images/images-1679391689.png
Sejarah

Perang Diponegoro Sangat Menjemukan, Banyak Serdadu Frustasi

Pulung Ciptoaji

Mar 21, 2023

472 views

24 Comments

Save

 

abad.id- Lebih dari 150 tahun pasca Perang Jawa, seorang peneliti di Ecole Française d'Extrême-Orient (EFEO) menemukan catatan harian Errembault di sebuah pasar loak tepian Seine, Prancis. Sang peneliti bernama Henri Chambert-Loir, yang banyak menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Prancis ini, pernah menjabat sebagai Kepala EFEO di Jakarta. Kini buku harian Errembaul yang sarat gambaran sejarah tersimpan di perpustakaan EFEO di 22 Avenue du President Wilson, Paris.

 

Sebetulnya Errembault juga membuat catatan harian dalam Perang Peninsula di Spanyol dan Portugal selama 1807-1811. Dia kemudian turut dalam Perang Napoleon di Rusia, sehingga buku harian itu hilang saat Pertempuran Borodino pada Agustus 1812. Beruntung satu-satunya buku harian Errembault yang selamat berisi tentang perlananan perang di tanah Jawa.

 

Misalnya dalam catatan itu disebutkan, Plerette (Plérèd sebagai kraton atau kediaman sultan, tetapi sudah tak dihuni dalam waktu yang lama. Kapten Errembault de Dudzeele et d’Orroir menggambarkan,  “Kawasan itu dikelilingi oleh dinding setinggi sekitar tujuh meter, berbentuk persegi dengan sisi panjangnya 1,5 kilometer dan lebar sekitar separuhnya.”

 

Errembault merupakan serdadu Hindia Belanda Timur yang lahir pada 1789. Dia pernah sebagai perwira infanteri Belgia yang turut bertempur dalam Perang Napoleon di Spanyol dan Rusia pada 1807-1812. Lelaki itu tiba di Jawa dan langsung turut ambil bagian dalam serangan ke Plerette pada 9 Juni 1826. Selama penugasan di Jawa, dia menceritakan pengalamannya kala bertemur melawan laskar Diponegoro ke dalam catatan harian, yang ditulisnya sejak 22 Oktober 1825 hingga 25 Mei 1830.

 

“Kami mulai bergerak mulai pukul lima pagi,” tulis Errembault dalam catatan hariannya pada 9 Juni 1826. Perjalanan dengan jalan kaki selama tiga jam dari pusat Kota Yogyakarta. Pasukan terdiri atas 4.200 serdadu bersenjata bedil locok berpicu dan tombak. Dari jumlah itu sebagian besar merupakan Hulptroepen tentara pribumi. Dalam kasus ini,  Daendels juga pernah membentuk pasukan yang sangat loyal bernama Legiun Mangkunegaran. Legiun ini membuktikan keberpihakannya kepada Belanda dan bukan kepada warga pribumi.

 

Pasukan ini membawa dua barel mesiu untuk meledakkan dinding bekas keraton. Namun, jika gagal, pasukan telah bersiap dengan tangga-tangga untuk menggapai penyerang. Disebutkan bahwa para pemberontak yang berada di Plerette berjumlah 2.000 orang.

 

Tepat pukul 9.30, howitzer dan para serdadu mulai menembaki kraton. Pasukan Erembault menghadapi pertempuran sengit dengan laskar Diponegoro yang berlindung di dinding bekas Keraton Plered, dan telah terdapat semacam jebakan membahayakan jika memasukinya.

 

Errembault berkisah, setengah jam berikutnya satu pleton infantri ditugaskan untuk merobohkan tembok dengan dua barel bubuk mesiu. Sumbu telah disulut, namun beberapa menit berlalu tanpa ledakan. Setelah diulangi lagi, ledakan hebat pun terjadi. Tetapi, tidak menghasilkan dampak yang diinginkan.

 

Namun, berangsur pasukan Hindia Belanda Timur berhasil bergerak memasuki pintu barikade dan merebut meriam kecil. Mereka menjumpai sekitar 1.500 laskar Diponegoro masih berada di dalam pertahanan kuno itu. “Tiga ratus gerilyawan melarikan diri melalui sebuah pintu kecil, tetapi banyak yang tewas oleh kavaleri kami yang berada di luar,” tulis Errembault.

 

“Kemudian mulailah pembantaian mengerikan,” tulisnya. “Semua tewas dengan bayonet dan tombak. Pembantaian berakhir sekitar tiga jam.” Mayat-mayat bergelimpangan di sawah dan semak. Errembault tidak mewartakan jumlah serdadu Belanda yang tewas, namun setidaknya 7 orang dalam barisannya turut tewas.

 

Sekitar pukul 4 sore serdadu Belanda bergerak kembali ke Yogyakarta. Sebagian pasukan tetap di Plérèd bersama Legiun Mangkunagara. Mereka membawa sejumlah besar kuda hasil rampasan perang. Beberapa perwira dan prajurit juga mengambil belati, yang disebut sebagian bersarung emas dan lainnya bersarung perak.

 

“Bagi saya, cukuplah membawa seekor kuda bagus. Saya juga melaporkan sebilah pedang kavaleri dan sebuah cincin emas berbentuk ular dengan enam berlian kecil di atasnya. Kami tiba sekitar pukul 7 malam. Hari yang sangat melelahkan bagi kami.”

