Hatta bersama kawan-kawan ketika di tempat pembuangan di Digul. Foto Istimewa
abad.id- Seorang inspektur polisi yang berjiwa sederhana, Jacobus Soegeler sedang mengintrograsi Hatta. Dirinya mendengar Hatta, Sukarno dan Syahrir bukanlah lawan yang pantas untuk seorang intelektual bertitel akademis. Pada kesempatan itu, tidak ada debat sengit, juga tidak ada tetesan air mata dari ada pengakuan Hatta. Interogasi-interogasi itu sebenarnya singkat saja. Sepanjang orang yang mengajukan pertanyaan, selanjutnya ingin mencocokkan fakta.
Jika Hatta mengajukan sugesti, akan langsung disangkal dengan nada formal. Menjawab pertanyaan penutup kepada Hatta: “apakah masih ada yang ingin ia tambahkan pada pembelaannya itu”, ia menjawab, “Tidak, karena menurut saya interogasi ini hanya formalitas belaka, ” kata hatta
Memang betul, sebenanya pemerintah Hindia belanda sudah menyiapkan agenda hukuman jauh sebelum intrograsi ini. Bahwa keputusan untuk mengasingkan mereka sudah diambil, dan pada 28 Januari 1935, hatta akan dinaikkcan ke kapal KPM MelchiorTreub dengan tujuan Boven Digoel.
Ada alasan ketakutan Pemerinta Hindia belanda perlu mengasingkan Hatta. Pertama karena keterlibatnnya dalam PNI-Baru yang akan melakukan gerakan me-revolusionerkan para buruh. Dalam usaha ini ia tidak akan ragu-ragu menggunakan senjata pemogokan. Akhir-nya, jaksa agung mendukung pendapat yang dikemukakan oleh direktur departement Kehakiman,Schrieke, bahwa sebagai tindakan preventif, perlu mengusulkan menggunakan kuasa darurat terhadap pimpinan PNI-Baru. maka pengasingan sebagai tindakan preventif belum ada preseden aksi mogok buruh.
Ada alasan lain yang patut dicurigai kegiatan Hatta, yaitu bulan April dan Mei 1933, mengunjungi Jepang. Dari keterangannya, melakukan kunjungan sebagai kedudukan penasihat pamannya, seorang pengusaha sukses yang punya hubungan dagang dengan Jepang. Namun kecurigaan ini gtetap beralasan, sebab sehari sesudah kedatangan mereka, sebuah harian Jepang menulis tentang Hatta, “bahwa pemimpin nasionalis muda ini adalah sang 'Gandhi dari Jawa', tumpuan harapan penduduk pribumi yang berkeluh kesah di bawah jajahan Belanda".
Bahkan Hatta diundang wali kota Tokyo untuk menghadiri pesta makan yang khusus diadakan untuk menghormati sang 'Gandhi dari Jawa' itu. Kecurigaan Hatta saat itu, kedutaan besar Belanda di Tokyo sudah mengawasinya. Kedutaan besar Belanda sudah menolak hadir.
Sebenarnya Hatta bukannya tidak takut menghadapi reaksi pemerintah Hindia Belanda. Justru lebih takut dengan kelompok nasionalis lain yang berkesimpulan kedatangannya ke negeri Sakura untuk dipersiapkan oleh para imperialis Jepang. Maka dengan pengasingan Hatta, harapan imperialis Jepang mengunakan Hatta sebagai kolaburator akan sia-sia.
Hatta Diasingkan ke Didul Dilepas Keluarga
Hari itu awal Desember 1934. Bondan seorang golongan Nasionalis bersama Hatta telah dipindahkan dari Glodok ke bui Struyswijk (Gang Tengah), tempat tahanan sementara orang-orang yang akan dimajukan ke muka pengadilan. “Rombongan ditempatkan pada ruang yang memanjang dengan tulisan "Europeanen en Communisten, Jadi, dalam bui itu rombongan tidak terpisah dengan tahanan yang lain,” kata Hatta dalam otobiografi Berjuang dan Dibuang Untuk Negeriku .
