abad.id- Pukul 04.30 pagi Hatta sudah bangun. Selama di Boven Digul, dua kali Hatta diserang sakit malaria. Biasanya butuh 5 hari baru sembuh dari serangan malaria. Apabila mendapat serangan itu, Hatta segera ke rumah sakit untuk memperoleh obat. Resepnya harus menelan pil kinine 6 biji sehari, diminum tiga kali.
Buku-buku yang ikut dalam rombongan pembuangan, ternyata sangat bermanfaat untuk bahan bacaan. Buku itu kebanyakan dalam bahasa Belanda, dan jarang ditentukan. Di tempat pembuangan Hatta masih memberi waktu luang untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak muda seperti Boerhanuddin, Bondan, dan Suka, tentang ekonomi dan sekali tentang filosofi. Mereka sesama orang buangan di Digul yang berperkara politik. Biasanya pelajaran diberikan Hatta antara pukul 10.00 dan pukul 11.00. Pada malam hari sesudah makan, banyak kawan yang lama dan baru, datang ke rumah Hatta.
Hidup Hatta selama di Boven Digul sangat teratur, terpenting adalah menjaga kesehatan. Berhubung dengan itu Hatta membiasakan tidur malam mulai pukul 22.00. Di atas tempat tidur sudah disediakan pelindung kelambu dari nyamuk malaria.
Nyaris tidakada kegiatan penting sejak Hatta di Digul. Setelah bangun Sholat Subuh di atas tempat tidur saja. Kebetulan letak tempat tidur sesuai dengan kiblat. Dilanjutkan mandi. Kemudian dilanjutkan persiapan sarapan. Masak air panas dan merebus telur di dapur. Makan pagi dibiasakan pukul 07.00 pagi dan dilanjutkan semangkuk dua mangkuk kopi. Pukul 07.30 Hatta mulai jalan-jalan lewat Kampung A dan keliling Kampung B. Semuanya itu makan waktu setengah jam atau 40 menit.
Sesudah kembali di rumah, Hatta mulai belajar dan membaca buku-buku filosofi. Jika pejuang lain menganggap pembuangan ini sebagai jalan hidup bahkan akdir, namun tidak bagi Hatta. Pembuangan di Digul justru sebagai awal untuk koreksi dan penguatan keilmuan. Hatta semakin sering membaca dari buku Wilhelm Windelband, Präludien, jilid I dan II. Serta bukunya Lehrbuch der Geschichte der Philosophie beserta Heinrich Rickert, Der Grenzen der naturwissen-schafilichen begrifsbildung. Biasanya Hatta belajar pagi sampai pukul 11.00 atau 11.30. Sesudah itu Hatta bekerja di dapur, menanak nasi dan merebus sayur-sayuran.
Orang tua teman dari Kampung A sering datang ke rumah Hatta mengajarkan cara memasak ransum yang diperoleh dari pemerintah. Sering pula ia membawakan telur dan sayur-sayuran.
Sebagai seorang naturalis, si orang tua tersebut hidup dari memelihara ayam dan berkebun. Hatta diajarkan bagaimana mempergunakan ikan asin sebagai ransum sebaik-baiknya. Dia bawakan cabai, Sebagian ikan asin dengan minyak kelapa yang diperoleh dari pemerintah hanya sepertiga botol limonade digoreng sampai matang. Sesudah dingin, dimasukkan ke dalam suatu stoples. Saban hari kalau mau makan diambil sedikit dari stoples itu dan digoreng sebentar.
Dengan cara begitu, ikan asin itu bisa tahan sampai tiga minggu. Sesudah tiga minggu ikan asin Hatta ganti dengan sardin, yang bisa dibeli di toko Tionghoa yang ada di Tanah Merah. “Ransum yang kuperoleh dari pemerintah setempat pada permulaannya berlebih-lebih. Hanya ikan asin dan kacang hijau yang habis. Mula-mula yang berlebih itu kuberikan kepada siapa yang kekurangan. Beras paling banyak kumakan 10 kilo sebulan. Sisanya 8 kilo kuberikan kepada siapa yang datang meminta,” cerita Hatta.
Hatta juga sering menerima tamu seorang Kayakaya dari Uni Umi yang mau iap membantu. Mereka adalah warga pribumi yang sudah beradaptasi dengan para pendatang. Banyak dari warga Kayakaya ini bisa berkomunikasi dengan Hatta menggunakan bahasa Indonesia yang terbatas. Jika kurang mengerti, tentu butuh bantuan bahasa isyarat.
