abad.id- Sukarno sudah berada di Bandung untuk melanjutan sekolah tinggi teknik. Namun baru sebulan menyiapkan diri melanjutkan studi, ada kabar yang kurang menyenangkan dari Surabaya. Saat itu bulan Agustus 1920, Sukarno dan Utari harus kembali pulang karena HOS Tjokroaminoto ditahan oleh polisi Surabaya. Mertua sekaligus guru dalam aktifis tersebut dituduh melakukan sumpah palsu sehingga terjadi pemberontakan Serikat Islam di Garut tahun 1918. Tjokroaminoto dituduh terlibat dalam pemberontakan yang dilakukan oleh organisasi yang dipimpinnya.
Tidak ada pilihan lain bagi Sukarno untuk segera pulang ke Surabaya untuk membantu kondisi keuangan keluarga Tjokroaminoto. Sebagai anak mantu dan memiliki adik adik ipar yang masih kecil, Sukarno harus menghidupi keluarga yang kehilangan pilar utama tersebut. Sebelum pulang ke Surabaya, Sukarno meminta ijin ke rektor Magnificus Klopper. Beruntung sang rektor sangat bersimpattike Sukarno sehingga masih memberi kesempatan untuk kembali dan melanjutkan studi.
Setiba di surabaya, Sukarno langsung mendapakan pekerjaan di Staats Spoor Entramuegen atau sebuah Perusahaan Keretap Api Dana Trem Negara. Sukarno mendapat kedudukan sebagai kepada personalia dengan gaji 165 gulden. Semua berkat simpati Magnificus Klopper. Sebab biasanya pegawai baru hanya lulusan HBS mendapatkan gaji 110 gulden. Serta saat itu perusahaan kereta juga sedang berhemat akibat krisis ekonomi, maka harusnya tidak menambah pegawai.
Dari penghasilan itu Sukarno menyerakan 120 gulden untuk istri Tjokroaminoto yang baru. Sisanya ditahan sebagai uang saku. Sebagai anak pertama di keluarga tersebut, Sukarno benar benar berperan sebagai kepala keluarga pengganti. Tidak jarang dia memberi pelajaran hukuman kepada adik-adik iparnya yang masih kecil. Serta menyelenggarakan sunatan Anwar dan memberi hadiah baju-baju kepada Harsono. Tidak jarang keluarga tersebut bergembira setelah ditraktir makan sambil nonton bioskop.
Lalu, apa yang menjadi penyebab keluarga HOS Tjokroaminoto dan nyaris jatuh miskin. Padahal nama besar HOS Tjokroaminoto sangat dikenal di kalangan pergerakan serta pejabat Belanda. Semua karena keterlibatan organisasi SI yang dipimpinnya disusupi kelompok kiri. Serta beberapa kali pidato Tjokroaminoto di beberapa panggung dianggap berbahaya dan provokatif. Misalnya sebuah pidato Tjokroaminoto di forum NATICO 1 Bandung tahun 1916, yang dilaporkan Dr. G.A.J Hazeu seorang intel Belanda kepada G.G Van Limburg Stirum dan diteruskan kepada Menteri Jajahan di Nederland, Pleyte.
Laporan ini sebenarnya dokumen rahasia Belanda. Namun menurut kebiasaan di Nederland, dokumen-dokumen itu boleh dipublikasikan setelah 50 tahun kemudian. Karena masa dirahasiahkan sudah lewat, penulis Mohammad Roem mengutip beberapa bagian dari pidato Tjokroaminoto dari sebuah buku berjudul “De Volksraad en de Staatkundige ontwikkeling van Nederland-Indie” Een bronnen publikatie, Eerste stuk 1891-1926”. Disusun oleh Dr. S.L. van de Wal terbitan J.B. Wolters, Groningen. 1964”. Pidato Tjokro seluruhnya memakan waktu dua jam. Pidato ini ditulis ulang dari Buku “Bunga Rampai Dari Sejarah Jilid I” yang diterbitkan Bulan Bintang, Cetakan ke-2 tahun 1977.
“Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita; Kita cinta tanah air, di mana kita dilahirkan; dan kita cinta Pemerintahan yang melindungi kita. Karena itu, kita tidak takut untuk minta perhatian atas segala sesuatu, yang kita anggap baik, dan menuntut apa saja, yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintahan kita”.
“Untuk mencapai tujuan kita, dan untuk memudahkan cara kerja kita agar rencana raksasa itu dapat dilaksanakan, maka perlulah, dan kita harap dengan sangat agar diadakan peraturan, yang memberi kita penduduk pribumi hak untuk ikut serta dalam mengadakan bermacam-macam peraturan, yang sekarang sedang kita pikirkan. Tidak boleh terjadi lagi, bahwa dibuat perundang-undangan untuk kita, bahwa kita diperintahkan tanpa kita dan tanpa ikut serta dari kita”.
