Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid
abad.id Hal yang menonjol mengevaluasi Syarwan Hamid di pemerintahan Orde Baru, ia menduduki posisi di bidang politik. Syarwan selalu membuat pernyataan yang terkesan datar namun punya standar ganda. Sangat berbeda apa yang disampaikan para menteri lain pada masa itu.
Sosok Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid adalah anak nomor empat dari lima bersaudara, lahir di dusun Pusake, kecamatan Sri Indrapura, Kabupaten Bengkalis Riau, 10 November 1943. Dari orang tua pasangan Abdul Hamid dan Cik Mas. Ia punya kisah romantik masa kecil yang biasa dialami anak-anak Dusun Pusake, yaitu berkelahi, berenang di sungai Siak. Kadang juga ikut ramai-ramai adu ayam seperti sebuaha kenikmatan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia anak-anak.
Syarwan Hamid ketika menjadi Taruna AMN. Foto Istimewa
Dalam buku Biografi Politik Dari Orde Baru ke Orde Reformasi tulisan Syarwan Hamid, mengaku penyebab menjadi sangat percaya diri dalam berpolitik dan birokrasi karena terlalu lama menjabat di bidang dinas penerangan ABRI. Pola bergaul dengan wartawan, intelektual dan kelompok sipil telah menempanya menjadi pribadi seorang pembelajar. Syarwan Hamid harus selalu sering berdiskusi, membaca, untuk menerangkan hasil keputusan ABRI kepada media secara tepat.
Wartawan selalu mengenal Syarwan dengan istilah-istilah yang baru setiap kali jumpa pers. Istilah tersebut berupa bermacam-macam idiom bahasa dan akan selalu menjadi Headline di surat kabar. Meskipun seringkali tidak mengenakan bagi pihak lain yang menjadi sasaran. Seperti istilah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), Kiri Kuno, Kiri Baru (New Left), kelompok radikal, kelas menengah, dan ekstrem kanan. Istilah-istilah ini tidak terlepas dari kekhasan sebagai orang militer yang selalu bersikap waspada, walau terkadang berlebihan dan cenderung tendensius.
Definisi dari istilah-istilah ini memang perlu penjelasan lebih jauh guna menghindari arti ganda dan penerapannya sering membingungkan masyarakat. Contoh pernyataan Syarwan seperti ini,
“Kassospol ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid mewaspadai kelompok menengah baru, kelompok radikal, dan kelompok mengarah pada standar ganda dalam proses demokratisasi yang mempunyai potensi kerawanan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,”.
“Kelompok terkecil dari masyarakat yang belum puas pada sistem yang ada serta ingin mengubah secara radikal dan revolusioner dengan sistem baru. Kelompok ini dapat bergerak sendiri secara perorangan dan dapat pula berlindung dalam suatu wadah NGO,”.
“Contohnya Forum Demokrasi, Komite Independen Pemantau Pemilu, dan partai baru seperti Partai Uni Demokrasi Indonesia, Partai Rakyat Demokratik, dan lain-lain yang cenderung anti kemapanan dan bersikap asal beda,”.
Pernah juga Syarwan Hamid melontarkan istilah dengan nada insinuasi yang lebih spesifik, misalnya mengenai keberadaan komunisme di Indonesia sebagai sebuah gerakan politik. Dimana Syarwan menyatakan,
“Setelah gagal mereka beralih ke tesis Gerakan komunis menitikberatkan gerakannya di desa perjuangan bersenjata, menurut pengalaman Sovyet, RRC, dan Indonesia. Setelah berhasil ditumpas mereka beralih ke Organisasi Tanpa Bentuk (OTB)”.
Mungkin pernyataan Syarwan ada benarnya benar. Bahwa gerakan komunis Indonesia saat itu masih survive, bahkan sedang menunjukkan gejala kebangkitannya. Namun ketika Syarwan memilih istilah OTB sebagai idiom indikator kebangkitan gerakan komunis, justru membuat kelompok lain yang tersinggung. Terutama kalangan organisasi keagamaan.