Perbedaanya hanya mereka pagi mendapat roti, tengah hari dan malam hari mendapat kentang dan daging. Hatta sebagai inlander mendapat makanan orang bui biasa, seperti yang dialami dalam penjara Glodok. Sering orang-orang "Europeanen" itu meminta bertukar makanan. Sekali-sekali pula Hatta terima sambil mengejek, "Kamu orang Europa dan dikasih makanan Europeanen juga." Kata Hatta
Turun serta dalam rombongan Syahrir , Bondan dan teman-teman lain dari Bandung, Maskun beserta istri, Murwoto beserta istri, Burhanuddin dan dua orang keturunan Tionghoa berasal dari Medan. Foto Istimewa
Pada minggu pertama bulan Januari 1935, Bondan dan Hatta disuruh bersiap-siap untuk dibawa ke Tanjung Priok dan akan berangkat dengan kapal KPM Melchior Treub jurusan Boven Digul. Sesudah orang tahanan dikeluarkan, kemudian disuruh ganti baju. Hatta membawa 2 kopor isi pakaian yang dixampur buku serta kopor lain khusus berisi buku. Barang bawaaan besar dinaikkan ke sebuah mobil gelap yang terbagi atas tiga ruang tempat cukup untuk masing-masing berdiri. Ternyata ruang pertama sudah diisi Sutan Sjahrir yang lebih dahulu diambil dari penjara Cipinang. Hatta berada di ruang kedua dan ruang ketiga diisi Bondan. Setelah mobil berangkat, Sjahrir terus bicara dan mulailah bicara satu sama lain.
Di Tanjung Priok, rombongan diminta naik ke atas kapal Melchior Treub. Sjahrir dan Hatta ditempatkan di kelas lI, Bondan dan teman-teman lain dari Bandung, Maskun beserta istri, Murwoto beserta istri, Burhanuddin dan dua orang keturunan Tionghoa berasal dari Medan ditempatkan di atas dek. Sjahrir dan Hatta hanya turun ke bawah untuk tidur saja. Sepanjang hari mereka bergaul dengan teman-teman di dek. Rupanya dek kelas II itu dikosongkan sama sekali dari penumpang biasa.
Dari kiri ke kanan, bersama lbu dan keempat adik Hatta, Basariah, Bariah, Halimatuh Sadiah, lbuku Siti Saleha, Zakiah, Hatta, dan Rafi'ah bergambar bersama-sama sebelum berangkat ke tempat pembuangan di Digul. Foto istimewa
Kapal itu singgah di Surabaya sebentar, tetapi tidak merapat. Sebelum kapal berangkat, datang ke kapal menemui Hatta seorang bernama Saerun, redaktur kepala surat kabar Pemandangan. la tawarkan kepada Hatta supaya menulis dua kali sebulan untuk surat kabar Pemandangan dan honorariumnya dihitung f 5 per kolom. Hatta merasa lega menerima tawaran itu karena sudah ada jaminan hidup.
Sesudah dua hari, kapal memasuki pelabuhan Makassar. Sebelum kapal merapat di pelabuhan, rombongan diturunkan di kapal motor dan dibawa mendarat di pelabuhan. Di pelabuhan, rombongan disambut oleh seorang komisaris polisi yang namanya Asquin. Waktu Hatta belajar di PHS, keduanya pernah duduk satu kelas.
Rombongan "disimpan" selama seminggu dalam penjara. Di penjara itu, laki-laki menempati satu ruang besar dan waktu dihabiskan dengan main catur. Istri Maskun dan Murwoto dapat berjalan-jalan keluar melihat-lihat kota, sebab mereka tidak terhitung orang buangan.
Sesudah seminggu dalam penjara Makassar, rombongan dinaikkan ke kapal KPM Van der Wijck menuju Ambon. Kapalnya sudah lebih kecil. Di Ambon rombongan ditempatkan seminggu di sebuah kantor polisi. Tampaknya ruang kerja polisi itu sengaja dikosongkan untuk menjadi tempat tahanan. Dari celah jendela kaca jalan besar dapat dilihat. Hatta bisa melihat rakyat Ambon tahu golongan nasionalis berada dalam ruangan kantor polisi itu.
