images/images-1676772556.png
Sejarah
Riset
Indonesiana

Cerita Pensiunan Wapres Tak Cukup Untuk Bayar Listrik

Pulung Ciptoaji

Feb 19, 2023

610 views

24 Comments

Save

abad.id- Sudah berbulan-bulan Rahmi menabung karena ingin membeli mesin jahit. Namun keinginan itu terpaksa dibatalkan. Sebab tahun 1950an, Bung Hatta saat masih menjadi wakil presiden, berpegang teguh pada prinsipnya tidak menceritakan kepada siapa, termasuk kepada sang istri. Tiba-tiba melakukan kebijakan pemotongan uang. Tentu keputusan ini membuat uang yang ditabung lama menjadi lebih kecil nominalnya.

 

Sebagai istri, Rahmi sangat wajar jika kecewa kepada kebijakan suaminya. Hatta segera menjelaskan bahwa sebagai pejabat, harus mengutamakan kepentingan negara dari kepentingan keluarga.

 

Prinsip hidup Bung Hatta yang jujur dan sederhana itu punya resiko besar bagi keluarga. Saat Bung Hatta memutuskan mengundurkan diri, Rahmi harus bersiap menjalani hidup prihatin dari uang pensiun yang tidak seberapa. Tambahan lain untuk mencukupi biaya hidup dan sekolah anak-anak dari honor Bung Hatta mengajar serta menulis di bebeapa media. Belum lagi kegiatan Bung Hatta sebagai vigur yang masih disegani banyak kalangan, sehingga rumahnya tidak pernah sepi dari tamu dan kolega. Untuk menjamu tamu ini, tentu butuh biaya tidak sedikit. Pernah suatu ketika secara guyon Rahmi mengusulkan, "Ayah, mengapa kita tidak meletakkan saja sebuah kotak tempat meletakkan uang, agar tamu-tamu yang datang menyumbang ala kadarnya untuk jamuan mereka."

 

Bung Hatta langsung menanggapi secara serius. Rupanya ia marah. Menghadapi masa sulit ini, Rahmi masih bisa guyon, sementara bagi Bung Hatta selalu serius menanggapi suatu problem. Namun semua bisa diselesaikan dengan cara yang unik.

 

Contohnya seperti ini, sebagai pensiunan Wapres, gaji Bung Hatta tidaklah besar. Bahkan jauh lebih kecil dari rekening tagihan listrik rumah mereka di Jalan Diponegoro 57 Jakarta. Pada suatu saat timbul ide Bung Hatta dengan menulis surat kepada pemerintah daerah. Pada waktu itu Jakarta dipimpin Gubernur Ali Salikin. Surat sudah dikirim, isinya permintaan agar mulai bulan ini, pembayaran listrik langsung dipotong saja dari uang pensiun sebagai Wapres. Tak lupa pula dilampirkannya copy slip pensiunnya dan rekening listrik.  Tanpa disangka, tanggapan dari Gubernur Ali Salikin menggembirakan. Sejak saat itu, rumah Hatta dibebaskan dari membayar listrik. Pemerintah daerahlah yang membayarkan.

 

Bersama anak dan cucu, Rahmi berjiarah ke makam Bung Hatta. Foto dok femina

 

Masa sulit dilewati keluarga sang proklamator saat peristiwa dekade 60an. Saat itu menjelang Gestapu, ketika komunis sangat berpengaruh di Jakarta. Kehidupan Hatta sekeluarga seperti di atas bara api. Suasana menjadi mencekam, sebab semua tingkah laku keluarga Hatta dimata-matai. Peristiwa apapun di Jalan Diponegoro 57 Jakarta, selalu jadi perhatian. Bahkan semua tamu yang mampir ikut dicurigai. Tak jarang orang yang dicurigai lalu diinterogasi. Mereka ditanyai untuk apa datang menemui Bung Hatta dan apa saja yang dibicarakan. Atas situasi itu, Rahmi tidak mengeluh. Rahmi mengatakan “Biar saja, kita toh tidak berbuat apa-apa.” Sikapnya yang tenang turut mempengaruhi suasana rumah menjadi nyaman.

 

Puncak kegetiran itu saat Bung Hatta meninggal di tahun 1980. Peristiwa yang sangat bersejarah di keluarga itu hingga digambarkan Raharty Subijakto, adik kandung Rahmi Hatta dengan penuh ketabahan. "Tak ada air mata setetes pun. Sejak masih di rumah sakit, hingga setelah tiba di rumah. Ketika mendengar bahwa Bung Hatta meninggal, dengan berlari-lari kecil saya menghampiri ruang ICU (intensive care unit) sambil berurai air mata. ·Tapi di muka ruang ICU saya melihat mbakyu berdiri dengan tegar,” kata Raharty Subijakto.

 

Dari matanya masih tertangkap kesedihan yang dalam, namun yang terdengar dari mulutnya hanyalah desahan halus 'het is beter zo' (lebih baik begini). “Saya jadi terharu. Tangis saya tahan. Saya tak berani mendekatinya. Saya takut tak bisa menahan emosi dan menggoyahkan ketegaran hati kakak. Dia nampak begitu kuat dan pasrah." Tambah Raharty Subijakto.

 

Namun ada saat Rahmi tak kuasa menahan emosinya. Saat itu cucu pertamanya, Sri Juwita Hanum meninggal dunia. Rahmi menangis tersedu. Dia tak bisa merelakan kepergian cucunya ini. "Saya tidak rela. Mengapa Hanum, dia masih kecil. Saya juga mau ikut," tangis Rahmi.

 

Hati Rahmi menjadi tenang setelah dipeluk Raharty Subijakto. Kemudian bersama Ibu Maramis dan Ibu Syahrir teman baiknya menggelar doa bersama. “Waktu tamu-tamu mulai berdatangan untuk menyatakan turut berduka-cita, mbakyu sudah nampak tenang kembali," tutur Raharty.

 

Bagi keluarga, Rahmi memang dikenal punya kesan sangat pandai menahan perasaan. "Begitulah sejak masa gadisnya, sehingga tak jarang nampak seperti orang yang dingin." Tambah Raharty Subijakto. (pul)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022