abad.id- Legiun Mangkunegaran adalah organisasi militer yang dikelola secara profesional denan managemen Eropa. Pengaruh militer Perancis sangat kuat yang ketika itu merupakan institusi sangat modern di Asia pada awal abad ke-19. Legiun Mangkunegaran muncul jauh sebelum Kekaisaran Jepang memulai restorasi Meiji dan Kerajaan Siam di bawah Raja Rama V yang memodernisasi diri. Bahkan Raja Rama V terpaksa belajar ke mancanegara terutama ke negeri Jawa untuk membentuk kekuatan militer modern pertamanya.
Nama legiun mengadopsi organisasi militer Perancis. Bangsa ini secara tidak langsung pada satu masa (1808-1811) pernah menguasai pulau Jawa di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte. Napoleon Bonaparte sempat meminta Menteri Kelautan dan Koloni Laksamana Denis du Decres (1801-1815) untuk mengirimkan 10.000 Legionnaire Perancis ke tanah Jawa. Kedatangan pasukan Perancis ini untuk mengusir Inggris dari nusantara. Namun, pada akhirnya yang mempertahankan Jawa dari serangan Inggris pasukan gabungan Perancis-Belanda dan Legiun Mangkunegaran.
Gubernur Jenderal Belanda yang menjadi pasukan Perancis Herman Willem Daendels, ikut meresmikan langsung Legiun Mangkunegaran pada tahun 1808. Dengan bangganya Daendels menyatakan bahwa legiun ini sebagai satuan militer dengan struktur Grande Armee Napoleon. Istilah Grande Armee dikenal sebagai pasukan dari Kerajaan Perancis yang adikuasa pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Bahkan Amerika Serikat yang merdeka pada akhir 1778 juga mendapat bantuan pasukan Perancis di bawah pimpinan Jenderal Lafayette.
Legiun Mataram dibentuk menjadi organisasi tentara modern dengan pengaruh Perancis. Foto dok net
Peran aktif lain legiun Mangkunegaran ketika terjadi krisis perekonomian di Batavia yang diikuti kerusuhan di daerah pinggiran kota. Muncul isu pengumpulan orang Tionghoa oleh Vereenigde Oostindische Compagnie-Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang konon untuk dibawa ke Ceylon (Sri Lanka). Kabar buruh tersebut menyebabkan kerusuhan dan pembunuhan di atas kapal.
Situasi pun semakin mengkawatirkan. Akhirnya pada tahun 1740, Kompeni Belanda (VOC) di bawah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier membantai orang Tionghoa di Batavia. Beragam catatan sejarah memperkirakan sekurangnya 10.000 orang Tionghoa dibunuh di Kota Batavia. Mayor Tjina Batavia Nie Hoe Kong pun turut dibuang ke Ambon oleh VOC. Peristiwa itu akhirnya memicu pembangkangan massal dan perlawanan bersenjata yang dikenal sebagai Perang Tjina melawan Ollanda. Warga Tionghoa memberontak melawan kekuasaan VOC di seantero Pulau Jawa.
Sejumlah laskar Jawa bergandengan tangan dengan pasukan Tionghoa ikut menggempur VOC. Di Ibu kota Mataram Kartasura yang dianggap dekat dengan VOC, turut diserbu pasukan Tionghoa dan pasukan Jawa. Komandan pasukan Tionghoa bernama Kapten Sie Pan Jang, diketahui menjadi guru militer dari Raden Mas Said alias Pangeran Samber nyawa.
Raden Mas Said berhasil lolos dari Keraton Kartasura. Kemudian menyusun kekuatan di Laroh, sekitar Wonogiri. Raden Mas Said memimpin pasukan pemberontak yang bergerilya selama 16 tahun. Kompeni Belanda dan Kerajaan Mataram (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) tidak berhasil mengalahkan langkah gerilya Raden Mas Said alias Mangkunegara I ini.
Lalu apa yang menjadi rahasia pasukan Raden Mas Said sehingga sulit dikalahkan. Ternyata dia membentuk satuan militer yang dikenal sebagai Prajurit Mangkunegara dengan pembagian tugas meliputi, Ladrang Mangungkung Estri:60 berkuda, karbin wedung, Jayengsastra: 44 berkuda, keris, Kapilih:44 berkuda,keris, Tramrudita: 44 berkuda, pedang, Margarudita: 44 berkuda, pedang, Tanusastra Nampil: 44 berkuda, keris, Mijen: 44 berkuda, panah, keris, Nyutrayu: 44 berkuda, panah, keris, Gulangula: 44 darat,panah, keris, dan Sarageni:44 darat,panah,keris.
Maksud satuan tempur disusun dalam unit sebanyak 44 orang, yaitu digunakan dalam jumlah kuantitas pada satuan tempur. Ada dugaan angka 4 dan 4 yang dijumlah menjadi angka 8 merupakan suatu "daru" dalam perhitungan waktu yang mengandung makna magis.
Semasa itu, wanita Jawa ikut bertempur dalam pasukan gerilya Raden Mas Said. Mereka menggunakan senjata api modern yakni karbin (sejenis senapan atau lazim disebut karabin). Keberadaan Prajurit Wanita (Korps Prajurit Estri) sudah lama dikenal dalam Kerajaan Jawa Kuno dan semakin kuat keberadaannya di lingkungan keluarga Mangkunegara.
Rijklofs van Goens seorang pejabat VOC yang pernah mengunjungi Mataram pada pertengahan abad ke-17, memberikan informasi bahwa Korps Prajurit Estri berjumlah 150 perempuan muda. Sebanyak 30 di antaranya selalu mengawal raja ketika muncul di depan publik. Sedangkan 10 prajurit mengusung perkakas raja berupa bejana air minum, sirih lengkap, pipa tembakau, keset, payung, kotak minyak wangi, dan pakaian-pakaian yang akan diberikan raja kepada orang yang disukai. Selain itu ada 20 prajurit perempuan bersenjata tombak dan tulup (sumpit-blow pipe') mengawal di sekeliling raja.'
Rijklofs van Goens menambahkan, para prajurit perempuan tidak hanya piawai menggunakan senjata saja, mereka juga pandai menyanyi dan memainkan alat musik. Meski sebagian besar dari mereka merupakan pilihan dari perempuan-perempuan tercantik di kerajaan, raja hampir tidak pernah mengambil mereka menjadi selir. Meski demikian, tidak jarang mereka dihadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri. Sebagai pemberian raja, mereka diperlakukan baik oleh para bangsawan yang merasa segan kepada junjungannya. (pul)