Di alun-alun utara Yogjakarta ini seringkali diadakan aneka macam acara mengundang banyak orang. Foto raskitatrans.com
abad.id- Amangkurat I dikenal sultan yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Dapat dilihat dalam berbagai politik dan tindakannya. Salah satu contohnya, membunuh seluruh pengawal adiknya, Pangeran Alit, dan keluarganya. Peristiwa itu terjadi hanya karena muncul selentingan (kabar burung) bahwa Pangeran Alit akan membunuh Amangkurat I ketika menerima para pengadu di alun-alun. Setelah semua pengawal dan keluarga Pangeran Alit dibunuh, Amangkurat I kemudian memerintahkan agar Pangeran Alit juga dibunuh.
Ketika mayat sang adik tergeletak di alun-alun, Amangkurat berusaha tampak berduka sambil lalu merancang kekejaman lain berdasarkan peristiwa tersebut. Dan, Amangkurat I kemudian mengumumkan bahwa kematian adiknya adalah akibat hasutan kalangan ulama. Amangkurat I pun menyuruh mendaftar semua ulama yang dicurigai beserta sanak keluarga mereka. Sekitar 6.000 orang ulama dan keluarganya dikumpulkan di alun-alun Pleret dan dalam 30 menit semua dibunuh tanpa sisa.
Itulah gambaran dari sifat kejam Amangkurat I. Bahkan, kekejaman Amangkurat I juga menimpa kakeknya sendiri, Pangeran Purbaya, yang dibunuh atas perintahnya. Amangkurat I juga membunuh satu per satu para sesepuh Mataram, padahal mereka dulunya adalah teman-teman ayahnya Sultan Agung. Amangkurat I juga membunuh semua orang yang dicurigai menentangnya, baik di dalam istana maupun di luar istana (di seluruh wilayah kerajaan).
Beberapa orang dekat yang menjadi korban ketidakadilan salah satunya Tumenggung Wiraguna. Tumenggung Wiraguna merupakan seorang pejabat senior yang di masa Sultan Agung menjabat sebagai patih Mataram. Ia adalah orang pertama yang disingkirkan oleh Amangkurat I. Padahal, ia termasuk orang yang mendukung Amangkurat I naik tahta. Mengapa Amangkurat I sampai tega (membunuh) orang yang berjasa kepadanya?. Ternyata, alasan di balik pembunuhan terkait dengan masa lalu. Bahwa Amangkurat I (sewaktu menjadi Adipati Anom) pernah bermain serong dengan selir Tumenggung Wiraguna. Karena scandal itu, ttumenggung melapor ke Sultan Agung. Dampaknya Amangkurat I dihukum ayahnya selama tiga tahun tidak boleh bertatap muka.
Karena masalah ini, Amangkurat I masih punya dendam kepada Tumenggung Wiraguna. Upaya menyingkirkan Tumenggung Wiraguna dengan berpura-pura baik. Ia terlebih dahulu menaikkan jabatan sang tumenggung. Kemudian, mengutus Tumenggung Wiraguna dalam ekspedisi Blambangan. Di sanalah, di tempat yang jauh dari keluarga, Tumenggung Wiraguna kemudian dibunuh. Setelah dibunuh, Amangkurat I kemudian menghabisi seluruh keluarga Tumenggung Wiraguna di Mataram.
Korban lain Pangeran Alit, adik dari Amangkurat I. Seluruh pengawal, pengikut, dan keluarga termasuk Pangeran Alit sendiri ditumpas habis. Pangeran Alit melakukan perlawanan pada tahun 1647. Sebenarnya, pemberontakan Pangeran Alit timbul sebagai akibat hasutan Tumenggung Pasisingsingan. Mereka menghasut Pangeran Alit agar menjadi raja dan memberikan jaminan separuh rakyat Mataram
Jauh sebelumnya, Sultan Agung ayah dari Amangkurat I juga menerapkan hukum yang tegas terhadap rakyatnya. Raja mataram ini pernah menghukum para panglima perang yang gagal dalam misi menyerang Batavia. Salah satunya Adipati Ukur dan pasukannya yang sempat bersembunyi di kawasan Gunung Lumbung. Pembangkangan Adipati Ukur ini karena misi gagal dan takut kembali ke Mataram. Tempat persembunyiannya dilaporkan oleh seorang panglima Mataram kepada Sultan Agung.