Pada prinsipnya orang Kayakaya ini sangat baik dengan pendatang, namun tidak mau bersiko untuk kerjasama melanggar peraturan orang buwangan. Sebab petugas penjaga akan memberi hukuman kepada warga Kayakaya, dan sebaliknya orang buwangan akan dipindah di tempat isolasi.
Hatta sangat membutuhkan tenaga warga Kayakaya ini, untuk mencuci pakaian, bersih bersih-rumah dan kadang-kadang membantu menanak nasi. Beras ransum separoh diberikan kepada warga Kayakaya beserta ikan asin. Bagi orang Kayakaya, ikan asin itu hanya dibakar saja. “Pagi ia datang, apabila saat aku sudah kembali dari berjalan-jalan, kira-kira pukul 09.00. Pada pukul 17.00 ia sudah pergi lagi. Sebagaimana biasa, upahnya hanya sehelai baju tangan pendek dan celana. Selama aku di Digul kubelikan juga untuk dia tiap kali mau pulang, sekilo tembakau,” tambah Hatta.
Di Tanah Merah ada seorang orang buangan yang sudah lama di Digul. Hatta lupa namanya. la dibuang ke Digul bersama-sama dengan rombongan yang pertama. la berasal dari Minangkabau. Jika Hatta tak salah, ia dibuang bersama-sama dengan Sutan Said Ali. la juga seorang guru. Selama ia di Digul sudah pandai bertukang, dan dialah selalu diminta memimpin mendirikan atau merenovasi rumah. “Kutanyakan kepadanya, berapa tahun lagi rumahku akan tetap berdiri. Dijawabnya, bagian-bagian yang terbuat dari seng sebagai atap dan dinding dalam akan lama sekali tahannya. Tetapi, dinding luar yang terbuat dari kulit kayu paling lama tahan lima tahun lagi,” kata Hatta.
Karena Hatta masuk golongan naturalis dan kemungkinan akan lama di Digul, maka perlu membuat rencana tinggal di Digul sekurang-kurangnya 10 tahun. Pada sore hari, kalau ada rumah yang dibangun, Hatta belajar di sana sebagai pembantu tukang. Guru tadi banyak memberikan petunjuk kepada Hatta tentang berbagai hal yang belum diketahui.
Surat Hatta Menjadi Koreksi Sistim Penjara Digul
Pada akhir Februari atau permulaan Maret 1935 Hatta menulis surat, biasanya dialamatkan kepada saudara ipar Dahlan Sutan Lembaq Tuah di Jawa. Dalam surat itu Hatta menceritakan keadaan di Digul, pembagian dua golongan orang buangan yang disebut werkwillig dan naturalis, serta Hatta memilih menjadi naturalis. Diceritakan pula tentang ransum yang diterima saban bulan harganya sama dengan separuh harga makanan orang hukuman di bui. Hatta menceritakan pula bahwa ingin membuat sebuah rumah yang tahan sekurang-kurangnya 10 tahun, dan ia sendiri ikut serta membangunnya. Berhubung dengan itu, Hatta minta supaya dikirimi berbagai alat pertukangan.
Menerima surat dari Digul, Dahlan Sutan Lembaq Tuah memperlihatkan surat tersebut kepada Sacrun, redaktur kepala surat kabar Pemandangan. Sacrun memuat isi surat itu dalam surat kabarmya. Rupanya surat itu dikutip oleh beberapa sural kabar lainmya, juga oleh surat kabar Belanda. Kemudian Hatta mendengar bahwa isi surat itu dibaca di Nederland oleh Dr.H. Collijn, Kepala Partai Anti Revolusioner. Dalam pidatonya pada Tweede Kamer dikatakannya bahwa menginternir Mohammad Hatta di Boven Digul adalah untuk memisahkannya dari masyarakat, bukan untuk membinasakannya.
Dampak pidato Dr.H. Collijn, pada Juli 1935 datanglah ke Boven Digul Residen Haga dari Ambon. Sebelum ia datang, penguasa di Boven Digul Kapten Van Langen sudah digantikan Kapten Wiarda. Waktu Residen Dr. Haga tiba di Boven Digul, diperintahkannya kepada Kapten Wiarda supaya Sjahrir dan Hatta datang menghadap.
