images/images-1679341623.png
Sejarah
Tokoh

Aksi Mogok Buruh dan Petisi Sutarjo Menjadi Ancaman Pemerintah Belanda

Pulung Ciptoaji

Mar 21, 2023

841 views

24 Comments

Save

Soetardjo Kartohadikoesoemo pimpinan Persatuan Pegawai Negeri dari Pemerintah Pamong Praja pemerintah Hondia Belanda. Foto dok net 

 

 

abad.id- Aksi pemogokan buruh dengan mengandalkan organisasi mulai gencar terjadi di tahun 1920-an. Bentuknya menuntut ketidakadilan dengan cara memobilisasi massa. Pemogokan buruh sangat dikawatirkan pemerintah Hindia Belanda, sebab bisa melumpuhkan sektor keuangan dan produktifitas ekonomi.  Di Surabaya pada 15 Nopember 1920, pernah terjadi pemogokan diikuti sekitar 800 buruh. Setahun berikutnya Agustus 1921 aksi pemogokan terjadi di lingkungan buruh pelabuhan Surabaya. Medio Januari 1922 pegawai pegadaian mogok mencakup 79 rumah gadai serta aksi buruh kereta-api mogok melibatkan 8.500 orang pada April 1923.

 

 

Pemogokan semakin menjalar tersebut direspon Gubernemen dengan menerbitkan peraturan baru yang mendukung artikel 161 bis. “Barang siapa, jang sengadja melahirken dengen perkata’an, toelisan atau gambar, jang bermaksoed, baik sindiran, baik tengah² atau bisa didoega-doega, mengganggoe ketentereman oemoem, baik berkehendak atau setoedjoe dengen angan-angan jang mendjatoehken atau menjerang dari kekoeasa’an di negeri Belanda atau di Indonesia, aken dihoekoem dengen hoekoeman pendjara setinggi-tingginja enam tahoen atau denda oeang setinggi²nja tiga ratoes roepiah”

 

 

Sejak saat itu, gerakan buruh tahun 1926 mulai melemah. Pemerintah Hindia Belanda menjadi sangat reaksioner terhadap aksi buruh jauh sebelum terjadi gejolak.  Memang ada upaya untuk membangun kembali gerakan buruh. Pada Juli 1927 di Bandung dibentuk Persatoean Beambte Spoor en Tram (PBST). Di Jakarta terbentuk satu federasi dari kalangan guru seperti Hogere Kweekscholieren Bond (HKSB), Perserikatan Normaal School (PNS), Persatoean School Opziener (PSO), Kweekschool Bond (KB). Bulan Pebruari 1930 di Yogyakarta didirikan Persatoean Vakbonden Pegawai Negeri (PPVN) oleh Soeroso. Hindromartono (seorang pengacara) tahun l938 mendirikan Barisan Kaoem Boeroeh. Sutan Sjahrir (PNI-Baru) di tahun 1934 menerbitkan pamflet Pergerakan Sekerdja. Lalu ada dr. Soetomo, di Surabaya, membentuk Serikat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI) pada 8 Juli 1928.

 

Keluarga dr Sutomo tokoh Boedi Oetomo, lalu  membentuk Serikat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI) pada 8 Juli 1928. Foto dok net

 

Semangat melakukan perlawanan dan menuntut keadilan juga dilakukan kelompok warga lain mendukung gerakan menjadi pemerintah mandiri.  Aksi mereka juga sempat membuat pemerintah Kerajaan Belanda ketar-ketir. Reaksi yang datang dari pihak pemerintah Kerajaan Belanda ketika dihadapkan dengan petisi Soetardjo dianggap sangat berlebihan. Sebab dalam petisi itu, gerakan menuntut merdeka dari pemerintah Kerajaan belanda, disampaikan secara halus namun sarat magna.

 

Ceritanya bulan Juli 1935 seorang anggota Volksraad bernama Soetardjo Kartohadikoesoemo, mengajukan Petisi. Di dalamnya ada rumusan kata tuntutan rasa ketidak adilan yang dirasakan warga Hindia Belanda kepada pemerintah kerajaan belanda, dengan bahasa sangat hati-hati agak berbelit-belit.

 

“Supaya diusahakan menghimpun wakil-wakil Belanda dan Hindia Belanda untuk mengadakan konperensi, untuk dalam kesetaraan membuat rencana untuk, dalam jangka waktu sepuluh tahun, atau paling sedikit dalam jangka waktu yang menurut pertimbangan konperensi dianggap perlu, dengan berangsur-angsur diberi kedudukan yang mandiri kepada Hindia Belanda.”