Sontak penguasa Mataram saat itu marah besar, ia mengutus pasukannya untuk mencari Adipati Ukur dan menangkapnya. Pasukan Mataram pun berangkat menuju Gunung Lumbung sebagaimana laporan intelijen Mataram,
Perang pun terjadi saat pasukan Mataram bertemu dengan pasukan Adipati Ukur di Gunung Lumbung. Hingga akhirnya Adipati Ukur dapat ditangkap dan dibawa ke Cirebon pada tahun 1632. Dari Cirebon inilah Adipati Ukur dibawa ke Mataram untuk dihadapkan ke Sultan Agung. Dikarenakan sudah murka, Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati dengan cara dipenggal kepalanya di alun – alun utara.
Sudah banyak pelaksanaan hukuman menurut hukum Islam di Alun-alun utara. Eksekusi di tempat terbuka ini baru berakhir tahun 1920-an, setelah Belanda mengganti dengan sistim peradilan pemerintahan Kolonial. Dalam buku Jogja Hidden Story tulisan @mbahK.Jogja menggambarkan, pelaksanaan hukuman di Alun-alun merupakan hukuman eksekusi yang dilakukan dengan dasar hukum syariat Islam dan dilaksanakan di depan khalayak umum. Hukuman ini hanya diberikan bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran hukum berat. Dilakukan di depan umum karena dianggap dapat memberi efek jera, sehingga tidak ada lagi yang mencoba berbuat melawan hukum. Boleh dikatakan pada waktu itu sangat jarang masyarakat yang berbuat kriminal.
Beberapa hari sebelum pelaksanaan hukuman eksekusi di alun-alun utara, petugas keraton membuat tempelan di lokasi-lokasi strategis yang kiranya bisa dibaca oleh masyarakat. Selain pengumuman dengan media tempel, petugas keraton juga menyebarkan pengumuman secara lisan. Hukuman eksekusi mati, baik hukum pancung ataupun hukuman gantung dilakuikan pada hari Jum'at sehabis ibadah sholat Jum'at.
Terpidana mati kaum laki-laki diwajibkan melaksanakan Sholat Jum'at terlebih dahulu. Proses hukuman gantung, disiapkan tiang setinggi 4 meter. Biasanya terpidana mati ditutup matanya, walaupun ada juga terpidana mati yang meminta untuk tidak ditutup matanya. Sedangkan eksekutor memakai cadar dan hanya kelihatan matanya saja.
Eksekutor hukuman gantung dulu dikenal dengan nama abdi dalem Mertolulut, sedangkan untuk hukuman penggal kepala oleh abdi dalem Singojaya. Untuk hukuman gantung, tersangka yang sudah dihukum mati, jenazahnya digantung hingga menjelang sore hari. Sedangkan hukuman penggal, kepala yang dipenggal dibiarkan menggelinding lalu dimasukkan ke dalam wadah semacam keranjang. Hukuman berat tersebut berlaku bagi para pembangkang, koruptor atau pengemplang pajak atau upeti, pelaku pembunuhan, perampok atau begal. Sedangkan pelaku pencurian, biasanya dipotong tangannya.
Namun banyak rakyat yang menganggap hukuman tersebut kejam dan bengis. Apalagi beberapa vonis hukuman didasari kepentingan raja secara mutlak, tanpa melewati keputusan hakim secara adil. Tidak heran bila rakyat tidak menyukai keputusan raja ini. Bukannya jera, warga wilayah pesisir mulai melakukan memberontak dan ingin melepaskan diri dari Mataram. (pul)