images/images-1686912991.jpg
Indonesiana

Tidak Mudah Menjadi Indo di Indonesia

Pulung Ciptoaji

Jun 16, 2023

770 views

24 Comments

Save

Situasi sebuah kamp konsentrasi jaman Jepang. Foto Youtube

 

abad.id- Nasib orang indo sejak Jepang melakukan ekspansi ke Indonesia sebenarnya sudah tidak menentu. Sebagian besar orang keturunan pribumi dan Belanda ini hidup dalam kamp tawanan Jepang, tapi yang bebas pun tak lepas dari penderitaan.

 

Keluarga Diet Prawira Adiningrat menceritakan sepenggal kisah perjalanan dari kamp-kamp di sebuah wawancara majalah femina tahun 1980an.  Kini keluarga Diet Prawira Adiningrat memilih menjadi warga negara Indonesia, namun untuk melebur dan menetap di tanah kelahirannya tidak mudah.

 

Saat pendudukan Jepang, Diet Prawira Adiningrat masih gadis berusia belia. Keadaan yang penuh penderitaan dialami bersama orang tuanya. Meskipun mereka bukan peranakan Belanda, seperti orang indo lainnya tetap mendapat perlakuan yang sama.

 

Saat itu Diet tahun 1942, tak mengerti apa yang terjadi ketika orang tuanya mengajak pindah dari Lampung ke Jakarta. Sembunyi-sembunyi. Sepertinya sang ayah sedang diincar oleh pemerinlah Jepang, karena ikut terlibat membakar pabrik-pabrik dalam rangka polik bumi hangus.

 

Di Jakarta keluarga Diet Prawira Adiningrat tetap merasa kurang aman, karena menumpang di sebuah keluarga. Sang ayah memutuskan untuk menetap di Lawang, di sebuah rurah nilik oma (nenek dari pihak ibu). Di kota kecil ini, keluarga Diet Prawira Adiningrat berkumpul bersama saudara-saudara lain beserta anak- anaknya.

 

Tidak berapa lama, peristiwa besar mulai merubah kehidupan keluarga Diet . Jepang memerintahkan kepada semua orang indo agar antri untuk diperiksa asal-usulnya. Keluarga Diet tidak terkecuali karena tidak sepenuhnya asli Indonesia. “Ibuku keturunan campuran Bugis dengan Jerman. Sedangkan ayahku campuran antara Frisland dengan Nias,” kata Diet.

 

Jepang menggunakan hasil pemeriksaan ini untuk menentukan apakah seorang indo harus masuk kamp Jepang atau tidak. Dari pemeriksaan ini, sang ibu dan Diet bebas dari keharusan masuk kamp karena masih 50 persen Indonesia. Namun tidak demikian dengan sang ayah. Ia harus masuk kamp Jepang.

 

Bagi Diet, hidup diluar tahananbukan berarti lebih bahagia. Namun  justru memperoleh kesulitan dalam hal mencari sumber pangan. Sejak itu sang ibu harus menjadi penanggung jawab keluarga. “Mula-mula ayah saya masuk kamp Celaket, Malang. Setelah itu dipindah ke Kesilir, Banyuwangi. Sebulan sekali, selama ayah di kamp kami boleh menengok sambil membawakan makanan seadanya. Perjalanan menuju kamp Kesilir memakan waktu hampir semalam suntuk,” kata Diet.

 

Untuk bisa menjenguk sang ayah di kamp Kesilir, Diet harus berangkat dari Lawang pukul 06.00, sampai di Benculuk pukul 21.00. Lalu menginap di rumah orang kampung yang memang menjadikan rumahnya sebagai penginapan. Baru paginya, Diet berangkat ke Kesilir naik dokar. “Selama perjalanan kereta api Lawang-Benculuk, hati kami senantiasa dag-dig-dug. Soalnya sering terjadi, ibu-ibu yang hendak menengok suaminya, bekalnya dirampas orang. Bahkan ada juga yang sampai dilempari batu,” cerita Diet.

 

Dari kamp Kesilir tersebut, sang ayah dipindah lagi ke kampTangerang, sebelah barat Jakarta. Di sana konon ia hampir meninggal dunia karena selama setengah tahun mendapat perlakuan yang kurang manusiawi. “Bayangkan, satu sel ditempati 8 orang, sedangkan makannya hanya tajin atau bubur sagu.”

