Demontrasi meriam selama perang Aceh tahun 1897. Foto dok FB
abad.id- Kolone Macan unit Pasukan Marsose berhasil mengejar dan menewaskan Sisingamangaraja XII di pedalaman Sumatera Utara. Pasukan ini juga sukses menangkap keluarga sultan Aceh dan para pimpinan perang lain seperti Panglima Polim.
Pasukan Marsose merupakan sebuah satuan militer yang dibentuk oleh tentara kolonial Hindia Belanda (KNIL) pada 2 April 1890. Korps Marsose dibentuk dengan tujuan memadamkan perlawanan gerilya yang terjadi di Aceh. Dalam istilah bahasa Inggris, Marsose juga disebut sebagai mercenaries atau yang berarti tentara bayaran. Selain itu, pasukan Marsose juga populer disebut soldier of fortune, berarti kesatuan prajurit yang disewa untuk memenangkan peperangan.
Dikutip dari buku Nino Oktorino berjudul ‘Perang Terlama Belanda: Kisah Perang Aceh 1873-1913‘, Unit Kolone Macan didirikan di Cimahi, terdiri dari prajurit pilihan yang beringas, jago berkelahi, dan bujangan. Pasukan ini mudah dikenali dengan simbol kain merah di leher. Pasukan ini disebut paling hebat Marsose Belanda, serta juga yang paling kejam. Pimpinannya tak kalah kejam, seorang perwira bernama Kapten Hans Christoffel, asal Swiss.
Kapten Hans Christoffel dikenal pemimpin kolone macan yang sukses dalam perang di Aceh dan Tapanuli. Foto Pinterest.com
Sejak dibentuk dan dididik di Cimahi, mereka prajurit pilihan diantara orang pilihan. Pasukan Marsose siap menghadapi taktik gerilya. Sang kapten, Hans Christoffel dikenal sangat tangguh. Dia sudah berkali-kali terluka selama tugas di Aceh. Salah satu luka yang berkesan saat peluru menyerempet kepala, serta ibu jari putus ditebas pedang prajurit Aceh.
Sementara itu perang Aceh dan Belanda meletus pada 1873. Awalnya, Belanda beranggapan akan sangat mudah menaklukkan Kesultanan Aceh. Akan tetapi, hingga awal 1880, Aceh masih kuat bertahan. Bahkan Belanda justru banyak menampung kerugian dan dikepung oleh pasukan gerilya Aceh. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh pasukan Aceh untuk melakukan serangan taktis yang nantinya berdampak besar bagi Belanda.
Belanda sudah menerapkan beberapa strategi untuk melawan pasukan Aceh. Strategi awal yang digunakan disebut gecocentreerde linie atau pola bertahan yang konvensional. Namun, karena strategi itu tidak membuahkan hasil, Belanda mengirim seorang antropolog bernama Snouck Hurgronje untuk menganalisis masyarakat Aceh. Setelah hidup bersama masyarakat Aceh dan mendapat cukup banyak infromasi, Hurgronje menyarankan Belanda untuk menghantam kaum ulama.
Belanda dianjurkan untuk tidak berunding dengan para pemimpin gerilya. Siasat Hurgronje pun diterima oleh gubernur militer dan sipil Belanda di Aceh, JB van Heutsz. Selanjutnya, kepala kejaksaan di Kutaraja dan juga keturunan Minangkabau bernama Mohammad Syarif, mengusulkan untuk membentuk pasukan khusus guna menghadapi gerilyawan Aceh. Usulan ini disampaikan kepada Gubernur Militer Belanda, Jenderal van Teijin, dan Van Heutsz. Keduanya lantas membentuk unit-unit tempur kecil, yang kemudian dimatangkan dan diberi nama Korps Mareschausse atau lebih dikenal dengan Marsose. Pasukan Marsose unit Kolone Macan dibentuk pemerintah Belanda untuk menghadapi Aceh beranggotakan masyarakat pribumi.
Metode Kolone Macan dalam menghadapi penduduk dikenal sanat sadis. Mereka akan mendatangi suatu desa, menandai rumah yang prianya sedang tak ada. Keesokan harinya, mereka kembali. Jika si penghuni rumah tak memberikan jawaban yang memuaskan, mereka langsung ditembak mati di depan rumahnya.
Hans Christofell sebagai pemimpin unit kolone macan sangat mahir berkelahi dan beringas. Cara kerja unit Kolone Macan sendiri dianggap lebih kejam dibanding Marsose. Pasalnya, mereka berani melakukan eksekusi di tempat hingga dianggap terlalu berlebihan. Maka dianggap tepat diterjunkan dalam Perang Aceh melawan gerilyawan. Sejak diterjunkan ke medan perang pada 1890, pasukan ini dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba untuk mengejar para gerilyawan Aceh. Salah satu tokoh besar Aceh yang berhasil dikalahkan oleh pasukan Marsose adalah Teuku Umar.
Awalnya pejuang Aceh Teuku Umar sempat berpura-pura menyerah agar bisa menyerang balik Belanda. Akan tetapi, Belanda, yang sudah lebih dulu mempersiapkan pasukan Marsose, berhasil menyerang Teuku Umar dari dua arah. Teuku Umar pun berhasil dilumpuhkan dan gugur pada 1899.
Untuk menghadapi para pejuang Aceh lain, Kolone Macan tak kalah cerdiknya. Mereka melacak isteri dan anak para pejuang, dan menjadikan mereka sandera, sehingga memaksa banyak pejuang menyerah. Pembunuhan dan pembersihan Kolone Macan harus benar-benar singkat dan tuntas. Meskipun banyak perwira anggota masih mempunyai hati tidak tahan, dan meminta dipindahkan ke unit Marsose biasa.
Sukses besar pasukan ini saat 24 September 1910, berhasil mengendus dan menewaskan Pan Nanggroe di rawa-rawa Paya Picem. Pan Nanggroe adalah suami Cut Meutia. Beruntung, Cut Meutia berhasil lolos dari maut. (pul)