images/images-1684476709.jpg
Sejarah
Riset

Sejarah PT PAL, di Jaman Jepang Juga Memproduksi Senjata

Pulung Ciptoaji

May 19, 2023

938 views

24 Comments

Save

Galangan kapal diresmikan pemerintah Belanda pada 1939 dengan nama Marine Establishment (ME). Foto istimewa

 

abad.id- PT PAL merupakan perusahaan galangan kapal pelat merah yang pernah memproduksi senjata. Perusahaan galangan kapal terbesar se Asia ini pernah memproduksi ribuan kapal modern dengan berbagai ukuran sejak didirikan. Bahkan kini PT PAL menjadi industri manufaktur kebanggaan bangsa, sebab berhasil memproduksi kapal perang pesanan berbagai negara.

 

Berdirinya PT PAL ini tidak lepas dari tangan dingin Gubernur Jendral Van Der Capellen. Pria kelahiran 1778 ini saat menjabat membentuk komisi yang bertugas menyelidiki tempat dan sarana yang tepat untuk mendirikan industri perkapalan.

 

Tujuannya menunjang Armada Laut Kerajaan Belanda di wilayah Asia. Sejak tahun 1822 observasi mulai dilakukan. Merujuk hasil penelitian komisi tersebut, Van Der Capellen menetapkan kawasan Ujung, Surabaya sebagai daerah yang memenuhi syarat untuk mendirikan industri perkapalan.

 

Galangan kapal terus dikembangkan dan disempurnakan. Foto istimewa

 

Peneliti sejarah Wenri Wanhar dalam buku Jejak Intel Jepang menyebutkan, memasuki 1849, wujud nyata proyek tersebut mulai berkembang. Di kawasan Ujung sudah ada sarana perbaikan dan pemeliharaan kapal. Seiring berjalannya waktu, sesuai dengan kemajuan teknologi pada masa itu, galangan kapal itu terus dikembangkan dan penyempurnaan.  

 

Setelah benar-benar rampung, galangan kapal diresmikan pemerintah Belanda pada 1939 dengan nama Marine Establishment (ME). ME merupakan galangan kapal terbesar di Asia pada masanya.

 

Di masa kejayaannya,  ME memiliki pekerja sebanyak 6.000 orang. Lebih dari separuhnya pribumi. “Orang Indonesia yang bekerja di sana 5000-an. Orang Belanda tak banyak, cuma kepala-kepalanya saja,” kenang Affandi salah satu  pekerja ME generasi awal.

 

Menurut cerita Affandi, jabatan tertinggi orang Indonesia di ME adalah Opsiter Kelas I, antara lain dijabat Supono. Bagian Kapal dijabat Susilo. Bagian Administrasi yang tertinggi Komisi I yang dijabat Moh. Harun dan dirinya Affandi sendiri di Komisi Kelas III.

 

“Pekerjaan yang dilakukan di ME meliputi reparasi kapal, mengadakan percobaan instrumen-instrumen atau alat-alat kapal seperti foto-foto teleskop dan persenjataan yang agak komplet,” papar Affandi.

 

Pada awal perang dunia kedua, ME masih beroperasi sebagaimana biasanya. Nah, baru memasuki 1942, cerita tentang perjuangan para karyawan ME dimulai. Saat itu beredar desas-desus rencana kedatangan Jepang. Ini sangat mengkhawatirkan. “Propaganda yang diembuskan, Belanda akan menutup ME sebelum Jepang mauk,” tulis buku Jejak Intel Jepang.

 

Nah, ketika Belanda menutup ME pada awal 1942, Orang-orang Indonesia yang bekerja di sana tidak ada yang diperbolehkan keluar. Pemerintah Hindia Belanda hendak mengevakuasi pekerja-pekerja itu ke Australia.

 

Dari Ujung, pekerja-pekerja ME diangkut naik bus ke pelabuhan Cilacap dan kemudian diberangkatkan dengan kapal ke Australia. “Saya termasuk. Tetapi, saat akan berangkat, saya meloncat,” kenang Affandi.

 

Ternyata evakuasi pemerintah Hindia Belanda di Ujung tidak berjalan lancar. Hanya sebagian pekerja yang berhasil diberangkatkan. “Hanya satu kapal. Sebagaian besar tidak bisa berangkat karena telat. Jepang sudah keburu datang,” sambung Affandi.

 

Pada jaman Jeoang, ME bukan sekadar bengkel atau galangan kapal saja. Namun meliputi keseluruhan. Termasuk memproduksi senjata untuk persiapan penyerbuan ke Australia. Foto Istimewa

 

Kemudian ME galangan kapal terbesar di Asia berhasil diambil alih Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, peranan ME tidak berubah. Hanya namanya diganti menjadi Nagamatsu Butai. Nama itu digunakan selama empat bulan pertama. Selanjutnya diganti lagi menjadi Kaigunse 21-24 Butai.

 

Jumlah pekerja justru ditambah hingga 9.000 orang. “ Pada pemerintahan Jepang,  Direktur 21-24 Butai bernama Meringa,” ungkap Affandi.

 

Ing Wibisono, kawan sejawat Affandi menyatakan, bahwa ME merupakan bengkel kapal terbesar di Asia pada masa itu. “Itu bukan sekadar bengkel atau pun galangan kapal saja. Namun meliputi keseluruhan. Saat zaman Jepang, kapal selam juga mangkal di situ."

 

Pada suatu sore, petugas Angkatan Laut Jepang meminta Affandi mendirikan Hokokai SE 21/24 Butai di Ujung. Mereka akan mendapat pelatihan militer semacam Peta (Pembela Tanah Air) dengan nama Hokodan.

 

Satu kelompok yang ikut berlatih jumlahnya 300 orang. Kegiatan latihan selama dua minggu. Selama mengikuti pelatihan, peserta menginap di Asrama Sidotopo, Surabaya. “Mereka mendapat gaji dan makan tiga kali sehari. Setelah dua minggu mereka dipulangkan dan datang lagi kelompok berikutnya dengan jumlah yang sama,” kenang Affandi.

 

Pelatihan itu terus menerus dilakukan hingga 10 periode sehingga lengkap memiliki 3.000 orang terlatih.

 

Suasana di Ujung, di galangan kapal terbesar di Asia itu berubah lagi ketika Jepang kalah di tangan sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

 

Affandi lantas mengorganisir para pekerja hingga mendirikan PAL. PAL merupakan singkatan dari Penataran Angkatan Laut. Organisasi ini didirikan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh bekas pekerja galangan kapal terbesar di Asia, yang berlokasi di Ujung, Surabaya. (pul)

 

 

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Peradapan Kuno Dari Kepuhklagen Gresik

Author Abad

Oct 03, 2022

Hakikat Qurban dan Sejarahnya

Malika D. Ana

Jul 01, 2023

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori #3

Author Abad

Mar 11, 2023