Ruben Verkuylen, The Social Lover dalam karya kolaborasi dengan Hannah Pezzak dan Elinah Tapio
Penulis : Endang Pergiwati
abad.id- Musik eksperimental makin mengemuka di era digital saat ini. Warna musik ini yang tidak terikat pada alat musik tertentu ini menjanjikan ruang kreativitas dan penjelajahan imajimasi yang, bukan hanya lebih luas, namun juga tak terbatas.
Perdebatan kritikus, akademisi maupun para musisi tentang keberadaan dan wacana musik eksperimental yang telah dimulai sejak tahun 1950an, kini tidak lagi terdengar nyaring. Di sisi lain, kalangan pencipta maupun penikmat genre musik ini justru makin meluas, tidak hanya oleh beberapa kelompok musisi yang ‘seolah’ menolak dan membongkar aliran musik konvensional (baca: yang sudah ada), namun juga oleh mereka yang masih ‘menikmati’ musik konvensional.
Beberapa bentuk yang mungkin dapat dikatakan sebagai karakteristik dari genre musik ini adalah adanya alat musik yang baru, atau sumber bunyi belum pernah dipergunakan sebelumnya sebagai alat musik. Karakteristik atau ciri utama inilah yang melahirkan bentuk, warna, interval maupun frekuensi bunyi yang baru.
Musisi asal Swiss, Simon Berz, yang pernah menggelar pertunjukkan musik eksperimental di 5 kota di Indonesia, pada Februari lalu, menggunakan batu kuno dan kondom sebagai instrument musik. Wukir, musisi asal Indonesia, bahkan menciptakan instrument baru yang dapat dipetik, dipukul maupun digesek, dan Joko Porong menggunakan plastik sebagai sumber bunyi utama.
Sementara pergeseran perangkat ke dalam bentuk digital pun memberi pengaruh yang sangat besar dalam musik eksperimental. Perangkat digital elektronik banyak dimanfaatkan sebagai instrument utama dalam penciptaan musik eksperimental. Seperti yang dilakukan Jonas Sestakresna, musisi yang bermukim di Bali, serta banyak musisi eksperimental lainnya.
Demikian pula Ruben Verkuylen, musisi asal Belanda ini menggunakan perangkat digital elektronik dalam proses kreatifnya. Dalam salah satu musik yang digarap dalam kolaborasi bersama Hannah Pezzak dan Elinah Tapio ini, ia mengatakan, tidak menciptakan keseluruhan musiknya, namun ia meramu beragam musik dan efek suara. “Seperti DJ (disc jockey), saya memilih dan memutar satu musik, dilanjutkan dengan musik yang lain, ditambah dengan efek suara manusia, lalu menyajikan hasilnya,” tutur Ruben.
Bukan hanya musik atau lagu yang sudah ada, yang kemudian diolah dan diramu dalam komposisi yang baru, namun juga sumber bunyi yang berbeda juga disatukan dalam komposisi tersebut. Misalnya desahan, teriakan, lengkingan, serta segala macam bunyi dari mulut manusia, bisa menjadi sumber bunyi musik eksperimental.
Secara pribadi, Ruben mengapresiasi musisi eksperimental. “Mereka bereksperimen dengan tekstur sonik tertentu, dengan narasi yang kontras. Sebuah analogi cerita yang pas , di mana setelah momen gelap, mungkin aka nada sedikit cahaya,” tambahnya.
Dikatakan pria muda berusia 36 tahun ini, proses memilih musik dan menyatukannya inilah yang menjadi proses kreatifnya. “Sebagaimana DJ, yang lebih pada mengumpulkan dan membuat cerita soniknya, proses itu bisa kreatif, seperti dari mana Anda mendapatkan musik, cerita apa yang ingin Anda ceritakan, dan pengalaman seperti apa yang bisa Anda hasilkan dengan bercerita,” tuturnya.
Namun ia juga mengungkapkan adanya fase perpindahan musik yang mungkin tak terduga (unpredictable) ini juga sangat menginspirasinya dalam berkarya. “Seperti sebuah film, yang tidak bisa diduga bagaimana kelanjutannya, dan setiap adegannya merupakan bentuk yang benar-benar bisa berbeda,” ucapnya menjelaskan.
Dalam salah satu ‘mixing’ musik berdurasi nyaris dua jam ini, Ruben bersama 2 DJ wanita tadi, Hannah Pezzak dan Elinah Tapio, menyatukan beberapa bentuk bunyi, musik dan suara manusia dalam tatanan yang sama sekali tak terduga. Suara desah, pekik, teriakan bahkan juga erangan muncul di bagian awal komposisi ini, yang diiringi dengan musik yang sangat tidak konvensional menjadi bentuk yang tak terduga.
Di bagian tengah, juga ada beberapa baris kalimat (lirik), yang diucapkan berulang. Tak hanya kalimat berulang serupa puisi, ada pula sederetan kata-kata yang disampaikan dengan cepat seperti bentuk vocal musik rap.
Bentuk bunyi yang beragam itu dihadirkan dalam nuansa yang berbeda, di bagian awal, tengah hingga bagian akhir. Tak hanya pada ‘mixing’ kolaborasi ini, dalam bentuk lain pun, seperti Better Bitter, New Shoes, Horny, Jatiwangi Night, juga Rite of Gone, penuh dengan komponen dan kombinasi yang ‘unpredictable’.
“Proses yang dilalui cenderung pada mencari dan menciptakan kombinasi kontras, inilah yang menjadikan proses ini menjadi menarik,” tutur pria yang telah menciptakan lebih dari 10 mixing musik ini.
Penyajian kontras-kontras dalam komposisi ini dan sumber bunyi yang berbeda mungkin dapat dikatakan sebagai esensi dari musik eksperimental itu sendiri. Namun bagi Ruben, hal inilah yang membuat musik eksperimental menjadi menarik dan menyenangkan, menemukan hal - hal yang mengejutkan.
“Kejutan itu muncul saat menciptakan kontras, di antara yang tak dikenal dengan yang telah akrab sebelumnya. Satu hal lagi yang menarik adalah keterlibatan audien terhadap musik yang disajikan,” terangnya. (end)