images/images-1684896595.jpg
Sejarah

Jejak Pasukan Gerilya Istimewa Anggotanya Mantan Serdadu Jepang

Pulung Ciptoaji

May 24, 2023

916 views

24 Comments

Save

 

 

Rahmat Shigeru Ono satu dari sekian banyak serdadu Jepang yang membela Indonesia.

 

Menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada 14 Agustus 1945, tak bisa diterima kebanyakan serdadu Jepang. Serdadu Jepang di Indonesia justru kecewa begitu mendalam.

 

Suatu kali, setelah Kaisar Jepang menyatakan menyerah, seorang serdadu Jepang asal Korea mencoba mengancam Sersan Sakari Ono dengan belati. Biasanya serdadu asal Jepang akan membela sesama rekannya dari ancaman orang Korea, tapi kali itu tidak. Sakari kecewa kepada kawan-kawan serdadu asal Jepang yang telah jatuh mentalnya karena penyerahan itu.

 

“Saya benar-benar berpikir mau harakiri (bunuh diri merobek perut dengan pedang pendek) pada saat itu,” kata Sakari Ono alias Rahmat Shigeru Ono dalam Mereka Yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono (2011:30) yang disusun Eiichi Hayashi. Namun, dia dan banyak serdadu muda Jepang lainnya tidak bisa berbuat apa-apa.

 

Di tengah hari-hari frustasi para serdadu Jepang itu dihadapkan pada 2 pilihan. Pertama sebagai kombatan dan melawan tentara Sekutu yang terdiri dari Inggris, Belanda, dan lainnya, atau ikut menyerah dan dilucuti untuk dipulangkan ke Jepang.

 

Para bekas serdadu Jepang yang ikut Indonesia itu kemudian punya nama Indonesia. Misalnya Abdul Majid Goro Yamano,  Arif alias Yoshizumi atau rahmad alias Shigeru Ono. Dalam buku jejak Intel Jepang tulisan Wenri Wanhar menyebutkan, pada Juli 1948, untuk menghindari penangkapan tentara sektu, serdadu Jepang berkumpul di Wlingi, Blitar. Rahmad Ono Shigeru salah satu saksi dari peristiwa tersebut.

 

"Saya dipanggil menghadap kepala batalion karena ada yang ingin jumpa. Ternyata mengaku Syoji Yamaguchi yang punya nama Indonesia Husin. Dia mendapat perintah dari Ichiki Tatsuo.  Ingin mengajak saya untuk ikut bersamanya," tulis Shigeru Ono

 

Tanggal 24 Juli1948, Shigeru Ono menulis lagi: "Saya dkk sampai di pegunungan daerah Wlingi. Menjelang sore, kepala Brigade Wlingi menjemput untuk segera berangkat ke markas secepatnya. Sesampai di markas sudah ada lchiki Tatsuo, Shigeru Ochi alias Bustam, Nagamoto Sugiyama alias Sukardi, Toshio Tanaka alias Hasan. Mereka itu pernah tertangkap pasukan Inggris dan kabur dari penjara Cipinang.

 

Pasukan Gerilya Istimewa wilayah Malang Selatan. 

 

Menurut Shigeru Ono, di Wlingi sudah berkumpul 28 orang sebagian besar Kempeitai. Pada akhirnya, dengan segala latar belakang yang berbeda, para bekas tentara Jepang yang tidak ingin kembali itu berkumpul jadi satu pasukan. Terbentuklah Pasukan Gerilya Istimewa.

 

Komandan Pasukan Gerilya Istimewa pertama yang terpilih. Masih merujuk catatan harian Shigeru Ono tanggal 24 Juli 1948, adalah Tomegoro Yoshizumi dengan wakil komandannya Ichiki Tatsuo. Namun, saat itu Yoshizumi sakit-sakitan sehingga segala kewajibannya sering dilakukan oleh wakilnya. Ichiki mengemban tugas mengatur segala sesuatu.

 

Tentang Yoshizumi yang sakit-sakitan, beberapa bulan sebelum terbentuknya Pasukan Gerilya Istimewa, Shigeru Ono mencatat tanggal 11 Oktober 1947:  "Arif Tomegoro Yoshizumi sedang sakit. Saya merasa sangat kasihan kepada dia. Saya juga sedang sakit. Jadi saya bisa memahami bagaimana perasaan dia seperti apa saat ini."

 

Tanggal 12 Oktober 1947, Shigeru Ono menulis: "Pergi menjenguk Arif dengan membawa tomat. Arif Tomegoro itu dulu teman Tatsuo Ichiki. Mereka sudah saling kenal sejak sama-sama menjadi wartawan masa kolonial Belanda. Setelah sehat, saya kembali melanjutkan membuat tugas gambar peta bersama para pemuda Indonesia. Saat itu Abdul Majid Goro Yamano mendapat tugas membantu Arif yang ditugaskan ke Hotel Sarangan."

 

Yoshizumi menderita radang selaput dada. Penyakit itu didapatnya dalam penjara Sekutu di Australia. Suatu waktu, berdasarkan keputusan bersama Divisi Wlingi, Pasukan Gerilya Istimewa dibagi menjadi dua daerah operasi. Sebagian ke Dampit Malang Selatan dan sebagian lagi tetap di Wlingi Blitar.

 

"Saya ditugaskan di Dampit. Saat bertugas di Dampit, saya mendapat kabar Arif meninggal pada 10 Agustus 1948," kenang Shigeru Ono. Yoshizumi gugur saat gerilya di Gunung Sengon.

"Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Angkatan Darat sekitar Blitar," tulis Shigeru Ono.

"Dengan meninggalnya Arif, Ichiki sang wakil komandan otomatis naik jadi komandan."

Yoshizumi gugur saat memihak Indonesia. Makamnya bisa dijumpai di Taman Makam Pahlawan Raden Widjaja Blitar. Tepat di depan Monumen Shodancho Supriyadi, beberapa ratus meter dari makam Sukarno, proklamator kemerdekaan Indonesia.

 

Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) yang anggotanya banyak personil bekas pasukan Jepang, kemudian disusun kembali menjadi Pasukan Untung Suropati 18 (PUS-18). Seperti dicatat Eiichi Hayashi dalam Mereka Yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono (2011:134), angka yang mulanya hendak dipakai di belakang nama pasukan adalah 17, namun angka 7 (shichi dalam bahasa Jepang) mengandung kata shi yang berarti mati, maka angka 18 pun dipakai sebagai gantinya.

 

Di antara serdadu-serdadu Jepang yang ikut Indonesia, tidak sedikit yang kemudian gugur dalam pertempuran. Mayor Abdul Rahman Tatsui Ichiki gugur di Arjosari pada 3 Januari 1949 dan dimakamkan secara Islam. Ya, agama Islam memang banyak dianut oleh para mantan serdadu Jepang.

 

Serdadu Jepang yang ikut Indonesia tidak hanya rawan dibunuh oleh tentara Belanda, tapi juga oleh sesama pasukan Indonesia. Pasukan Budiman Juichi Takai yang berdiri di pihak Indonesia pernah ditembaki pasukan RI asal Sumatra yang dipimpin Mayor Tobing di Garut tanpa alasan yang jelas. Pasukan Tobing itu lalu dikejar pasukan Budiman dan lari ke Cirebon.

 

Atau Tosio Morita alias Soelarso, pernah ditahan oleh pasukan Mayor Sabarudin dari Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR). Betuntung Tosio kemudian dibebaskan dan bergabung dengan PTKR. Disebutkan pula bahwa Tosio pernah bergabung dengan laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Mojokerto, sebelum kota itu jatuh ke tangan tentara Belanda. Setelah Mojokerto jatuh, Tosio yang lahir di Saipan pada 10 Agustus 1923, pindah ke Malang dan ikut dalam Pemuda Indonesia Maluku (PIM) hingga 1949. Tosio yang kemudian menjadi istri dari Raden Sri Suparmini ini selanjutnya bekerja menjadi supir dan tinggal di Tulungagung.

 

Sementara itu Komandan intelijen Indonesia di awal revolusi kemerdekaan Indonesia, Zulkifli Lubis, seperti disebut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007:4), mengakui kehadiran bekas tentara Jepang dimanfaatkan dengan baik oleh militer Indonesia.  Dua perwira Jepang membatu mengajarkan teknik-teknik para militer kepada calon intel yang dilatih di Jakarta. Dua perwira itu bergabung dengan Lubis sejak pertengahan 1945.

 

Rahmat Shigeru juga mengaku pernah mendapat tugas dari Zulkifli Lubis ini. Sebelum serdadu-serdadu Jepang di Indonesia dipulangkan, ia pernah mendatangi kawan-kawannya di Cirebon dan mendapatkan 30 buku teknik perang. Rahmat Shigeru mendapat permintaan dari petinggi militer Republik untuk merangkum buku-buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dikerjakannya sejak 13 Februari 1946.

 

Bersama Karman Katano, Adam Takigami, dan Abdul Rahman Tatsuo Ichiki, Rahmat Shigeru mengerjakan tugas tersebut. Di antara mereka hanya Ichiki yang benar-benar menguasai bahasa Indonesia, sehingga kawan-kawannya menggelari Ichiki sebagai sensai (guru). Karman, Adam, dan Rahmat masih dalam tahap belajar. Pengerjaan buku dilakukan di Sarangan, Magetan, Jawa Timur.

 

“Jadi saat itu kami menulis dua buku, satu tugas dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta, yang kedua tentang taktik khusus perang gerilya permintaaan Zulkifli Lubis. Semua yang menulis ya Ichiki Sensai,” ujar Rahmat Shigeru. Setelah buku selesai, naskahnya dipegang Zulkifli Lubis dan tak diketahui lagi di mana buku itu berada.

 

Sarangan memang pernah menjadi tempat pelatihan bagi satuan intelijen Republik. Rahmat Shigeru yang dijadikan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) pernah menjadi pelatih militer di sana.

 

Beberapa bekas serdadu Jepang yang memilih tinggal di Indonesia memang menikahi perempuan Indonesia. Meski demikian, mereka tidak langsung mendapat status sebagai warga negara Indonesia. Rahmat Shigeru, misalnya, baru mendapat kewarganegaraan Indonesia setelah Sukarno menikahi Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi pada 1963. Sebelumnya, Sukarno sulit menerima permintaan orang Jepang untuk menjadi warga negara Indonesia.

 

Meski baru diakui pada 1963, sejatinya Rahmat Shigeru Ono telah menjadi bagian dari Indonesia sejak 1945. Dia tak mau menyerah kepada Sekutu, dan memilih membela kemerdekaan Indonesia. Untuk Indonesia dia bahkan kehilangan salah satu tangannya pada tanggal 26 September 1948, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-29, saat ia melakukan ujicoba pelontar granat.

 

Rahmat Shigeru Ono yang lahir di Hokaido, meninggal dunia pada 25 Agustus 2014, tepat hari ini 7 tahun lalu di Batu, Malang.

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023