 

Selama di kamp Tangerang, Diet sudah tidak pernah bisa menengok karena jaraknya jauh, serta tidak tahu persis temnpat tahanannya. Setelah itu sang ayah dipindahkan lagi ke kamp Cimahi. Disini keadaan sang ayah lebih baik. Namun selama itu Diet Prawira Adiningrat putus hubungan dengan sang ayah.

 

Selama ditinggal sang ayah, keluarga Diet harus bekerja keras untuk menyambung hidup. Bersama sang ibu berjualan kue dan jajanan dari kampung ke kampung. Banyak juga orang Jepang yang membeli. “Barangkali karena yang menawarkan dagangan anak kecil, orang Jepang meskipun kejam namun terhadap anak-anak mereka sangat baik,” cerita Diet.

 

Keluarga Diet Prawira Adiningrat langsung jatuh miskin. Diet masih ingat, satu-persatu perhiasan sang ibu habis terjual. Agar bisa tetap minum susu, sang nenek memelihara seekor kambing yang bisa diperah susunya. Untuk lauk, acapkali Diet mencari bekicot. “Oma pandai sekali memasak bekicot sehingga rasanya mirip ampela ayam. Kami bertahan dalam keadaan seperti ini hingga kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,” kata Diet. 

 

Kabar baik datang pada pertengahan Agustus 1945 saat Jepng menyerah kepada Sekutu. Tiga hari kemudian, para tawanan Jepang dibebaskan. Sang Ayah yang saat itu berada di kamp Cimahi segera berusaha kembali pulang ke Lawang. Meskipun ia sama sekali tak punya uang, sang ayah berhasil minta bantuan dari saudaranya yang tinggal di Jakarta. Sehingga bisa sampai dengan selamat di Lawang, “Pertemuan dengan ayah membuat perasaan kami seperti baru melihat sinar matahari setelah sekian lama diliputi mendung,” kenang Diet.

 

Namun kebahagiaan keluarga Diet masih dicekam ketakutan, sebab perang masih berkecamuk. Melihat situasi Lawang yang mulai banyak letupan perang,  sang ayah merencanakan untuk pergi ke Jakarta. Namun ketika hendak berangkat, keadaan sudah tidak memungkinkan. Di mana-mana pecah pertempuran, sehingga jalan tertutup. Bahkan ketika hendak ke Surabaya pun, banyak orang melarang karena keadaan sudah sedemikian genting. Ternyata di Surabaya sedang terjadi pertempuran hebat antara rakyat melawan tentara Inggris. Pertempuran itu menimbulkan banyak korban di pihak Indonesia maupun di pihak lawan.

 

Saat itu keluarga Diet tidak tahu keadaan di luar. Untunglah sang ayah mempunvai kenalan seorang inspektur polisi di Lawang yang banyak membeikan keterangan tentang keadaan di kota     lain.  Untuk memperoleh infornasi itu, sang ayah harus pergi ke belakang rumah malam-malam. Sang polisi mengabarkan akan ada aksi boikot.

 

Mula-mula air mati, lalu listrik ikut menyusul. Bahkan hendak ke pasar pun tidak boleh. Aksi boikot seperti ini membuat keluarga Diet Prawira Adiningrat sangat menderita. Untuk mandi dan mencuci harus pergi ke kali yang jaraknya jauh. Sedangkan untuk memeroleh bahan makanan diperoleh dari tetangga orang Indonesia yang baik. “Biasanya malam-malam ada orang datang mengantar telur, beras dan sayuran. Aku masih ingat orang yang selalu mengantar itu namanya Pak Salam. Aku sering diajaknya main ke Gunung Tengger naik cikar untuk mengambil jagung, singkong dan rumput makanan sapi. Aku bantu Pak Salam membersihkan hasil kebunnya dan biasanya aku mendapat bagian untuk dibawa ke rumah,” kenang Diet Prawira Adiningrat

 

Usai pertempuran 10 November, keadaan di sekitar Malang bagi orang indo justru semakin mengkhawatirkan. Mereka yang ikut gerilya dalam pertempuran 10 November tidak semuanya dari Tentara Republik Indonesia (TRI), namun sebagian gerombolan liar. Gerombolan liar inilah yang membuat orang indo ketakutan. Mereka secara membabi buta membinasakan orang-orang yang dulu dianggap pro Belanda.

