images/images-1676973588.png
Tokoh

Kematian Bisu Tan Malaka (2)

Pulung Ciptoaji

Feb 21, 2023

727 views

24 Comments

Save

abad.id- Penembak Tan Malaka seorang prajurit TNI benama Tekebek. Buku Misteri Pembunuhan Tan Malaka tulisan Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono secara detail menjelaskan nama-nama yang terlibat dalam pembunuhan Tan Malaka. Tapi eksekusi Tan Malaka dilakukan atas inisiatif Soekotjo, bukan merupakan perintah dari atasannya. Soekotjo merasa apabila tidak membunuhnya terlebih dahulu, maka orang-orang komunis ini yang akan terlebih dahulu membunuhnya. Dalam keadaan pikiran yang kacau itulah Soekotjo mengambil inisiatif untuk membunuh Tan Malaka.

 

Pertanyan selanjutnya mengapa Soekotjo melakukan eksekusi tanpa menunggu komando oleh atasannya, jika dilakukannya dengan inisiatifnya secara pribadi,  kenapa tidak ada hukuman terhadap Soekotjo yang melanggar perintah atasannya ?

 

Menurut wawancara Harry Albert Poeze, seperti yang ditulis dalam buku Misteri Pembunuhan Tan Malaka, sejak awal Soekotjo sudah terprovokasi oleh kabar yang pernah diterimanya. Kabar itu dikirimkan oleh Soengkono melalui radiogram yang mengatakan ada daerah-daerah bahaya "aktivis gerakan Tan Malaka berbahaya dan harus dihentikan.”

 

Rupanya isi radiogram tersebut disalah mengerti oleh Soekotjo.  Isi berita radiogram masih abstrak yang harus ditafsirkan apa maknanya. Bagi Soekotjo, ditafsirkan bahwa posisi Tan Malaka di Desa Blimbing, Kediri, yang diduduki Batalion Sabarudin dianggap berbahaya dan harus dibubarkan.  Siapapun yang berada di dalam wilayah target harus ditahan. Jika mereka menolak cara ini, maka pemegang perintah dapat menggunakan proses hukum militer. Rupanya kemungkinan Soekotjo menafsirkan hukum militer tersebut secara keliru. la menafsirkan hukum militer itu adalah membunuh atau mengeksekusi.

 

Setelah selesai mengeksekusi pejuang kemerdekaan, pasukan Batalion Sikatan meninggalkan jasadnya tergeletak bersimbah darah di lokasi. Penduduk setempat merasa iba melihat kondisi jasad orang yang telah dieksekusi tersebut. Namun tidak langsung melakukan pertolongan. Sebab masih ada anggota TNI disana. Setelah TNI pergi, warga berinisiatif menguburkan jasad sang revolusioner di sekitar lokasi penembakan.

 

Tidak hanya mengeksekusi mati Tan Malaka dan pasukan pengawalnya, prajurit Batalion Sikatan juga melakukan penyisiran di sekitar area yang digunakan Tan Malaka sebagai tempat persembunyian. Mereka mengobrak abrik markas yang ditempati, dicurigai sebagai milik Tan Malaka. TNI juga menemukan arsip dan buku sangat banyak. Lalu mereka memusnahkan apapun arsip dan buku itu. Sekecil apa pun yang mereka temukan harus dibakar. “Konon saking banyaknya buku buku dan arsip milik Tan Malaka yang dibakar,  api baru bisa padam setelah sekitar seminggu lamanya,” kata Harry Albert Poeze.

 

 

Pembakaran yang dilakukan oleh tentara tersebut, juga menggambarkan bahwa pasukan dari Batalion Sikatan tidak hanya diperintahkan untuk mencabut nyawa Tan Malaka semata, tetapi juga diperintahkan menghapus semua karyanya.

 

Dalam catatan Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono, yakin ada sebagian anak-buah Tan Malaka yang berhasil lolos dari penyergapan itu. Kemudian bergabung dengan pasukan lain yang masih memihak sambil mengubur identitasnya. “Ketika Tan Malaka tertangkap, tidak tahu siapa saja yang selamat dan siapa saja yang tertembak. Begitu juga dengan pasukan yang meloloskan diri,” tulis Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono.

 

Tetapi setelah ditunggu beberapa hari, ternyata sosok Tan Malaka tidak juga datang. Maka pengawalnya yang selamat itu berinisiatif menghubungi kelompok Tan Malaka lain yang dianggap masih menaruh empati terhadap perjuangannya.  Mereka menginformasikan bahwa pada tanggal 19 Februari 1949 telah disergap, diburu, dan ditembaki oleh Tentara Nasional Indonesia di bawah komado Letkol Surachmat dan Kolonel Sungkono. Berita ini kemudian menyebar ke banyak kalangan, sehingga terbangun sebuah opini bahwa Tan Malaka mati ditembak, mayatnya tidak ditemukan karena hanyut di Sungal Brantas.

 

Ada sumber informasi lain yang menyebutkan bahwa pada 19 Februari 1949 itu, Tan Malaka belum mati. Ia hanya ditangkap. Dibuktikan kesaksian warga desa yang sempat melihat sosok yang mirip dengan Tan Malaka digiring masuk ke perkampungan. Keterangan ini masih dianggap masuk akal, sebab prajurit TNI ingin tahu di mana dokumen-dokumen disembunyikan. Serta kelompok pembunuh Tan Malaka masih butuh data dan intrograsi, sehingga diyakini tidka dubunuh tanggal 19 Februari 1949.  “Rupanya mereka paham betul bahwa Tan Malaka selalu menuangkan pikiran kritisnya dalam bentuk catatan. Pemikiran kritis inilah yang tidak disukai oleh musuh-musuh politiknya sehingga harus dimusnahkan sekaligus orangnya,” catatan Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono.

 

Terkait dengan inilah, maka Tan Malaka tidak dibunuh di kawasan Sungai Brantas, tetapi dipaksa menunjukkan markasnya di Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Sesampainya di lokasi yang dijadikan markas, tentara melakukan pembunuhan. Jadi Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono yakin Tan Malaka dibunuh pada tanggal 21 Februari 1949.

 

 

Dasar argumen itu jarak Desa Mojo ke Desa Selopanggung sekitar 20 kilometer. Perjalanan dari Mojo ke Selopanggung memakan waktu lebih dari satu hari jika harus berjalan kaki. Belum lagi pembunuh butuh waktu untuk menginterogasi sang tawanan. Pertanyaan seperti itulah yang membuat keluarga Tan Malaka dan generasi penerus bangsa butuh kepastian atas kematian Tan Malaka. Pengungkapan peristiwa ini bukan karena dendam, tetapi karena keadilan sejarah. (pul)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022