images/images-1684144557.jpg
Indonesiana

Iding Soemita Berpolitik di Suriname

Pulung Ciptoaji

May 15, 2023

496 views

24 Comments

Save

Ketua Partai Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI) di Suriname,  Iding Soemita (1908–2001) 

 

abad.id- Suriname merupakan salah satu koloni Belanda di Amerika Selatan. Daerah yang berbatasan dengan Brazilia itu punya beragam hasil perkebunan dan pertambangan. Pada 1890, Pemerintah Hindia-Belanda mengirim orang-orang dari Pulau Jawa untuk dipekerjakan menjadi buruh kontrak di sana.

 

Para pendatang keturunan Jawa mulai masuk ke dunia politik jauh sebelum Suriname merdeka. Negara multietnis itu-baru merdeka pada tahun 1975. Di masa perjuangan, berdiri partai Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI) di bawah kepemimpinan Iding Soemita (1908–2001) dan juga Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS) di bawah kepemimpinan Salikin Hardjo (1910–1993). Dua pemimpin partai Jawa di Suriname itu memiliki karakteristik berbeda.

 

Iding Soemita dikenal pendukungnya banyak berasal dari dari kalangan kurang terdidik. Sementara, Hardjo adalah sosok terdidik yang berusaha meningkatkan standar hidup masayarakat Jawa di Suriname melalui pendidikan. Saat Suriname merdeka tahun 1975, masyarakat keturunan Jawa tetap eksis berpolitik. Pasca merdeka, banyak orang-orang keturunan itu mendapat kepercayaan untuk memegang jabatan penting.

 

Saat masa perjuangan, Iding Soemita pria kelahiran Cikatomas, Tasikmalaya, 3 April 1908, tampil menjadi simbol perekat persatuan puluhan ribu buruh asal Jawa di Suriname. Mereka yang datang bersama Iding ke Suriname 25 Oktober tahun 1925, berasal dari desa-desa yang tersebar di seluruh pelosok Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara buruh asal Jawa Barat hanya menempati sebagian kecilnya. Di antara minoritas suku Sunda yang dikirim ke Suriname itu, diisi buruh asal Tasikmalaya.

 

Gelombang migrasi buruh asal Tasikmalaya ke Suriname terjadi secara bertahap dari tahun 1897 sampai 1939. Mereka berasal dari berbagai distrik, seperti Tasikmalaya, Singaparna, Banjar, Ciawi, Manonjaya, Panjalu, Taraju, Karangnunggal, Kawali, Indihiang, Rancah, Cikatomas, dan Pangandaran. Buruh asal Tasikmalaya yang dikirim ke Suriname berjumlah 284 orang dari total 32.956 buruh asal Pulau Jawa, terdiri dari 114 laki-laki dan 70 perempuan, termasuk anak-anak.

 

Iding dipekerjakan di lahan-lahan perkebunan tebu, kakau (coklat), kopi dan tambang boksit. Bersama imigran Sunda lainnya, buruh asal Tasikmalaya meleburkan diri dalam budaya Jawa yang menjadi latar belakang budaya mayoritas.

 

Iding Soemita dikenal sosok kharismatik yang sukses mempelopori perjuangan hak-hak politik bangsa Jawa di Suriname. Iding bekerja di bagian perawat di perkebunan gula Marienburg dan Zoelen. Nama Iding Soemita menjulang di antara puluhan ribu buruh asal Jawa di Suriname.

 

Kiprahnya dimulai saat pria yang lahir di Desa Bengkok, Cikatomas, itu mengusulkan kepada rekan-rekannya untuk menghimpun dana pemakaman secara gotong royong. Dana pemakaman itu nantinya akan digunakan untuk orang-orang Jawa yang meninggal agar dapat dikuburkan secara layak dan terhormat. Usulan Iding disepakati seluruh buruh kontrak Jawa di Malbork.

 

Keberhasilan Iding mengorganisasi dana pemakaman rupanya berkembang menjadi sebuah wacana progresif mengenai semangat pergerakan. Iding berhasil membangkitkan kesadaran bangsa Jawa Suriname, mengenai gotong royong, toleransi, dan kebersamaan.

 

Sebagai sosok antikolonial, Iding tampil ke depan mendampingi para pekerja yang terkena sanksi pidana akibat bolos kerja atau perselisihan perburuhan. Iding berangsur menjadi pemimpin politik yang disegani ketika menyuarakan gerakan pulang ke Tanah Air yang dikenal Moelih n’ Djawa pada 1933.

 

Saat itu kontrak mereka selesai. Pemerintah kolonial menawarkan 3 pilihan kepada mereka. Mereka bisa menambah kontrak baru, menjadi petani di sana, atau kembali ke negara asal. Sekitar 23,3 persen orang Jawa kala itu memilih untuk pulang.

 

Karena perjalanan memakan waktu hampir 3 bulan dengan kapal, banyak yang tidak ingin pulang karena capek. Mereka memilih tetap tinggal di sana sampai akhirnya beranak pinak dan berketurunan.

 

Ketidakkonsistenan pemerintah kolonial tentang pemulangan kuli kontrak ke Jawa setelah kontraknya habis lima tahun ditengarai menjadi alasan munculnya gerakan ini. Puncaknya terjadi pada tahun 1946, Iding Soemita bersama rekan sesesama buruhnya mendirikan perhimpunan pergerakan bernama Persatuan Indonesia (PI).

 

Agenda politik PI menuntut kepada pemerintah Belanda agar segera memulangkan buruh kontrak Jawa Suriname ke tanah air atau lebih dikenal sebagai politik “Nagih Djangjie”. Untuk menopang perjuangan PI, Iding membentuk kelompok militan bernama “Benteng Hitam” dan Pagar Rakyat Indonesia Suriname (PRIS).

 

Pada 1948, Iding mengubah nama PI menjadi “Kaoem Tani Persatoean Indonesia” (KTPI) dan mendeklarasikannya sebagai partai politik. KTPI tampil menjadi partai politik yang mewadahi perjuangan politik bangsa Jawa di Suriname. KTPI turut berpartisipasi dalam gelaran Pemilu Suriname tahun 1949 di distrik Commewijne. Dalam kontestasi tersebut, Iding berhasil mendapatkan jatah kursi parlemen dengan perolehan 2.325 suara.

 

Di Parlemen, Iding aktif terlibat dalam setiap perundingan dengan Belanda terkait kemerdekaan Suriname. Saat ini, menteri perburuhan Suriname dijabat Soewarto Moestaja, yang tampaknya juga merupakan keturunan jawa. Setelah Suriname merdeka tahun 1975, Iding memilih tetap di Suriname, yang perkembangannya mengalami banyak dinamika. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

Menyoal Aplikasi Android Untuk Penerima Subsidi

Author Abad

Nov 02, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023