 

Dalam petisi itu dibarengi suatu memorandum penjelasan yang nadanya sangat rendah hati. Kata 'merdeka' tidak disebut, melainkan istilah 'mandiri'. Itu pun dalam suatu jangka waktu yang tidak pasti, yang paling cepat lamanya sepuluh tahun.

 

Sutarjo merupakan seorang politisi pimpinan Persatuan Pegawai Negeri dari Pemerintah Pamong Praja pemerintah Hondia Belanda. Namun Sutarjo tidak disenangi oleh sebagian besar kaum nasionalis, serta hanya dipandang sebagai konservatif. Oleh karena itu, dalam isi petisi tersebut isinya sangat rendah hati ingin mandiri.

 

Di lingkungan kelompok nasionalis, Soetardjo mula-mula hampir tidak mendapat dukungan. Terutama HM Thamrin yang menganggapnya terlalu lemah, dan sudah menduga di Fraksi Nasional tidak akan memberi dukungan suara. Akan tetapi, bagi Soetardjo justru ingin membuktikan dengan cara membentuk kelompok perundingan di belakang layar. Hasilnya banyak orang-orang Indo-Eropa di Indonesia menaruh minat dengan kata 'kemandirian' tersebut, namun dengan syarat beberapa tahapan dan waktu persiapan. Agar bisa menggalang dukungan sebanyak mungkin, Soetardjo mencoret jangka waktu sepuluh tahun. Hasilnya lumayan, Petisi Soetardjo dapat mayoritas suara, dari 26 lawan 20 suara di Volksraad.

 

Munculnya petisi ini langsung mendapat sikap dari perwakilan pemerintah kerajaan belanda. Menurut mereka diterima atau ditolak petisi tersebut membutuhkan keputusan Ratu Belanda. Tiga penasihat di Bogor mempelajarinya. Dua di antaranya memberi rekomendasi pro dan satu kontra. Dewan Hindia Belanda mendapat giliran untuk menimbangnya. Dewan ini tidak terburu-buru merekomendasi. Baru pada bulan November 1937, keluar rekomendasi Dewan untuk gubernur jenderal Tjarda bahwa petisi itu harus tetap ditanggapi.

 

Sepuluh bulan kemudian, rekomendasi itu diberikan pada bulan September 1938 kepada Menteri Tanah Jajahan Welter di Belanda. Sambil menekankan bahva pemerintah Kerajaan Belanda tidak melalaikan kewajibannya terhadap “anak-anak di dalam pemerintahan daerah maupun tanah Hindia Belanda".  

 

Pendapat Gubernur jendral Hindia Belanda, Tjarda singkat saja, dilihat dengan kaca mata hukum ketatanegaraan, petisi sesuatu yang tidak dapat diterima. Dalam bulan Pebruari 1938 Petisi Soetardjo dibicarakan dalam Parlemen Belanda, dalam rangka pembahasan anggaran. Hanya orang-orang komunis dan sosialis yang menyetujuinya, sebagian besar tidak. Maka dengan percaya diri, Welter Menteri Tanah Jajahan mengajukan petisi tersebut kepada Ratu Wilhelmina, sekaligus membuat rancangan Keputusan Raja. Dalam Keputusan Raja tertanggal 16 November 1938 Petisi Soetardjo ditolak.

 

Alasan pemerintah kerajaan Belanda menolak Petisi Soetardjo, ada kekawatiran muncul peluang-peluang lain yang dimanfaatkan oleh kelompok nasionalis. Rupanya para politisi dan pejabat pemerintah Kerajaan Belanda tidak belajar dari negara Filipina pada tahun 1935, sebelum merdeka, telah diberi kesempatan membentuk pemerintahan sendiri di bawah presiden Manuel Quezón. Atau di negara jajahan Inggris, India, dengan adanya Government of India Act telah melahirkan pemerintah federal India dengan hak cukup luas. Padahal jika petisi itu disetujui Ratu Wilhelmina, bisa jadi Republik Hindia Belanda akan terbentuk dan mendapat dukungan penuh dari warga jajahan.

 

Sementara perjalanan Petisi Soetardjo ini baru dianggap penting bagi kelompok nasionalis beberapa bulan kemudian, justru setelah ditolak. (pul)

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

TNI Berumur 77 Tahun, Menjadi Dewasa Karena Tindakan

Author Abad

Oct 06, 2022

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Pertukaran Budaya Indonesia Jepang Dalam Subtrack

Pulung Ciptoaji

Mar 02, 2023