Ketika dia dikritik karena telah mempergunakan istilah-istilah politik secara tidak tepat dan cenderung mengaburkan sasaran audiens dari lontaran yang diajukannya, Syarwan menjawab dengan serius,
“ABRI bukan mencari kambing hitam, tetapi OTB benar-benar ada," tandas Assospol Kassospol ABRI Mayjen TNI Syarwan Hamid pada “Dialog VII”Fosko 66 di Jakarta (14/10).
Hingga akhirnya penggunaan istilah OTB dan ekstrim kanan benar-benar menjadi isu nasional yang kian melebar dan tidak jelas ujung pangkalnya. Terpaksa Ketua Tanfidziyah PWNU Jabar, Syarif Muhammad, ikut tersinggung dengan pernyataan bahwa NU dikategorikan sebagai ekstrim kanan.
Setelah kewalahan karena dikritik oleh banyak pihak, akhimya Syarwan menjadi defensif. Sebagai Assospol Kassospol ABRI Mayjen TNI Syarwan Hamid menegaskan, pembicaraan organisasi tanpa bentuk (OTB) sudah berkembang di luar substansi. “Karena itu kita stop dulu bicara OTB," ujar Syarwan.
Istilah OTB sebenarnya merupakan konsep politik bukan konsep bahasa, atau konsep organisasi lazimnya. Karena itu, tidak dapat didekati dari segi bahasa atau organisasi secara murni. Dengan demikian sulit dimengerti jika ada tuntutan agar meninjau kembali kebenaran istilah OTB ini, sebab tuntutan itu harus dialamatkan pada PKI bukan, pada ABRI.
Maka logis banyak orang cukup risih mendengar istilah-istilah yang Syarwan lontarkan. Misalnya Ridwan Saidi dengan halus mengatakan, Langkah urgen harus diambil (oleh Syarwan,ed.) adalah menjernihkan semua idiom yang dilontarkan, seperti Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).
“Perlu ungkapan berupa konsep politik ini merupakan konsekuensi logis keberadaan Syarwan dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru yang membangun loyalitas melalui pengkooptasian elemen-elemen masyarakat. Istilah akademiknya disebut koorporatisme negara,” kata Ridwan Saidi.
Sementara itu pilihan untuk melakukan intervensi politik di semua aspek organisasi tidak lepas dari kepentingan politik Orde Baru saat itu. Dimana jika tidak ikut terlibat dalam proses politik sebagaimana yang dikehendaki penguasa Orde Baru, maka berakibat terhambatnya perjalanan karir seseorang. Sedangkan sosok Syarwan Hamid perlu dipertahankan oleh Orde Baru, karena salah satunya dikenal sangat piawai dalam menjawab pertanyaan wartawan yang kritis terkait tuduhan ABRI terlihat dalam upaya menjinakan Partai Demokrasi Indonesia.
"ABRI tidak pernah membeking PDI tandingan yang muncul di beberapa daerah. Munculnya kepengurusan tandingan, karena proses sebab akibat, yang harus diselesaikan sendiri oleh Orsospol bersangkutan."
“Kalau ada yang ngomong dibeking ABRI, karena dia merasa tidak mendapat tempat, sehingga ngomongnya begitu."
“Munculnya persoalan intern suatu organisasi biasanya karena tidak terakomodasinya aspirasi. Hal yang sama juga terjadi di tubuh Nahdlatul Ulama, sehingga membuat persoalan berlarut-larut.”
"Kongres PDI yang sebentar lagi bakal digelar merupakan solusi akhir dari konflik berkepanjangan di tubuh banteng itu, karena selama ini mereka tidak menjalankan musyawarah. ABRI siap mengamankan jalannya kongres, di manapun kongres itu diselenggarakan."