abad.id- Soekarno dikenal memiliki kharisma dan sangat dihormati lantaran telah mengantarkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Soekarno juga dikenal sebagai sosok laki-laki yang menawan dan bisa membuat perempuan jatuh cinta. Salah satu perempuan yang dibuat jatuh cinta adalah Fatmawati. Demi cintanya kepada sang proklamator, Fatmawati rela meninggalkan tempat kelahirannya di Bengkulu.
Cerita pertemuan keduanya pernah dikisahkan oleh tiga orang tokoh, yaitu Soekarno, Inggit istrinya, dan kekasihnya Fatmawati. Selanjutnya dua orang saksi, kawan Soekarno dari Muhammadiyah, Hien dan orang kepercayaannya, Riwu, menceritakan apa yang mereka ketahui.
Kedua orang wanita yang memegang peranan dalam hal ini, Inggit dan Fatmawati, sependapat tentang asal mula kisah cinta ini. Seperti yang dikutip dalam Biografi Soekarno 1901-1950 tulisan Lambert Giebelt, suatu hari di tahun 1938 di depan rumah Soekarno berhenti sebuah delman yang mengantarkan Hasan Din dan putrinya bernama Fatima berumur 15 tahun. Mereka berasal dari desa Curup, tempat Hasan Din memegang jabatan sebagai sekretaris Muhammadiyah setempat, di samping bekerja di perusahaan Borsumij. Empat puluh tahun kemudian, ketika menulis buku memoarnya, Fatmawati masih ingat betul hari itu. “Saya masih ingat bahwa waktu itu saya pakai baju merah dengan selendang kuning bordiran,” cerita Fatmawati.
Tuan dan nyonya rumah mengajak mereka duduk. Ia lebih menyenangi tuan rumahnya, yang langsung memperlakukan dengan ramah. Sambil tersenyum ia menawarkan kepadanya kue kering. Tak lama kemudian datang juga ke beranda seorang anak gadis yang dipanggil Ratna. Fatima memperhatikan bahwa anak perempuan itu lebih tambun dan berkulit amat jernih.
Bergambar bersama di Bengkulu. (Soekarno deret terakhir di tengah; Inggit deret tengah kedua dari kanan, Fatmawati dan Omi duduk di deret pertama masing-masing kiri dan kanan). Foto dok net
Hasan Din bercerita kepada Soekarno dan Inggit bahwa ia ingin menyekolahkan anaknya di Bengkulu. Sambil bercakap-cakap timbul pikiran untuk mengirim Fatima ke sekolah yang sama seperti Ratna, yaitu sekolah kejuruan Katolik. Namun, ada kesulitan kecil, anak gadis tersebut baru duduk di kelas 5 sekolah dasar. Soekarno berkata bahwa itu mudah dan bisa mengurusnya.
Sama seperti di Pulau Ende, di Bengkulu Soekarno membina hubungan baik dengan missi. Pada akhir 1929, para suster Cinta Kasih dari ordo Santo Carolus Borromeus bergabung dengan kelompok pater. Bulan Agustus 1936 para biarawati ini mendirikan sekolah kepandaian putri untuk menampung anak-anak perempuan yang lulus sekolah dasar. Sekolah ini disebut Sekolah Kejuruan. Setiba di Bengkulu, Omi masuk sekolah ini.
Soekarno menghubungi suster Vicenza, kepala Sekolah Kejuruan. Rupanya ia berhasil membujuknya supaya Fatima diterima, walaupun masih belum menamatkan sekolah dasarnya. Problem yang baru adalah uang sekolah sebesar 10 gulden per bulan. Hasan Din yang memiliki banyak anak tidak kuat membayarnya. Apalagi Hasan telah melepaskan pekerjaannya di Borsumij, agar bisa konsentrasi waktunya untuk Muhammadiyah. Beruntung Suster Vicenza mengurangi separuh jumlah biaya.
Untuk sementara Fatima mondok di rumah Soekarno. Ia satu kamar dengan Omi dan Kartika. Ia seakan-akan menjadi anak angkat ketiga untuk Soekarno dan Inggit. Seperti biasa Soekarno memberinya nama baru “Fatmawati”.