 

Untuk mencegah meluasnya kekacauan gerombolan liar ini, pemerintah menyerukan kepada warga indo agar masuk ke kamp. Namun seruan ini tidak dihiraukan. Mungkin karena mereka baru saja bebas dari kamp, sehingga pikirnya masih trauma tinggal di kamp lagi.

 

Kabar buruk datang saat gerombolan liar tersebut membunuh Komisaris Polisi Bambang Sumadi yang sangat dekat degan keluarga Diet. Gerombolan itu menyerbu rumahnya pada malam hari. Tetangga yang menyaksikan kejadian itu tidak dapat berbuat banyak karena takit dengan sikap kejam. Sejak itulah, orang-orang indo percaya kepada imbauan pemerintah.

 

Orang-orang indo kemudian masuk ke suatu kamp sejenis perumahan yang di depannya diberi pagar tinggi dan dijaga polisi. Di kamp itu semua bahan makan sudah disediakan. Mereka tidak diperbolehkan keluar. Keadaan ini berlangsung sampai terjadi kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Relief of Allied Prisoners or War and Internees (RAPWI) untuk saling menukar tawanan.

 

Pertukaran tawanan itu terjadi pada pertengahan tahun 1946. Keluarga para indo dikirim dengan kereta api ke Bekasi. Kereta ditutup rapat-rapat sehingga dari luar tidak terlihat siapa yang naik. Sebelum rombongan diturunkan dari kereta, petugas palang merah menyemprotkan obat serangga DDT. Mereka menganggap para pengungsi ini pembawa kuman sehingga harus dibasmi dulu kumannya.

 

Setiba di Bekasi, Diet masuk di sebuah pos penjagaan yang jaga orang Inggris. “Namun saat melihat wajah-wajah kami yang kebanyakan cokelat seperti orang Indonesia, mereka tidak mau menerima. Malah mereka mengatakan orang-orang harus kembali ke tempatnya,” kenang Diet Prawira Adiningrat

 

Mendengar jawaban itu , keluarga Diet sangat kesal. Sudah jauh-jauh dibawa ternyata harus dipulangkan. Padahal untuk kembali ke Jawa Timur tentu tidak mungkin karena kami sudah tidak punya tempat lagi. Saking kesalnya, sang ayah berteriak, "Bawa kami ke Jakarta!".

 

 Waktu itu Jakarta di bawah kekuasaan Nica. Namun orang-orang Inggris itu tetap tidak mau tahu. Pihak Indonesia tentunya juga kesal karena dengan kejadian ini orang-orang Indonesia yang ditawan tidak bisa segera keluar. Saat itu masing-masing pihak dalam keadaan tegang. Beruntung sebelum terjadi insiden, datang tentara Belanda.

 

Setelah itu keluarga Diet Prawira Adiningrat dan orang-orang indo lain yang belum tahu nasibnya dikirim ke Manggarai.  Di sini keluarga Diet Prawira Adiningrat disambut oleh palang merah. “Kami diberi roti dan minum susu. Aduh, lahap sekali kami makan. Maklum sudah bertahun-tahun tidak pernah melihat roti. Aku sendiri karena lama tidak minum susu, sekalinya minum langsung mencret,” kenang Diet Prawira Adiningrat

 

Baru saja tiba di Jakarta, keluarlah maklumat pemerintah bahwa orang indo yang tidak memiliki pekerjaan harus segera meninggalkan Jakarta. Sejak saat itu orang tua Diet segera mencari pekerjaan agar bisa lebih lama sebelum memutus untuk kembali ke Lampung. Kebetulan sang  ibu seorang guru, sehingga mendapat pekerjaan sebagai pengajar di sebuah sekolah. Sang ayah juga mendapat pekerjaan sebagai pegawai biro perbaikan.” Kami tinggal di Jakarta sampai tahun 1949. Setelah itu ayah dan ibuku kembali ke Lampung dan aku meneruskan belajar di Jakarta,” cerita Diet Prawira Adiningrat

 

Pada tahun 1949, pergolakan batin keluarga Diet Prawira Adiningrat belum juga berakhir. Ibu yang banyak menderita selama ayah berada di kamp tawanan, cenderung memilih ingin tinggal di Belanda. Menurut pikiran ibu, di Belanda kehidupan akan lebih terjamin dan Diet bisa mendapat pendidikan yang lebih baik. Namun sang Ayah lebih berat meninggalkan Indonesi dengan pertimbangan-pertimbanga yang bersifat batiniah. “Ayah merasa harus membalas budi kepada Indonesia dengan menyumbangkan tenaga dan keahliannya,” kata Diet Prawira Adiningrat.

