Hatta dan Sjahrir, akhir tahun 1935 dipindahkan ke Banda Neira, pulau terbesar di gugusan kepulauan Banda di Maluku Tengah. Foto dok net
abad.id- Hatta dan Sjahrir di bulan Januari 1935 diasingkan ke Boven-Digoel. Mereka tidak lama tinggal di sana. Di akhir tahun di tahun yang sama, mereka dipindahkan ke Banda Neira, pulau terbesar di gugusan kepulauan Banda di Maluku Tengah. Dalam Soekarno Biografi tulisan Lambert Giebels mengatakan, Banda Neira seperti taman firdaus di dunia. Oleh karena itu, Hatta maupun Sjahrir tidak kecewa dengan tempat pengasingan yang baru ini. Sjahrir melukiskannya dalam salah satu suratnya kepada Maria Duchâteau,
“Kadang-kadang saya berdiri di dermaga tua ini, melihat matahari terbenam. Di depan saya teluk yang indah, di bawah saya,air yang begitu jernih, berwarna biru muda, di latar belakang Banda Besar,gelap,berbukit, sedang di sebelah Timur tampak Gunung Api yang berbentuk kerucut. Belum pernah saya melihat bulan dan bintang begitu bagus, begitu besar dan cemerlang seperti di sini. Kadang-kadang bulan pun seperti memancarkan kehangatan. Kalau terang bulan, di luar kita bisa membaca seperti waktu siang hari."
Awalnya Hatta dan Sjahrir tinggal di daerah tempat tinggal orang-orang Eropa. Mereka tinggal di sebuah rumah bekas pemilik perkebunan. Rumah tersebut dibangun dengan gaya klasik oleh pemilik perkebunan cengkeh kaya di kepulauan Banda. Rumah itu mempunyai enam ruangan besar dan halaman belakangnya sebesar lapangan tenis.
Sjahrir, Sukarno dan Hatta
Kedua orang buangan ini diperlakukan sebagai dua orang tunggal yang tinggal serumah. Mereka masing-masing menerima tunjangan sama besarnya dengan yang diterima Soekarno di Ende, yaitu 150 gulden per bulan. Berbeda dengan di pembuangan Digul, mereka tidak mengeluh mengenai hal itu. Pengeluaran tunjangan untuk kebutuhan sewa rumah besar yang ditempatinya hanya 12,50 gulden per bulan, 10 gulden untuk mempekerjakan seorang koki dan 6 gulden untuk seorang pembantu rumah tangga.
Begitu tiba di Banda, Hatta tidak sulit beradaptasi. Dia masih tekun melakukan studi, dan memboyong 15 peti berisi buku dari Digul. Setelah beberapa waktu Hatta mulai menulis untuk majalah Cina Sin Tit Po. Kemudian ia menjadi koresponden untuk harian Indonesia di Batavia. Dari kegiatan menulis ini, Hatta mendapat bayaran 50 gulden per bulan. Rublik yang diasuh mengenai persoalan-persoalan ekonomi. Topik favoritnya adalah koperasi. Ia melihat jenis-jenis koperasi konsumen, produsen dan kredit sebagai obat mujarab bagi perkembangan ekonomi Indonesia jika merdeka.
Dalam masa pengasingan di Banda, Sjahrir juga pernah mengirim artikel untuk majalah sastra Pujangga Baru. Tulisan tentang budaya dan falsafah Barar dan Timur dengan mistik dan rasa rendah diri kaum pribumi.
Setiap hari mereka mengajar di sekolah dasar pulau tersebut. Lalu mereka juga menjadi dosen bagi beberapa orang murid yang berasal dari Minang. Mereka mendapat pendidikan taraf sekolah menengah, Hatta mengajar ekonomi dan tata buku, Sjahrir bahasa Inggris, ilmu pasti, dan sejarah.
Mereka hidup tenang. Jika ada waktu luang main bridge dengan seorang pasangan suami istri dokter orang Jawa, dan kadang-kadang pergi nonton bioskop di kota. Saban sore dengan mengenakan celana pendek, Hatta bermain sepak bola di lapangan rumput sampai lelah. Sedangkan Sjahrir sering mengunjungi nona Cresa, seorang cacat yang tidak bisa keluar dari kursi rodanya. Sjahrir membacakan Alkitab, lalu bersama-sama mendengarkan piringan hitam.