 

Reruntuhan Keraton Plérèd yang berlokasi di tenggara Kota Yogyakarta merupakan bekas istana Amangkurat Pertama. Sisa tembok yang mengelilingi keraton itu telah menjadi benteng batu terakhir bagi laskar Diponegoro. Pada Juli 1826, sebulan setelah Pertempuran Plérèd, operasi pengejaran diteruskan untuk menyerbu Dekso, sebuah desa yang menjadi markas besar Diponegoro di sisi barat Kali Progo. Namun, pasukan Belanda hanya menjumpai desa itu telah ditinggalkan penghuninya.

 

Seorang janda Van Ingen, perwira Belanda yang tewas di Nanggulan, pernah menyanjung Errembault yang beruntung bisa selamat dalam kecamuk perang di Eropa dan Jawa. Namun, Sang Kapten itu hanya menimpalinya, “Sejatinya, waktuku belumlah datang.” Pada akhirnya, selepas enam bulan dari Perang Jawa, Errembault meninggal dengan pangkat mayor di Antwerpen, Belanda, pada September 1830.

 

Sementara itu dalam buku Dipanegara, Pangeran Bermata Tajam Berkilat Imam tulisan Yudi AW menjelaskan, sejak penyerbuan kraton plered itu dijadikan titik awal dimulainya geger di tanah Jawa. Pasukan Diponegara melakukan perlawanan dengan strategi gerilya, sementara pasukan Belanda melakukan pengejaran. Tidak sepenuhnya serdadu Belanda menang dalam medan laga dengan strategi gerilya ini. Beberapa kali serdadu Belanda dan Legium Mangkunegaran yang melakukan pengejaran, justru menghasilkan kekalahan dan kerugian besar.  Perang Diponegoro ini membuat frustasi Gubernur Jenderal De Kock, yang meminta tambahan 3.000 pasukan dari Belanda dan tentara dari Sumatra, Sulawesi dan Legiun Ambon. Mereka dengan gagah ke Jawa, dengan keyakinan tinggi untuk memadamkan perlawanan. Tapi, semangat mereka akan kendur begitu mendapati keadan yang tak mereka harapkan. Salah satunya tak ada peta yang akurat tentang medan yang akan mereka taklukkan.  Alhasil, mereka harus menaklukkan medan itu tanpa panduan hingga banyak waktu tersita sekadar untuk mengenal medan.

 

Para serdadu Belanda harus menghadapi rintangan alam. Membabat hutan sendiri untuk dapat dilewati peralatan perang. Jebakan berupa ranjau yang dipasang pasukan Diponegara sudah menjadi sambutan yang sering mereka dapatkan.

 

Ketika memasuki perkampungan, para serdadu pilihan ini tak kalah frustrasi. Sikap para bekel, lurah, dan demang desa begitu membingungkan. Mereka selalu menampakkan simpati kepada para prajurit Belanda. Bersikap seakan-akan patuh. Padahal, mereka adalah pengikut setia Pangeran. Sulit untuk menentukan mana kawan dan mana lawan.

 

Usaha pengejaran semakin ditingkatkan. Tapi, semakin pula mereka sering menerima kekecewaan. Pasukan Dipanegara sering menyerang secara tiba-tiba dalam waktu singkat, lalu lari. Seperti hanya mengejek agar minta dikejar. Para serdadu Belanda pun terpancing mengejar, dan tentu saja mengalami kegagalan karena belum mengenal medan. Taktik serangan Dipanegara untuk menguras keuangan Belanda serta hanya menambah korban jiwa semakin banyak. Bukan akibat perang langsung, namun karena daya tahan tubuh pasukan yang terkuras hingga langsung tamat ditikam penyakit mematikan.

 

Belum selesai satu masalah, kini muncul lagi masalah baru. Rasa frustrasi yang terus mendera membuat para serdadu lemah mental. Banyak dari mereka yang mencari pelarian dengan memakai opium, yakni ganja yang dilekat dalam cerutu. Mereka mendapatkan kenikmatan sesaat, tapi dampaknya luar biasa mematikan. Senjata makan tuan. Belanda yang membawa opium untuk meracuni orang-orang Jawa, tapi kini justru para serdadu mereka sendiri yang menjadi korbannya.

 

Dua tahun De Kock telah melakukan usaha sia-sia, dengan korban dan dana yang luar biasa besarnya. Ini adalah perang yang benar-benar menguras perhatian semua pihak.

 

Kepala De Kock semakin panas. Berbagai taktik perang ia pelajari. Sejarah perang di Belanda, Inggris, Prancis, Spanyol, dan perang-perang lainnya tekah ia baca dan dalami. Namun tetap tidak berhasil melawan Diponegara. Bahkan hanya untuk menentukan taktik yang tepat memadamkan perlawanan saja, tampaknya Gubenur Jenderal ini sangat kesulitan.

 

Dalam hatinya, De Kock berharap kuasa Tuhan untuk mengakhiri perang Jawa. Hingga suatu saat, Tuhan memberikan jalan keluar melalui perantara bawahannya, Letnan Kolonel Cochius, seorang perwira ahli perbentengan yang dulu datang ke Jawa bersama Daendels. Perwira menengah ini sudah malang melintang dalam pembangunan benteng-benteng sederhana di Prancis, saat meletus revolusi di sana. Serta pengalaman ia terapkan di pantai utara Jawa atas perintah Gubenur Jenderal Daendels. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023