images/images-1676965888.png
Tokoh

Kematian Bisu Tan Malaka (1)

Pulung Ciptoaji

Feb 21, 2023

649 views

24 Comments

Save

abad.id- Kematian Tan Malaka tak pernah dipublikasikan, dan terus menyisakan misteri. Demikian pula dengan kematian kedua puluh orang pemuda kawan-kawan sekaligus pengawalnya selalu ditutup rapat. Kematian mereks telah menjadi teka teki yang tidak diketahui dengan pasti, siapakah aktor pelaku, dan siapa yang memerintah. Lebih detail lagi kapan Tan Malaka dieksekusi, dan dimana jasadnya dikuburkan.

 

Dalam buku Misteri pembunuhan Tan Malaka tulisan Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono meyakini ada beberapa versi yang menggambarkan tentang kronologi kematian Tan Malaka. Versi pertama, sebelum dieksekusi mati, Tan Malaka diburu oleh TNI. Setiap wilayah diperintahkan agar dilakukan penyusuran  untuk menemukan buronan negara. Pada awal tahun 1949, pasukan yang diberi perintah untuk memburu Tan Malaka, akhirnya berhasil melacak tempat persembunyian Tan Malaka di Pace, Jawa Timur.

 

Tentara Nasional Indonesia segera melakukan penyergapan dengan hasil sangat mudah. Tan Malaka beserta kelompoknya berhasil ditangkap. Namun tidak lama kemudian, TNI yang masih di lokasi penyergapan, mendapatkan informasi bahwa wilayah utara Pace,  akan diserang oleh Belanda. Pasukan ini diminta untuk ditarik mundur, karena tentara di utara Kediri memerlukan bantuan untuk menghalau serangan tentara Belanda.

 

Dengan mempertimbangkan menghalau pasukan Belanda lebih penting daripada menangkap Tan Malaka yang sudah pasti mudah untuk diburu kembali, maka TNI melepas Tan Malaka bersama pengawalnya.  Mereka beranggapan pasukan Belanda yang menyerang wilayah utara memiliki persenjataan yang jauh lebih lengkap. Sehingga membutuhkan tambahan pasukan untuk memperkuat “benteng" pertahanan. “Faktor lain yang menjadi pertimbangan melepaskan Tan Malaka, belum adanya perintah eksekusi mati dari atasan. Inilah alasan kenapa Tan Malaka dilepas meskipun sudah ditangkap”.

 

Setelah dilepaskan, Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka melanjutkan perjalanan melarikan diri mengikuti arah Sungai Brantas di Desa Mojo, Kabupaten Kediri. Di area inilah pasukan terlatih menemukannya kembali. Tan Malaka beserta pengikutnya diserang dan ditembaki secara membabi buta oleh sekelompok tentara bersenjata lengkap.  Setelah ditembaki, jasad Tan Malaka yang berlumuran darah tidak dikubur layaknya manusia normal, melainkan dibuang begitu saja ke aliran Sungai Brantas.

 

Meskipun eksekusi Tan Malaka dirahasiakan, namun masih muncul kabar yang menceritakan pria berdarah Minang tersebut. Dalam kabar yang berhembus itu, eksekusi diperintah langsung Letnan Kolonel Surachmat (saat itu menjabat sebagai kepala staf) dan Kolonel Sungkono (selaku Panglima dan Gubernur Jawa Timur). Pembunuhan terhadap Tan Malaka beserta pasukan pemuda yang mengawalnya, dilakukan pada tanggal 19 Februari 1949.

 

 

Sebagian referensi menyebutkan jasad Tan Malaka dibuang di aliran sungai oleh Tentara Nasional Indonesia setelah dieksekusi mati. Foto dok net

 

 

Ada versi lain yang menyebutkan Tan Malaka yang lolos dari penyergapan memilih melanjutkan perjalanan ke arah Selapanggung, Kediri. Di wilayah inilah Tan Malaka ditemukan dan kemudian dijadikan tawanan Tentara Nasional Indonesia langsung di bawah pengawasan ketat. Sebagai tawanan dengan tangan terikat, kemudian dieksekusi mati. Ia dikuburkan dengan tangan masih terikat ke belakang. Sementara ada jasad lain yang dibuang ke aliran Sungai Brantas. Dipastikan jasad tiga orang yang hanyut itu para pengawal yang setia menemani dalam masa pelariannya.

 

Masih menurut Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono, versi keempat, Datuk Tan Malaka dianggap sering berselisih pendapat mengenai kedaulatan Negara Republik Indonesia. Mengakibatkan ia ditangkap dan masuk penjara selama dua tahun. Pada  bulan September 1948 ia dibebaskan dari dalam penjara oleh kabinet Hatta. Alasan mengapa Tan Malaka dibebaskan, pengadilan tidak dapat membuktikan kesalahan yang diperbuat Tan Malaka. Namun, ada yang mengatakan alasan lain, karena Tan Malaka dipercaya dapat menjadi kekuatan penyeimbang Musso yang baru datang dari Moskow.

 

Hubungan antara Tan Malaka (yang dituduh sebagai seorang Troskis) dan Musso (dari garis Stalinis) tidak sedang baik-baik saja. Pertentangan yang terjadi diantara keduanya dimulai sejak ketidak setujuan Tan Malaka terhadap Konfrensi Prambanan yang kemudian menyebabkan terjadinya pemberontakan PKI tahun 1926.

