Ketua DPR/MPR Harmoko, Wakil Ketua Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur dan Fatimah Achmad (tidak nampak) di Gedung DPR, Senin (18/5/1998), membuat pernyataan mengimbau Presiden Suharto mengundurkan diri.(KOMPAS/Johnny TG)
abad.id- Jika ada saksi yang mengetahui detik-detik Suharto mundur, salah satunya Harmoko. Saat itu Harmoko sedang menjabat sebagai pimpinan lembaga tertinggi negara MPR selama 1997-1999. Sekaligus pimpinan lembaga legislatif DPR, Harmoko pula yang meminta Suharto meletakkan jabatannya.
Saat itu desakan agar Suharto mundur sangat kencang di gedung DPR/MPR digawangi mahasiswa sejak Mei 1998. Puncaknya 18 Mei 1998, aksi demonstrasi sudah benar-benar membuat posisi Harmoko kian tersudut untuk tidak bisa membuat pilihan. Sebagai jabatan Ketua MPR/DPR, Harmoko beserta pimpinan legislatif lainnya yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid, mendorong Suharto mundur.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko.
Sejak awal bulan Mei 1998, rasa permusuhan rakyat terhadap Presiden terasa sangat kuat di ibu kota. Gerakan mahasiswa antipati terhadap Suharto juga bergaaung di berbagai daerah. Di Yogyakarta misalnya, demonstrasi mahasiswa besar-besaran mendapat simpati dari Sultan Hamengku Buwono X.
Di puncak kepemimpinan Orde Baru, para pembantu presiden sendiri mulai membelot. Bahkan mereka mulai menunjukan sikap perlawanan melawan Peesiden. Pada Senin sore, 18 Mei 1998, di dalam gedung DPR dengan kondisi dikelilingi para mahasiswa, Ketua MPR/DPR mengatakan Suharto harus mundur. Bersama bebetapa tokoh yang mendampinginya, sebagai bentuk memperkuat seruannya itu. mereka wakil ketua DPR, yang mewakili Golkar, ABRI, dan dua kelompok oposisi di PPP dan PDI. Pesan yang tersirat kepada Suharto dalam seruan itu ialah, Undurkan diri saja, kalau tidak mau diimpeached (diberhentikan secara paksa oleh MPR/DPR).
Sulit juga menganggap Harmoko pemberontak. Sewaktu menjadi menteri penerangan, Harmoko telah menyensor media, termasuk pembredelan Tempo pada 1994. Pada 29 Mei 1997, di hari pemilu Harmoko menjabat sebagai ketua Golkar Harmoko. Partai yang dipimpin telah memenangkan 75 persen suara untuk dukungan politik Orde Baru itu. bahkan dari 500 kursi di DPR, Golkar memperoleh 315 kursi, sementara 89 kursi PPP dan 11 untuk PDP dan jatah ABRI sebanyak 75 kursi.
Pada 10 Maret 1998, Harmoko juga menunjukan kesetiannya kepada Suharto. Pada hari itu, sehagai ketua MPR, Harmoko mengangkat dan melatik Suharto sebagai presiden. Harmoko berhasil menggeralken sidang supaya memperpanjang masa jabatan Presiden Suharto untuk kurun waktu lima tahun lagi. Lalu hanya dua hulan kemudian, Harmoko mendesak Suharto untuk mundur. Dalam konteks kekerasan anti-rezim yang makin meningkat, para perusuh membakar rumah keluarga Harmoko di Solo. Kehilangan itu rupanya telah memusnahkan keyakinan apa pun yang masih ia miliki terhadap rezim dan pendirinya.
Di kompleks DPR di Jakarta pada 18 Mei, sewaktu mendengar Harmoko membelot, para mahasiswa bersorak. Dikiranya kalau orang yang begitu setia, toh sampai melawan tuannya jua. Pasti pemerintahan Suharto sudah pasti segera akan-berakhir. Sebaliknya, perilaku Harmoko, yang mengkhianati atasan yang dulu terus dipatuhinya, mungkin akan mengeraskan niat Suharto untuk tidak ditumbangkan oleh orang sejelek itu.