“Meskipun jiwa kita penuh dengan harapan dan keinginan yang besar, kita tidak pernah bermimpi tentang datangnya Ratu Adil, atau kejadian yang bukan-bukan, yang kenyataannya memang tidak terjadi. Tapi kita akan terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur akan datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia-Belanda, paling sedikit Dewan Jajahan, agar kita dapat ikut berbicara dalam urusan pemerintahan. Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam rapat ini berani mengucapkan perkataan “Pemerintahan Sendiri”. Dengan sendirinya kita tidak takut untuk memakai perkataan itu, karena ada undang-undang (wet), yang harus dibaca oleh tiap-tiap penduduk, yang juga mempergunakan perkataan “pemerintahan sendiri” yaitu Undang-undang 23 Juli 1903, tentang “Desentralisasi dari Pemerintahan Hindia-Belanda”, yang memuat keputusan Sri ratu Wilhelmina, di mana Sri Ratu memandang perlu, agar untuk keresidenan atau bagian-bagian daerah membuka kemungkinan untuk mencapai “pemerintahan sendiri”.
Berhubung dengan Sabda Ratu tersebut di atas, yang menyebabkan kita berani berbicara tentang “Pemerintahan Sendiri” dan karena itu juga kita dapat memikirkan lebih lanjut bagaimana keinginan ratu itu dapat selekas mungkin dan dengan sempurna dilaksanakan. Dalam permulaan Sri Ratu hanya mengharapkan terrcapainya “Pemerintahan sendiri” dari daerah-daerah atau sebagian dari daerah, akan tetapi kita yakin, bahwa harapan Sri Ratu itu tersimpul maksud agar pada saatnya juga untuk seluruh Hindia-Belanda mencapai status “Pemerintahan sendiri”.
“Tidak dapat diragu-ragukan, bahwa Ratu kita adalah bijaksana. Sekian lama, semakin tambah kesadaran orang, baikpun di Nederland maupun di Hindia, bahwa “Pemerintahan sendiri” adalah perlu. Lebih lama lebih dirasakan, bahwa tidak patut lagi Hindia diperintah Nederland, seperti tuan tanah mengurus persil-persilnya. Tidak patut lagi untuk memandang Hindia sebagai sapi perasan, yang hanya mendapat makan karena susunya; tidak pantas lagi untuk memandang negeri ini sebagai tempat untuk didatangi dengan maksud mencari untuk, dan sekarang juga sudah tidak patut lagi, bahwa penduduknya, terutama putera-buminya, tidak punya hak untuk ikut bicara dalam urusan pemerintahan, yang mengatur nasibnya”.
“Segala puji kepada Allah, Tuhan Maha Adil. Tuhan mendengarkan keinginan Hamba-Nya. Ratu kita dan Pemerintahan bijaksana. Perubahan besar Fasal 111 R.R., yang melarang mengadakan rapat-rapat politik sudah dicabut, dan meskipun belum sama sekali dikubur, tapi tidak dijalankan lagi. Meskipun mengadakan Kongres jatuh di bawah fasal 111 tersebut, kita berbesar hati, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah di Bandung memberi izin untuk mengadakan rapat-rapat ini……..”
“Kita menyadari dan mengerti benar, bahwa mengadakan Pemerintahan sendiri, adalah satu hal yang sangat sulit, dan bagi kita hal itu laksana suatu impian. Akan tetapi bukan impian dalam waktu tidur, tapi harapan yang tertentu, yang dapat dilaksanakan, jika kita berusaha dengan segala kekuatan yang ada pada kita, dan dengan memakai segala daya upaya melalui jalan yang benar dan menurut hukum”
“Kita sama sekali tidak berteriak : “Persetan Pemerintah”. Kita malah berseru : “Dengan Pemerintah, bersama dengan Pemerintah dan untuk membantu Pemerintah menuju ke arah yang benar”. Tujuan kita ialah bersatunya Hindia dan Nederland, dan untuk menjadi warga negara “Negara Hindia” yang mempunyai “Pemerintaha Sendiri”.
Di bagian penutupnya, Tjokro mengatakan
“ Kongres yang terhormat, bangsaku dan kawan-kawan separtai yang saya cintai. Maka perlu sekali kita bekerja keras. Meskipun Pemerintah yang maju (Progressip) mampu dan tentu bersedia, mendidik anak buahnya, dan membangkitkan energi anak buahnya, agar mereka semakin maju dalam kehidupannya, hak-hak dan kebebasan semacam itu diberikan sebagai hadiah oleh sesuatu Pemerintah. Di bawah pemerintah yang tiranik dan dholim, hak-hak dan kebebasan yang dicapai dengan jalan revolusi, sedang dari suatu Pemerintahan yang bijaksana dengan evolusi, gerakan yang patut. Kita berharap, bahwa gerakan evolusi ini senantiasa akan berlangsung di bawah naungan Sang Tiga Warna. Tapi bagaimanapun juga, rakyat harus bekerja untuk menentukan nasibnya sendiri”.
Tjokroaminoto Dibebaskan Dari Tuduhan
Selama HOS Tjokroaminoto masih ditahan Belanda, terjadi pertentangan keras di tubuh SI selama tahun 1921. Di sebuah kongres nasioanl luar biasa, pejabat ketua Agus Salim memaksa diadakan pemilihan ulang tata tertib organisasi. Resolusi ini melarang keanggotaan ganda Serikat Islam dengan ISDV yang menjadi cikap bakal PKI.
Rupanya usulan ini ditolak oleh Semaun dan memilih keluar dari organisasi SI. Atas keputusan ini mengakibatkan haluan kiri meninggalkan SI dan mendirikan PKI.
Setelah SI lepas dari kelompok PKI membuat Belanda mulai melunak ke HOS Tjokroaminoto. Bulan April 1922 HOS Tjokroaminoto dibebaskan dari segala tuduhan. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji