Percobaan pembunuhan terhadap Sukarno dilakukan pada 14 Mei 1962. Peristiwa itu bertepatan pada pelaksanaan Salat Idul Adha di lapangan rumput antara Istana Negara dengan Istana Merdeka, Jakarta. Foto dok net
abad.id-Seorang pemimpin pasti mempunyai sisi yang gelap dan dibenci sekelompok orang. Termasuk Sukarno yang dilawan melalui gerakan Darul Islam dimpin sahabat sekaligus teman satu pondokan Kartosuwiryo. Cara-cara DI/TII sangat tidak disukai Sukano, yaitu menggunakan kekerasan dan aksi teror.
Sejak Kartosuwiryo menyatakan diri melawan Sukarno tahun 1948, mengalami beberapa kali sang presiden menjadi target percobaan pembunuhan. Pemberontakan DI/TII oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, karena ketidakpuasannya terhadap kemerdekaan Indonesia yang masih dibayang-bayangi Belanda. Kartosoewirjo ingin mendirikan negara atas dasar agama Islam alias Negara Islam Indonesia.
Gerakan Darul Islam (DI) didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 M/ 1368 H di Desa Cisampang, Kecamatan Cilugar, Jawa Barat. Gerakan ini menjadi awal pemberontakan yang dilakukan oleh Kartosoewiryo dan para pengikutnya. Hasil Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 menjadi salah satu motif munculnya gerakan ini. Kelompok Islam (Darul Islam) tidak puas dengan hasil perundingan tersebut sehingga memicu perang saudara dengan kelompok nasionalis.
Sejumlah percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno pun dilakukan, salah satunya yang pernah terjadi pada 14 Mei 1962. Peristiwa itu bertepatan pada pelaksanaan Salat Idul Adha di lapangan rumput antara Istana Negara dengan Istana Merdeka, Jakarta.
Pagi itu sebelum salat tampak baik-baik saja. Pasukan pengawal sudah menyisir wilayah yang mencurigakan, sebab sang presiden hendak sholat di lapangan. Namun, dari baris keempat tiba-tiba terdengar teriakan diiringi bunyi tembakan. Aksi penembakan terhadap Presiden Sukarno pun terjadi.
Dari beberapa kali tembakan, tidak ada satupun peluru yang berhasil mengenai tubuh Sukarno. Timah panas justru menyerempet bahu seorang ulama sekaligus Ketua DPR saat itu, Zainal Arifin. Dua korban salah sasaran lainnya, yakni Soedrajat dan Soesilo yang mengalami luka-luka. Keduanya merupakan anggota Detesemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden.
Belakangan para pelaku adalah Sanusi, Kamil, dan Jaya Permana yang merupakan anggota DI/TII. Ketiganya mengaku kesulitan membidik Soekarno, sehingga menyerang secara membabi buta. Dalam pemeriksaa pelaku mengaku sulit membedakan mana Sukarno dan mana yang bukan. Percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno pun gagal.
Para pelaku kemudian dijatuhi vonis hukuman mati oleh Mahkamah Angkatan Darat. Setelah peristiwa tersebut, Soekarno tidak pernah salat lagi di tempat terbuka. Sebagai bentuk tanggung jawab agar tidak terjadi hal serupa, Kasad AH Nasution membentuk pasukan khusus yang tugas utamanya melindungi dan menjaga keselamatan kepala negara dan keluarganya.
Peristiwa Cikini Nyaris Membunuh Keluarga Sukarno
Peristiwa penembakan pada 1962 itu satu diantara sekian percobaan pembunuhan yang pernah dialami Bung Karno. Percobaan pembunuhan lainnya yang menyasar yaitu Peristiwa Cikini 1957, atau lima tahun sebelumnya.
Peristiwa berawal saat diselenggarakan perayaan hari jadi Perguruan Cikini yang ke-15. Presiden Soekarno turut hadir di sana untuk merayakan. Kehadiran Soekarno disambut dengan antusias para peserta, terutama murid sekolah. Kedatangan Soekarno ke Perguruan Cikini tidak hanya sebagai orangtua dari Guntur dan Megawati, melainkan juga atas undangan dari Kepala Perguruan Cikini, Sumadji Muhammad Sulaimani dan Direktur Percetakan Gunung Sari, Johan Sirie.
Usai acara, Presiden Soekarno bergegas segera meninggalkan lokasi. Di sepanjang jalan dari halaman sekolah, warga bergerombol untuk menantikan presiden Sukarno lewat. Namun, tiba-tiba terdengar suara ledakan hebat dari lemparan granat yang diarahkan ke halaman sekolah. Ledakan tersebut membuat banyak orang tergeletak. Selain itu, mobil yang dikendarai Presiden Soekarno juga hancur di makan lautan api akibat ledakan dari granat yang dilemparkan.
Beruntung Soekarno bersama kedua anaknya, Guntur dan Megawati selamat. Namun 10 anak sekolah tewas dan 48 orang mengalami cedera. Seorang yang berjasa menyelamatkan Sukarno dan keluarga adalah Mayor Sudarto, ajudan Presiden. Secara lugas Sudarto memerintahkan anak buahnya untuk menembak siapa saja yang mendekati Presiden saat diisolir di satu tempat yang gelap, di antara dua bangunan di seberang Sekolah Rakjat Cikini.
"Tidak ada jalan lain menyelamatkan jiwa Presiden dari bahaya maut kecuali mengorbankan diri terlebih dahulu sebelum peluru atau pecahan granat menyentuh bagian presiden dengan cara menjadikan diri kami, Ajun Inspektur Polisi Sudio, anggota polisi Oding, dan saya sendiri sebagai perisai terakhir," kata Sudarto, seperti yang dikutip dari harian Sin Min, 6 Desember 1957.
