuang Alfuru. Mereka ini terkenal sebagai pengayau (pemenggal kepala). Namun, usulan tersebut ditentang keras pejabat Belanda di Aceh.

 

Hingga akhirnya seorang Minang yang menjadi jaksa kepala di Kutaraja, Mohammad Syarif atau Arif memberikan usulan kepada Gubernur Sipil dan Militer Aceh, H.K.F. van Teijn. Mohammad Arif agar Belanda membentuk suatu unit tempur infanteri yang memiliki mobilitas tinggi. Pertimbangan Mohammad Syarif berangkat dari pengalaman sebelumnya saat perang Padri di Bonjol dan perang Diponegoro di Jawa. Personelnya berani mati, mampu bertempur dan berkelahi di jarak dekat, dan nekat.

 

Rupanya, usulan Mohammad Arif disetujui Gubernur van Teijn, dan membentuk sebuah pasukan yang diberi nama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korps Marsose Aceh dan Daerah Sekitarnya), atau lebih dikenal dengan pasukan Marsose.

 

Pasukan Marsose ini dibentuk secara resmi pada 2 April 1890. Pasukan ini diberi seragam hijau dengan tanda garis bengkok warna merah pada lengan. Di bagian leher, ada garis merah yang lebih tipis dari pasukan reguler Belanda. Tingkat Pasukan Marsose adalah korps, yang dipimpin oleh seorang Kolonel. Hingga tahun 1904, Korps Marsose sudah memiliki 6 divisi yang tersebar di Aceh Besar.

 

Tiap divisi memiliki 4 kompi, dengan komandan berpangkat Letnan Satu atau Letnan Dua. Setiap kompi memiliki 4 brigade, yang menjadi unit terkecil dalam Koprs Marsose. Sebuah brigade memiliki 20 pasukan, dipimpin oleh seorang Sersan Eropa, dan seorang Kopral bumiputra. Pasukannya terdiri dari orang Belanda dan Eropa, Afrika, serta Jawa, Ambon, Manado, dan beberapa orang Timor.

 

Maka, pasukan Marsose merangsek mengejar pejuang Aceh hingga pedalaman, bahkan ke tempat-tempat terpencil. Mereka sanggup pergi ke hutan menumpas pejuang Aceh selama berbulan-bulan dan tak tergantung oleh logistik.

 

Berbeda dengan pasukan reguler Belanda, pasukan Marsose tak tergantung senjata api. Mereka handal menggunakan kelewang untuk menghabisi lawan di pertempuran jarak dekat. Dengan segera, pasukan ini menjadi momok bagi pejuang Aceh. Apalagi, perwira-perwira Marsose seperti Van Daalen, Golijn, Schmidt, Van der Maaten, dan Christoffel begitu gigih mengejar pejuang Aceh, seperti tak terhalang oleh gunung, hutan lebat, dan rawa yang dalam.

 

Salah satu korban keganasan serdad Marsose, salah satunya pasukan Sisingamangaraja XII di pedalaman Sumatera Utara. Pasukan Sisingamangaraja XII yang sebelumnya dikenal sangat hafal hutan dan menguasahi medan, ternyata masih kalah dan melarikan diri melawan Marsose. Saat penyerangan Sisingamangaraja XII dipimpin Pasukan Marsose Kolone Macan. Disebut sebagai pasukan paling hebat dan kejam Marsose Belanda. Pimpinannya tak kalah kejam, seorang perwira bernama Hans Christoffel, asal Swiss.

 

Kolone Macan didirikan di Cimahi, anggotanya prajurit pilihan yang beringas, jago berkelahi, dan bujangan. Pasukan ini mudah dikenali dengan simbol kain merah di leher. Mereka adalah prajurit pilihan dari orang pilihan, karena pasukan Marsose sendiri sudah merupakan pasukan khusus Belanda untuk menghadapi taktik gerilya.

 

Sang kapten, Hans Christoffel tak kalah tangguh. Dia sudah luka berkali-kali selama tugasnya di Aceh. Termasuk, saat peluru menyerempet kepalanya, atau saat ibu jarinya putus ditebas prajurit Aceh. Pada 24 September 1910, pasukan Kolone Macan berhasil mengendus dan menewaskan Pang Nanggroe di rawa-rawa Paya Picem. Pan Nanggroe adalah suami Cut Meutia.

 

Metode Kolone Macan dalam menghadapi penduduk juga menyeramkan. Mereka akan mendatangi suatu desa, menandai rumah yang prianya sedang tak ada. Keesokan harinya, mereka kembali. Jika tidak ada jawaban yang memuaskan, mereka langsung menembak mati siapapun di depan rumahnya. (pul)

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022