Sebagai pembuka Dr. Haga menanyakan kesehatan Hatta. Ia mengaku sudah tahu Hatta berusaha hidup dari karangan-karangan di surat kabar. Berhubung dengan itu, pemerintah mau membantu membayar porto pos. Setiap bulan Hatta akan menerima f7,50. Hatta menjawab, apa artinya tiga ringgit itu, tidak ada bedanya dengan harga makanan dalam natura yang diterima saban bulan. “Kalau diberi bantuan di atas jumlah yang biasa diberikan untuk orang interniran, kenapa aku tidak diberi bantuan sebanyak yang diberikan kepada kaum intelektuil yang diinternir di tempat lain, seperti Dr. Tjipto dan Mr. Iwa Koesoema Soemantri di Banda Neira atau Ir. Sukarno di Endeh,” protes Hatta
Lalu Dr. Haga menjawab bahwa peraturan bantuan berlain-lainan menurut daerah. “Kalau begitu, biarlah aku menerima bantuan hidup menurut rezim yang berlaku di sini. Bantuan f 7,50 itu untuk ongkos pos mengirim karangan-karanganku tidak perlu Tuan berikan." Jelas Hatta dengan sengit.
Residen Dr. Haga sebentar terdiam. Lalu, dijawab "Bantuan itu tidak banyak jumlahnya. Cobalah Tuan pikirkan dulu semalam. Tadi Tuan katakan, tidak begitu banyak bedanya bahan makanan dalam natura yang Tuan terima. Sekalipun Tuan terima tawaran bantuan f 7,50 itu, bahan makanan dalam natura akan terus tuan terima." kata Dr. Haga
" Saya kira sekalipun dipikirkan tawaran Tuan itu semalam, pendapat saya tidak akan berubah." Jawab Hatta
"Betapapun juga, baiklah Tuan pikirkan semalam, besok pagi Tuan datang kembali memberikan jawaban yang terakhir,” kata Dr. Haga
"Baiklah, izinkan saya kembali ke kampung pembuangan," kata Hatta
Sesudah itu mereka berjabat tangan, kemudian Hatta mengundurkan diri. Lalu Sjahrir diminta masuk. Kira-kira 15 menit ia bicara dengan Residen dr. Haga. Hatta menduga serupa dengan yang ditawarkannya kepada Hatta. Setelah Sjahrir keluar dari kamarnya, Hata bertanya apa yang ditawarkan. Sjahrir menjawab bahwa yang dikemukakan Residen dr Haga kira-kira sama dengan yang ditawarkan kepada Hatta. Cuma ia belum memberikan jawab yang tegas.
Pada dasarnya Syahrir menolak, tetapi kepada Residen Haga dikatakannya bahwa ia akan membicarakan dahulu dengan Hatta, dan Residen Haga meminta ia kembali keesokan harinya bersama-sama dengan Hatta.
Esok paginya keduanya kembali menemui Residen dr Haga di kantor pemerintah setempat. Hatta diterimanya lebih dahulu. Waktu duduk berhadapan, Hatta mengatakan tetap pada pendirian dan menyesal tidak dapat menerima bantuan pemerintah sejumlah f 7,50 sebulan. Waktu Hatta keluar, Sjahrir diminta masuk ke dalam. Kira-kira 10 menit ia di dalam. Tatkala ia sudah keluar ia katakan kepada Hatta, ia terpaksa menerima bantuan f 7,50 sebulan, karena ia tidak punya uang sama sekali untuk ongkos-ongkos korespondensinya dengan istrinya di Nederland, Surat itu dikirim tiap-tiap kali kapal putih berangkat kembali dari Digul.
Pasca pertemuan dengan Residen Dr. Haga ini, Sjahrir dicela oleh kaum naturalis, yang menuduh dia menyerah kepada pemerintah. Sementara Hatta mendapat pujian karena mempertahankan prinsipnya. Padahal mereka yang mencela tidak mengerti kondisi Sjahrir bahwa bantuan uang f 7,50 sebulan sangat bermanfaat untuk mengongkosi korespondensinya dengan istrinya di negeri Belanda. Setelah dua minggu, aksi mencela Sjahrir sudah tidak terdengar lagi.
Di Digul Hatta selalu berpesan kepada kawan-kawan dibuang kepada yang lama dan yang baru, supaya menjaga kesehatan, pikiran dan perasaan. Jangan terganggu apa-apa, tetap menerima segalanya dengan hati yang tenang. (pul)