Aksi penyelamatan yang membahayakan berikutnya ketika Sudarto hendak menelepon untuk meminta bantuan. Telepon di sekeliling kompleks itu terputus. Sudarto menduga sengaja diputus karena masuk dalam skenario pembunuhan Presiden. Mayor Sudarto yang saat itu berumur 35 tahun segera melarikan Bung Karno dari tempat persembunyian dengan menaiki mobil dengan kawalan ketat.
Presiden tidak langsung ke Istana. Rombongan berputar-putar melalui Lapangan Banteng karena jalan terhalang pintu kereta api yang tertutup. “Saya perintahkan perjalanan ke Istana tidak boleh berhenti untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Sudarto.
Namun apa lacur, pintu kereta api di Jalan Pintu Air dekat Capitol juga tertutup. Terpaksa rombongan berputar melalui pintu kereta api hingga akhirnya selamat sampai ke Istana.
Pasca aksi teror tersebut, tim pengawal Presiden langsung melakukan evaluasi. Semua anggota didata, dan beruntung semuanya selamat dan hanya sedikit luka. Sedangkan kondisi Presiden Soekarno dan keluarga sehat tanpa luka.
Rupanya Presiden Sukarno sangat murka. Hatinya teriris melihat korban anak-anak bergelimpangan. Sukarno segera memerintahkan pengejaran terhadap para pelaku. Ia juga meminta untuk dilakukan penyelidikan terkait dalang di balik peristiwa tersebut.
Hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, intelijen berhasil menangkap empat pemuda sebagai pelaku aksi teror bom Cikini. Mereka bernama Jusuf Ismail, Sa'idon bin Muhammad, Tasrif bin Husein, dan Moh Tasin bin Abubakar. Keempat orang ini penghuni Asrama Sumbawa yang juga berlokasi di kawasan Cikini dan anggota dari pemberontak Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII). Selain mereka, aparat juga mengamankan Kolonel Zulkifli Lubis, mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat yang dicurigai ikut terlibat.
Dari intrograsi, motif melempar bom ke presiden Sukarno bukan hanya sebuah aksi teror biasa. Lebih dari itu ingin menyingkirkan Soekarno. Menurut Mubarok pengamat politik Unesa, pada masa kepemimpinan Soekarno, banyak orang yang merasa tidak puas dengan kondisi politik yang itu. Ruang ekpresi dan argumentasi sangat tidak ada, sehingga kelompok ini melakukan upaya untuk melakukan pembunuhan.
Salah satu cara yang digunakan adalah dengan teror melemparkan granat. Ide tersebut muncul ketika pelaku mendengar Presiden Soekarno akan menggelar acara di Perguruan Cikini pada 30 November 1957. Kemudian mereka merancang pembunuhan di tengah keramaian.
Ada juga motif lain yang masih dalam penggalian yaitu dugaan keterlibatan CIA. Kelompok ini merasa tidak senang karena Sukarno terlalu dekat dengan komunis. Beberapa kegiatan PKI selalu berhasil mendatangkan Sukarno, sehingga jumlah massa semakin besar. Hasilnya saat pemilu 1955 suara PKI sangat banyak dan masuk 5 besar partai pemenang. Bahkan PKI berhasil meraup lebih dari 6 juta suara pemilih dan berada di urutan ke empat partai.
Namun Sukarno lebih yakin kelompok DI/TII berada di balik aksi teror bom Cikini. Dengan penuh amarah, Sukarno langsung memerintahkan tokoh DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo segera ditangkap.
Bagi Sukarno, nama Kartosoewirjo bukan orang asing dalam pergerakan merintis kemerdekaan Indonesia. Kartosoewirjo tertarik pada dunia pergerakan di Surabaya pada 1923 dan sempat satu atap di rumah kost HOS Cokroaminoto. Kartosoewirjo mengagumi Tjokroaminoto yang sering berpidato dalam berbagai pertemuan. Kartosoewirjo melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Soekarno yang menjadi presiden, sekaligus teman kos Kartosuwiryo semasa di Surabaya. Tugas berat Sukarno saat itu menandatangani eksekusi mati Kartosoewirjo pada September 1962. “Salah satu keputusan berat yang harus diambil Soekarno adalah menandatangai vonis mati terhadap sahabatnya tersebut,”.
Pelaku peristiwa bom cikini dibawa ke pengadilan militer tanggal 28 april 1958. Mereka Jusuf Ismail Saadon bin Mohammad, Tasfif bin Husain dan Mohammad bin Abu Bakar dijatuhi hukuman mati. Foto 30 tahun Indonesia Merdeka
Setelah mengusut peristiwa ini, maka dilakukan persidangan pada 15 Agustus 1958. Dalam persidangan itu satu terdakwa menyebutkan bahwa Letnan Kolonel Zulkifli Lubis adalah dalang utamanya. Bahkan, terdakwa juga mengatakan sempat beberapa kali menyusun upaya percobaan untuk membunuh Soekarno. Akan tetapi, beberapa kalangan meragukan pengakuan tersebut. Zulkifli pribadi juga menolak atas tuduhan itu.
Hingga pada akhirnya, Jusuf Ismail mengaku dialah yang memelopori pelemparan granat tersebut. Maka Letkol Zulkifli Lubis lolos dari tuduhan. Keempat terdakwa pelaku tragedi Cikini diputuskan diberi hukuman mati di hadapan regu tembak pada 28 Mei 1960. (pul)