Harmoko telah meminta Presiden mundur pada sore hari tanggal 18 Mei 1998. Pada malam itu juga, di kediaman Presiden di Jalan Cendana, Panglima ABRI Jenderal Wiranto bertemu dengan Suharto untuk membicarakan situasi. Pukul 23.00 malam, Wiranto menyiarkan pernyataan. Isinya menggambarkan nasihat Harmoko kepada Suharto supaya berhenti hanyalah pendapat pribadi ketua MPR. Pernyataan Harmoko tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak sah. Maka harapan para mahasiswa yang sebelumnya percaya, segera memudar.
"Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh semua anggota Dewan melalui Sidang Paripurna DPR," kata Wiranto.
Saat itu, Wiranto menyebut bahwa tanggung jawab Presiden Suharto yakni melakukan perombakan kabinet. Wiranto tak menyinggung ihwal kemungkinan Suharto untuk mundur.
"ABRI masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban mendesak pemerintah yang menjadi tanggung jawab Presiden adalah melaksanakan reshuffle kabinet, melaksanakan reformasi secara menyeluruh, dan mengatasi krisis. Ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari masa krisis ini," ujar Wiranto.
Hingga tanggal 19 Mei, situasi politik yang panas di Jakarta masih belum selesai. Suharto berkonsultasi dengan sejumlah tokoh dari dalam dan di luar rezimnya. Mereka menggaris bawahi kekacauan yang meningkat. Tewasnya mahasiswa pada 12 Mei, menjadi penyebab munculnya aksi anarki yang menyebar ke seluruh ibu kota pada 13-14 Mei. Perekonomian yang goncang, serta seruan terus menerus agar Suharto mundur dan ancaman mengerahkan satu juta orang untuk maju menentangnya pada hari berikut, 20 Mei.
Menteri-menteri itu menunjukkan sikap hormat. Tetapi cukup dengan menyoroti gawatnya keadaan saja, presiden dijadikan sadar tentang harga yang mungkin harus dibayar negara jika ia terus menolak turun. Hari itu 19 Mei 1998, Suharto yang sudah terkepung melakukan usaha terakhir dengan menjanjikan reformasi. Isinya pembentukan kabinet yang baru, atau sekurang-kurangnya penyusunan kembali yang sudah ada.
Pejabat ekonomi utama, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita memberi tahu Suharto, bahwa para penasihat ekonomi senior yang memainkan peranan kunci di dalam strategi pembangunan Orde Baru, menentang usul-usul presiden. Di mata penasihat senior ini, janji-janji Suharto tentang agenda reformasi hanya sebagai pembelaan terakhir yang sia-sia.
Harmoko satu di antara segelintir tokoh yang tahu betul detik-detik jatuhnya kekuasaan Suharto. Foto.net
Pada sore tanggal 20 Mei, Ginandjar dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Akbar Tandjung bersama 12 menteri menulis surat kepada Suharto. Menyatakan menolak untuk duduk di dalam kabinet yang akan dirombak sebagaimana janji reformasi. Melihat situasi yang genting itu, Suharto menyuruh Wakil Presiden Habibie supaya berbicara dengan para menteri ini agar mengubah tekadnya.
Sebaliknya, Habibie menggunakan situasi ini untuk meminta kepada para menteri bidang ekonomi mendukung dia seandainya Presiden nanti berhenti di tengah jalan. “Ginandjar dan Akhar diberi imbalan dua kemungkinan ketika Habibie menjadi presiden, yaitu mengangkat mereka dalam kabinet dalam kedudukan sama yang dipegang sebelumnya. Sedangkan Akbar Tanjung dijanjikan menjadi kepala sekretariat negara,” tulis Donald K. Emmerson dalam buku Indonesia Beyond Suharto
Lagi-lagi pembelotan terakhir dari orang-orang dekat tanggal 20 Mei ini merupakan pukulan bagi Suharto. Pada malam itu juga, Suharto memutuskan untuk berhenti yang dimumumkan tanggal 21 Mei 1998 pukuk 10 pagi. (pul)