Tak lama kemudian suasana di rumah tersebut berubah dengan adanya tamu baru ini. Inggit kesal melihat kelakuan suaminya yang merayu anak gadis muda ini. Barangkali Omi tertular kejengkelan hati ibunya. Hingga akhirnya Fatmawati memutuskan pindah ke rumah neneknya di Bengkulu, tetapi ia tetap terpengaruh oleh gunjingan.
Pada bulan Agustus 1939 Omi menyelesaikan Sekolah Kejuruan. Diputuskan bisa berlibur beberapa minggu di Bandung bersama Inggit. Sebelum anak angkarnya berangkat, Soekarmo dengan menggoda, apakah ia sadar bahwa guru rumah yang dahulu mengajar di Ende bernama Asmarna Hadi, sedang jatuh cinta kepadanya. Muka Omi memerah karena malu, tetapi tidak terkejut. Si nasionalis muda itu kini telah menjadi pengurus Gerindo. Bakatnya juga menulis puisi. Beberapa karyanya telah muncul di majalah Poedjangga Baroe, menerbirkan beberapa sajak cinta yang isinya terselubung, Ratna menjadi pujaan hati.
Sebulan lamanya Inggit meninggalkan rumah. Kerika ia pulang kembali ke Bengkulu, ia langsung kaget melihat perubahan-perubahan. Ada kursi yang dipindahkan, di dapur panci dan kuali tidak disimpan pada tempatnya. Para pembantu berbisik-bisik. “Sampai hatikah ia berbuat begitu, pada waktu saya tidak ada,” itulah pertanyaan yang timbul mengganggu Inggit.
Di dalam otobiografinya Soekarno menegaskan bahwa perasaannya pada waktu itu hanya cinta seorang ayah kepada anaknya. Soekarno menceritakan bahwa malam hari ia suka mengajak Fatmawati berjalan-jalan di tepi pantai.
Rupanya Inggit sadar bahwa ia menjadi tua dan ada anak perawan yang menerobos masuk ke dalam perkawinannya. Dia muda dan cantik. Ia mengaku bahwa dirinya termakan oleh rasa cemburu. Dua puluh tahun lamanya ia membaktikan dirinya kepada seorang lelaki sejak sebagai seorang mahasiswa yang masih hijau. Waktu ia masih mencari kesempatan untuk membuka isi hatinya kepada Soekarno. Soekarno sendiri yang membuka pembicaraan. Ketika Inggit sedang menjahit, Soekarno yang terbaring di kursi sofa tiba-tiba berkata bahwa ada sesuatu yang ingin ia bicarakan.
"Tentang Fatma,bukan?" demikian ia langsung bereaksi.
"Dari mana kau tahu,"Soekarno bertanya heran.
"Dari semua bunga di sini, dari semua daun di pohon," jawabnya.
Seokarno mendambakan anak dari darah daging sendiri. Oleh karena itu, ia ingin mengawini Farmawati tanpa menceraikan Inggit. Pembicaraan ini berkembang menjadi pertengkaran hebat, yang disaksikan oleh Riwu dan Kartika di beranda.
"Saya melihat Inggit lari dari kamar, diikuti Soekarno,” demikian Riwu bercerita.
"Bu Inggit memandang saya sejenak, lalu memeluk Kartika. Matanya basah oleh linangan air mata"
Pertengkaran pertama yang akan diikuti sekian banyak lagi. Keadaan semakin sulit ketika sepupu Soekarno menikah dengan bibi Farmawari.
Soekaro mengimbau dalam bahasa Belanda. Umur saya sudah 40 tahun. Kalau Ratna marah, ia rela dipukul. Ia tidak peduli. Yang ia inginkan hanya anak, seorang putra. Inggit, yang saat itu sudah berumur 53 tidak bisa punya anak. Namun si wanita muda ini lebih membela ibu angkatnya.
Untuk sementara persoalan itu tidak terpecahkan. Namun, bahan pertengkaran antara Soekarno dan Inggit semakin menumpuk. Pada suatu hari Hien dipanggil ke rumah Soekarno. Pasangan suami istri itu ia temui di rumah. Soekarno sedang berusaha menutup pintu dengan sebuah lemari yang ingin dibuka oleh Inggit. Dengan muka pucat Soekarno berteriak kepada Hien, bahwa istrinya menyimpan keris pusaka dengan mata beracun. Inggit mengancam akan membunuhnya, lalu akan bunuh diri.
