images/images-1682731089.jpg
Riset

Ketika si Bung Besar Menggugat

Pulung Ciptoaji

Apr 29, 2023

418 views

24 Comments

Save

Pidato-pidato Bung Karno selama dua tahun angtara 1965-1967 amat berharga sebagai sumber sejarah. Ia mengungkapkan aneka hal yang ditutupi bahkan diputarbalikkan Orde Baru. Dari pidato itu juga tergambar betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto. Foto dok net

 

 

abad.id- Tidak banyak diketahui antara tahun 1965-1967 Presiden Soekarno beberapa kali berpidato untuk menenangkan massa di situasi yang sangat genting pasca G30S PKI. Setidaknya 103 kali pidato Soekarno di beberapa forum yang dihadiri Mahasiswa, kelompok militer dan wartawan. Namun yang selalu diingat dalam catatan sejarah hanya pidato pertanggungjawaban Nawaksara, yang ditolak MPRS tahun 1967.

 

Pidato yang paling berkesan pada 15 Februari 1967 (pelantikan beberapa Duta Besar RI). Soekarno berusaha mengungkapkan banyak hal yang ditutupi Orde Baru. Soekarno mengungkapkan betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Di pihak lain, terlihat pula kegetiran seorang presiden yang ucapannya tidak didengar bahkan dipelintir. Soekarno marah. Ia memaki dalam bahasa Belanda. Dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah tulisan Asvi Warman Adam disebutkan, setelah peristiwa G30S, Soekarno berusaha mengendalikan keadaan melalui pidato-pidatonya.

 

”Saya komandokan kepada segenap aparat negara untuk selalu membina persatuan dan kesatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner. Dua, Menyingkirkan jauh-jauh tindakan-tindakan destruktif seperti rasialisme, pembakaran-pembakaran, dan perusakan-perusakan.Tiga, menyingkirkan jauh-jauh fitnahan-fitnahan dan tindakan-tindakan atas dasar perasaan balas dendam.”

 

Soekarno juga menyerukan "Awas adu domba antar Angkatan, jangan mau dibakar: Jangan gontok-gontokan Jangan hilang akal. Jangan bakar-bakar, jangan ditunggangi". Dalam pidato ia menyinggung Trade Commission Republik Rakyat Tiongkok di Jati Petamburan yang diserbu massa karena ada isu Juanda meninggal diracun dokter RRT. Padahal, beliau wafat akibat serangan jantung. Soekarno menentang rasialisme yang menjadikan warga Tionghoa sebagai kambing hitam.

 

sukarno suharto

 

Selain menonjolkan keterlibatan pihak asing seperti CIA saat tragedi G30 PKI,  juga muncul tudingan terhadap keterlibatan Soeharto dalam "kudeta merangkak", yaitu rangkaian tindakan dari awal Oktober 1965 sampai keluarnya Supersemar  Foto dok net

 

Dalam pidato 20 November 1965 di depan keempat panglima Angkatan di Istana Bogor, Bung Karno mengatakan, "Ada perwira yang bergudul. Bergudul itu apa? Hei, Bung apa itu bergudul?  Ya, kepala batu.” Tampaknya ucapannya itu ditujukan kepada Soeharto. Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan, "Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Soebandrio. Bukan Leimena. Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto, dan seterusnya (berbeda dengan nama tokoh lain, Soeharto disebut dua kali dan secara berturut-turut).

 

Mengapa Soekarno tak mau membubarkan PKI, padahal ini alasan utama kelompok Soeharto men-jatuhkannya dari presiden. Karena dia konsisten dengan pandangan sejak tahun 1925 tentang Nas (Nasionalisme), A (Agama), dan Kom (Komunisme). Dalam pidato ia menegaskan, yang dimaksudkan dengan Kom bukanlah Komunisme dalam pengertian sempit, melainkan Marxisme atau lebih tepat "Sosialisme", Meskipun demikian Soekarno bersaksi "saya bukan komunis".

 

Dalam kesempatan lain, Bung Karno juga mengungkapkan keterlibatan pihak asing yang memberi orang Indonesia uang Rp 150 juta guna mengembangkan the free world ideology. Ia berseru di depan diplomat asing di Jakarta,”Ambassador jangan subversi."

 

 

Tanggal 12 Desember 1965 ketika berpidato dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara di Bogor, Soekarno mengatakan tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa di Lubang Buaya. Demikian pula tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers. 

 

Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan HMI di Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan dengan sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban.

 

"Awas kalau kau berani ngrumat jenazah,engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di pinggir sungai, dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati.”

 

Dalam kesempatan sama, Bung Karno sempat bercanda di depan mahasiswa itu, "Saya sudah 65 tahun meski menurut Ibu Hartini seperti baru 28 tahun. Saya juga melihat Ibu Hartini seperti 21 tahun.”

 

Gaya bahasa Soekarno memang khas. Ia tidak segan memakai kata kasar tetapi spontan. Beda dengan Soeharto yang memakai bahasa halus tetapi tindakannya keras. Di tengah sidang kabinet, di depan para Menteri, Presiden Soekarno tak segan mengatakan "mau kencing dulu” jika ia ingin ke belakang. Ketika perintahnya tidak diindahkan, ia berteriak ”saya merasa dikentuti".

 

Pernah pula ia mengutip cerita Sayuti Melik tentang kemaluannya yang ketembak. Namun, di lain pihak ia mahir menggunakan kata-kata bernilai sastra, "Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita. cita.”

 

Di balik pidato Soekarno sepanjang pasca kejadian G30S hingga tahun 1967,  hanya bantahan atas apa yang ditulis media. Perang informasi sekaligus monopoli kebenaran berada di tangan penguasa Orde Baru. Umar Wirahadikusumah mengumumkan jam malam mulai 1 Oktober 1965, pukul 18.00 sampai 06.00 pagi, telah menutup semua koran kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Koran-koran lain tidak boleh beredar selama seminggu. Waktu sepekan tersebut dimanfaatkan pers militer untuk mengampanyekan bahwa PKI ada di belakang G30S. Begitu pula setelah peristiwa itu, media sangat dibatasi untuk menyampaikan informasi seputar kegiatan Presiden Soekarno. Meskipun banyak berpidato dalam berbagai kesempatan, pernyataan Bung Karno tidak disiarkan oleh koran-koran.

 

Di penghujung masa jabatannya, Presiden Soekarno masih sempat melantik taruna AURI dan berpidato dalam peringatan 20 tahun KKO. Di kesempatan itu Soekarno sadar, masih ada Angkatan Udara, marinir, dan sebagian besar tentara Kodam Brawijaya yang setia. Namun ia tidak memanfaatkan kekuatan loyalis itu untuk melawan pihak yang menjatuhkannya. Hanya sekadar berseru "jangan gontok-gontokan antarangkatan bersenjata".

 

Soekarno rupanya tidak ingin terjadi pertumpahan darah sesama bangsa. Dalam skala tertentu, yang tidak diharapkan, namun pertumpahan darah  justru terjadi ketika Bung Besar setelah meninggal dunia. (pul)

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022