Selama sebulan di Banda Neira, Sjahrir pernah mengajukan permohonan kepada penguasa untuk mendatangkan istrinya Maria Duchâteau dengan anak-anaknya. Permohonan ini ditolak. Mereka kemudian melanjutkan hubungan rumah tangga 'jarak jauh' yang tidak pernah tahu titik temu kapan akhirnya.
Dari Banda, Sjahrir menulis beratus-rarus surat kepada Maria yang kemudian menjadi bahan untuk buku berjudul Indonesische overpeinzingen (Renungan Indonesia) yang diterbitkan Maria Ducháteau. Di buku itu Sjahrir menulis tentang kejadian sehari-hari.
Salah satunya diceritakan ia diserang malaria. Dalam surat lain ia menceritakan tentang rumah-rumah yang baru dibangun."Beberapa di antaranya saya merasa melihat unsur-unsur gaya Soekarno"
Tentang buku Huizinga In de schaduwen van morgen (Dalam bayangan hari esok) yang sedang dibaca, Sjahrir merenung,
"Belanda, penuh dengan pagar, parit dan batas-batasnya memberi gambaran sempurna dari jiwa orang Belanda. Erika orang Belanda bersumber dalam Calvinisme, diwarnai dengan ciri-ciri khas Belanda; kecenderungan untuk mencari ketenangan, keteraturan, keseimbangan, suatu kehidupan kejiwaan yang kurang lebih beku. Di dalam kehidupan orang Belanda lebih banyak pembatasan daripada kebebasan."
Dalam surat-suratnya, Sjahrir sama sekali tidak menggambarkan suatu Indonesia yang terlepas dari Belanda. Malah sebaliknya. Bila dalam suatu surat teranggal 17 Agustus 1937 ia bertanya kepada dirinya sendiri siapa dan apa dia, "Saya bukan sescorang yang tergila-gila pada Belanda, walaupun saya tahu bahwa, oleh karena pendidikan saya, saya sebenarnya setengah Belanda.Tetapi saya mempunyai kenangan yang indah akan negara kecil itu, yang begitu dibenci oleh kebanyakan dari kami di sini.”
Walaupun tidak beristri, di Banda Neira, Sjahrir membentuk keluarga baru. Ia menyayangi anak-anak muridnya, sampai mengangkat tiga anak dari mereka, yaitu seorang anak laki-laki bernama Des Alwi dan dua anak perempuan, Lily dan Mimi. Mereka keturunan Arab. Sesudah itu, masih ada tambahan lagi seorang bayi berumur delapan bulan. Anak-anak angkat ini memanggil Hatta 'om Kacamata' 'Om Kacamata'.
Karena tidak tahan dengan kebisingan anak-anak di dalam rumah, kedua orang buangan ini mengambil keputusan untuk menghuni rumah masing-masing. Hatta mendapatkan rumah mewah bekas rumah perkenir (tuan kebun). Ia hanya menyewa 10 gulden, karena rumah itu dianggap dihuni setan. Ada kabar bahwa salah seorang penghuni sebelumnya meninggal dunia akibat sebab-sebab misterius. Sedangkan Sjahrir pindah ke paviliun dari orang tua Mimi, dan membaktikan hidupnya kepada keluarganya. Ia mengajar mereka, memasak bersama, dan membeli mesin jahit Singer untuk membuat baju anak-anak.
Agaknya kedua pria itu pasrah pada nasibnya. Mansoer, yang pernah berusaha membantu Soekarno, menawarkan membantu pula Hatta agar bisa dipindahkan ke Makassar. Namun kenyataannya Hatta justru menolak. Sementara Sjahrir semakin lama mulai menjauhi politik. Bahkan Sal Tas, yang sebelumnya terus bertukar surat, berkata bahwa Sjahrir dengan sepenuh hati telah menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang bapak. Sal Tas yang sekaligus mantan suami Maria menilai, “Di lubuk hatinya Sjahrir sama sekali tidak menyukai politik". (pul)