 

Benar saja, ketika Tan Malaka dibebaskan, langsung menentang kebijiakan yang dirumuskan oleh Musso. Kebijakan Muso itu membentuk negara kumunis dan melakukan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Beruntung pemberontakan itu gagal setelah ditumpas TNI. Tan Malaka kemudian mendirikan organisasi pergerakan berbasis marxis yang diberinama Partai Murba. Namun partai ini belum sempat berkembang, sebab selama agresi militer belanda Tan Malaka memilih bergerilya di Kediri.

 

Saat itu awal tahun 1949, markas Tan Malaka di Pace, disergap oleh TNI. Namun, Tan Malaka bersama kawan-kawannya dilepaskan karena ancaman serangan dari Belanda. TNI lebih sibuk untuk menghalau Belanda ketimbang harus mengurusi Tan Malaka. Kemudian Tan Malaka melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam pelariannya tersebut, Tan Malaka membagi rombongan menjadi empat kelompok agar tidak mudah diburu. Tan Malaka dan empat orang pengikutnya pergi ke Tulungagung, dengan harapan masih ada Batalion TNI lain yang bersimpati. Untuk menuju Tulungagung kelompok Tan Malaka ini harus melewati lereng Gunung Wilis.

 

Setelah dua hari berjalan, mereka disergap di suatu desa kecil bernama Selopanggung. Saat itu tanggal 21 Februan 1949, lebih dari selusin pasukan terlatih (atau sekitar 50 prajurit) dipimpin Letnan Kolonel Surachmat, Letnan Dua Soekotjo dan Abdul Syukur datang ke desa tersebut ikut mengepung. Menghadapi TNI bersenjata lengkap, pengawal Tan Malaka tidak dapat berkutik, dan akhirnya dengan mudah dapat dilumpuhkan oleh TNI Batalion Sikatan bagian Divisi Brawijaya ini.

 

Dalam proses penangkapan ini, Tan Malaka beserta pasukan pengawalnya diperlakukan sebagai pengkhianat bangsa, dengan hukuman ditembak mati. Eksekusi mati terhadap Tan Malaka dan pasukan pemuda dilakukan di lereng Gunung Wilis, tepatnya Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, Kecamatan semen, KabupatenKediri. Eksekusi tersebut atas perintah dan dipimpin langsung oleh Letnan Dua Soekotjo kepada Suradi Tekebek.

 

Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono juga mengutip pendapat Harry Albert Poeze, seorang peneliti asal Belanda. Menurut  Harry Albert Poeze, eksekusi mati Tan Malaka perintah dari Soekotjo. “Terakhir, Soekotjo berpangkat Brigjen, ia wafat pada 1980 an. Diduga atas keberaniannya melakukan eksekusi mati Tan Malaka, ia mendapatkan hadiah naik jabatan,” kata Harry Albert Poeze.

 

Penembak Tan Malaka anak buahnya bernama Tekebek. Menurut Harry Albert Poeze, eksekusi Tan Malaka dilakukan atas inisiatif Soekotjo sendiri, bukan merupakan perintah dari atasannya, Hendrotomo atau Soerachmat. Meskipun ada garis komando di antara mereka.

 

Harry Albert Poeze berpendapat, Soerachmat dan Hendrotomo adalah orang yang memposisikan diri sebagai pendukung ideologi kanan (kapitalisimperialisme) dan sangat membenci semua ideologi yang bergaris revolusioner kiri komunis, entah itu dari garis Stalin maupun Trotsky.

 

Berangkat dari sinilah, ketika mereka mengetahui bahwa Soekotjo telah melakukan eksekusi terhadap Tan Malaka tanpa komando. Mereka menilainya bukan sebagai bentuk perbuatan yang kurang ajar dari bawahannya. Tetapi merupakan suatu perbuatan yang sudah seharusnya dilakukan oleh Soekotjo tanpa menunggu instruksi dari mereka. “Intinya Soerachmat dan Hendrotomo mengamini perbuatan Soekotjo yang telah membinasakan Tan Malaka,” catatan Harry Albert Poeze.

 

Sementara itu berbeda dengan prinsip Soerachmat dan Hendrotomo. Sebenarnya Letnan Dua Soekotjo seorang militer yang tidak bisa membedakan antara komunis garis Stalin  dan garis Trostky. Dipikirnya semua orang komunis pro terhadap berbagai pemberontakan PKI Madiun. Padahal yang harus diperangi adalah PKI garis Stalin yang sudah beberapa kali mengobarkan pemberontakan. Sedangkan komunis yang tidak pro terhadap pemberontakan tidak perlu untuk diperangi. ”Bisa jadi Soekotjo saat itu berada dalam situasi tidak bisa membedakan mana PKI garis Stalin dan orang-orang komunis yang tidak setuju terhadap pemberontakan,” tambah Harry Albert Poeze.

 

atau alasan lain, Soekotjo merasa apabila tidak membunuhnya terlebih dahulu, maka orang-orang komunis itu yang akan terlebih dahulu membunuhnya. Dalam keadaan pikiran yang kacau itulah Soekotjo mengambil langkah sendiri membunuh Tan Malaka. “Yang Soekotjo rasakan pada saat itu Tan Malaka adalah orang berbahaya, titik”. (pul)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022