Hien berhasil melerai, lalu mengajak Soekarno keluar rumah. Soekarno berkata kepadanya bahwa di samping keris itu, Inggit masih menyimpan senjata lain di lemari berupa dokumen-dokumen politik. Soekarno tidak menceritakan isi dokumen-dokumen tadi. Malam hari kalau ia tidak bisa tidur dan melihat suaminya sedang tidur nyenyak, Inggit membangunkannya dan dengan suara penuh sakit hati menuduhnya bahwa dirinya dibuang karena ia sudah tua dan jelek.
Namun, baik perempuan yang tua maupun si gadis sependapat dalam satu hal, bahwa keduanya tidak mau dimadu. Ketika enam bulan berlalu, situasi sudah lain sama sekali. Jepang sedang dalam perjalanan menuju Indonesia.
Fatmawati Meninggalkan Istana
Sikap Soekarno yang mudah jatuh cinta rupanya menjadi bom waktu masalah bagi Fatmawati. Sebagai first lady Indonesia yang pertama mendampingi Soekarno menjadi presiden, kisah cinta ibu negara ini berakhir tidak bahagia. Fatmawati memilih pergi meninggalkan istana merdeka tak lama setelah kelahiran putra bungsunya, Guruh Soekarnoputra.
Saat itu 13 Januari 1953, anak bungsu Soekarno dan Fatmawati lahir. Proses kelahiran Mohammad Guruh Irianto Soekarno Putra memerlukan banyak perjuangan. Bahkan Fatmawati harus banyak kehabisan darah dan dioperasi. Usai proses persalinan, Dokter menyarankan Fatmawati agar tidak mempunyai anak lagi dengan alasan membahayakan kesehatannya.
Seperti disambar petir yang menggetarkan hati, kabar dari dokter ini dibarengi dengan permintaan Soekarno meminta izin untuk menikah lagi dengan perempuan lain.
"Fat, aku mau minta izinmu, aku akan kawin dengan Hartini," ucap Soekarno yang ditulis Fatmawati.
Fatmawati tidak setuju. Karena sejak awal dinikahi oleh Soekarno, Fatmawati menolak keras poligami. Jika Soekarno berkukuh menikah, Fatmawati minta dipulangkan ke orang tuanya. Namun Soekarno tetap kekeh menikahi Hartini. Pernikahan tersebut ditentang oleh semua organisasi wanita di Indonesia waktu itu.
Hingga pada siang hari di Istana Merdeka, Fatmawati menghampiri Soekarno. Dia berniat pamit meninggalkan istana negara. Soekarno tak mengabulkan keinginan Fatmawati. Karena baginya, istana adalah rumah mereka yang harus ditinggali bersama.
"Di sini bukan rumahku, keadaan kita sekarang sudah lain," ucap Fatmawati yang ditulis dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno.
Ucapan itu ternyata kalimat perpisahan yang dilontarkan Fatmawati. Selepas mengatakan itu, tanpa keributan, Fatmawati mengucap bismilah melangkahkan kaki meninggalkan gerbang istana. Fatmawati pergi meninggalkan istana dan juga anak-anaknya yang lain. Hanya Guruh yang masih bayi yang dibawa ke rumah barunya di jalan Siliwangi, Kebayoran Baru.
Winoto Danuasmoro, sahabat dekat dan juga orang kepercayaan Soekarno menceritakan, setelah kepergian Fatmawati, Soekarno sempat meminta bantuannya untuk membujuk kembali ke istana.
“Bung Karno perlu orang ketiga lantaran Fatmawati tidak mau berbicara lagi dengannya. Namun, bujukan saya yang sudah dianggap kakak sendiri oleh Fatmawati, tak digubris,” cerita Winoto.
Dengan air mata berlinang Fatmawati meminta Winoto ikut mengawasi anak-anaknya dan juga para pengasuh agar tidak kurang apapun. (pul)