Seminggu kemudian, rombongan dibawa naik kapal lagi. Semakin jauh dari Batavia, kapal yang digunakan makin kecil. Dari Ambon rombongan naik kapal polisi Albatros. Menurut istilah rakyat, biasa disebut kapal putih karena warnanya memang putih.
Beberapa hari kemudian, kira-kira pukul 20.00 malam, kapal Albatros sempat macet di lumpur di pantai Irian Barat Selatan karena sedikit kesasar di muara kali Digul. Selama satu jam kemacetan itu baru dapat diatasi. Di tengah malam itu rombongan tak dapat melihat apapun, karena semuanya gelap. Pagi harinya barulah rombongan dapat "menikmati" panorama rimba di kanan dan kiri. Semakin jauh malam, kali Digul semakin pasang.
Hatta sendirian duduk-duduk di dek bagian ujung memperhatikan arus air yang berlawanan dengan laju kapal. Hatta melihat kapal putih itu sedikit menyimpang jalannya. Lalu menabrak satu pohon yang menjulang di atas kali. Rupanya juru mudinya sedang mengantuk.
Tiba di Tanah Merah
Pada tanggal 28 Januari 1935 siang, rombongan akhirnya sampai di Tanah Merah. Setelah selesai administrasi, rombongan diterima oleh panitia penerimaan yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang datang lebih dahulu. Wedana dan lurah kampung Tanah Merah mengantarkan rombongan sampai ke rumah yang sudah disediakan buat Hatta. Hanya Hatta saja yang mendapat sebuah rumah yang sudah jadi.
Kini persoalan bau muncul, sebab bagaimana mengangkut barang-barang dari bestuursterrein ke kampung pembuangan. Jaraknya kira-kira satu setengah kilometer. Antara bestuursterrein dan kampung pembuangan terletak sebuah tangsi tentara. Lebar jalan yang ditempuh kira-kira satu setengah sampai dua meter.
Seorang anggota panitia penerimaan mengusulkan kepada Hatta agar minta bantuan tenaga Kayakaya (penduduk asli) untuk mengusungnya. Lalu, Hatta menerima usulan itu. Rombongan berunding dengan seorang Kayakaya yang menjadi pemimpin. Ia meminta ongkosnya satu uang kelip untuk tiap-tiap peti. Uang kelip nilainya 5 sen, bentuknya bundar dan berlubang di tengahnya. Rombongan segera menerima tawarannya itu. Setelah selesai, berjalanlah rombongan semuanya menuju kampung pembuangan.
Akhirnya sampailah Hatta dan rombongan di rumah yang disiapkan pemerintah. Turut serta berupa kopor dan peti besi berisi buku-buku. Di rumah itu sudah menunggu Sutan Said Ali, yang dikenal hatta sekitar tahun 1918 dan 1919 di Padang sebagai guru di Sekolah Adabiah, serta istrinya, Uni Umi.
Membaca Lebih Tenang di Keheningan Digul
Buku-buku sama penting dengan orang yang membawanya. Buku itu ikut dalam rombongan pembuangan dari Batavia ke Digul yang jaraknya 8 ribu kilometer. Ternyata buku yang awalnya dianggap beban perjalanan ini sangat bermanfaat untuk bahan bacaan. Buku itu kebanyakan dalam bahasa Belanda, dan jarang ditemukan.
Dua kali seminggu Hatta memberikan pelajaran kepada Boerhanuddin, Bondan, dan Suka, tentang ekonomi dan sekali tentang filsafat. Biasanya pelajaran ini diberikan antara pukul 10.00 dan pukul 11.00. Pada malam hari sesudah makan, banyak kawan yang lama dan baru datang ke rumah Hatta.
Demikianlah hidup Hatta seterusnya selama Hatta berada di Boven Digul. Menurut Hatta terpenting adalah menjaga kesehatan. Untuk itu, Hatta membiasakan tidur malam mulai pukul 22.00. Pukul 05.00 pagi Hatta sudah bangun. Selama di Boven Digul, dua kali Hatta diserang sakit malaria. Apabila mendapat serangan itu, Hatta segera ke rumah sakit untuk memperoleh obat yang setiap hari harus ditelan pil kina 6 biji. (pul)