 

Diet Prawira Adiningrat ingat betul bagaimana perdebatan seru  orang tuanya terkait memilih tempat tinggal. Perdebatan kadang ramai dan meningka keras. Tapi akhirnya sang ibu menyadari dan menerima alasan ayah. “Kami memilih menjadi warga negara Indonesia, apapun resikonya,” kata Diet Prawira Adiningrat mantap

 

Diskrimasi warga keturunan

 

Pada kurun waktu 1945 sampai dengan 1950 saat Indonesia yang sebeumnya bernama Nederlands-Indie mulai berbenah setelah mendeklarasikan kemerdekaannya dari Kerajaan Belanda. Stabilitas Indonesia masih simpang siur. Negara Belanda tidak mengakui kemerdekaan negara Indonesia, sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan.

 

Di Surabaya mulai gencar dilakukan massa bersiap, artinya sekelompok gerombolan liar melakukan aksi teror kepada orang-orang berkulit putih. Banyak gedung-gedung pemerintahan yang terbakar, sehingga dokumen-dokumen penting juga ikut lenyap.

 

Sejak saat itulah banyak orang Belanda yang ketakutan memilih meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negeri Belanda. Alasan lain merasa sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi di Indonesia.

 

Pemerintah Indonesia yang dipimpin presiden Soekarno memberi pilihan kepada orang-orang keturunan Belanda yang disebut 'Indo'. Mereka boleh menetap di Indonesia atau pergi ke Belanda selamanya. Sedangkan orang-orang 'Indo' yang pada saat itu berada di Belanda tidak bisa kembali lagi ke Indonesia karena pemerintah mencabut paspor mereka (saat itu mereka masih berkewarganegaraan Hindia-Belanda).

 

Namun untuk meninggalkan Indonesia tidaklah mudah, karena Indonesia masih dalam situasi perang, sehingga banyak juga orang yang kehilangan dokumen penting untuk pindah. Sehingga banyak orang 'Indo' yang tinggal di Indonesia tidak bisa kembali ke negeri Belanda. Sedangkan orang 'Indo' yang berkewarganegaraan Belanda, mereka tidak bisa membuktikan kewarganegaraan karena masalah dokumen.

 

Akibatnya mereka harus menetap di Indonesia dan kehilangan hak mereka sebagai warna negara Belanda, seperti uang pensiun, uang tunjangan sosial dan lain-lainnya yang lazim diterima warga negara Belanda. Inilah akar masalah mengapa tidak bisa kembali ke Belanda .

 

Sebagai orang 'Indo' umumnya memiliki nama Belanda. Sehingga mereka mengalami diskriminasi karena penampakan fisik yang berbeda dengan orang pribumi Indonesia. Mereka pada umumnya memiliki nama Belanda dan masih bisa berbahasa Belanda, meski dengan aksen bahasa Indonesia atau bahasa Jawa.

 

 

Aksi Boikot Indo Belanda

 

Sebenarnya kecemasan orang-orang asli Belanda dan Indo keturunan Belanda yang tinggal di Indonesia sudah dirasakan sejak pasca kemerdekaan. Sikap antipati semakin tinggi di kalangan rakyat Indonesia. Di Harian Pedoman (6/12/1957) menyebut kehadiran orang Belanda di muka umum sudah mulai jarang di Jakarta, sebab warga pribumi  melakukan aksi biokot tidak melayani orang kulit putih Belanda.  “Sejumlah fasilitas umum seperti pertokoan, restoran, bioskop, dan hotel mulai menolak memberikan pelayanan kepada warga negara Belanda. Beberapa angkutan umum, seperti halnya becak, beramai-ramai memboikot calon penumpang kulit putih,” tulis Harian Pedoman.

 

Kondisi sulit orang-orang Belanda tersebut dilanjutkan dengan serangkaian cerita teror dan aksi vandalisme yang menimpa beberapa kediaman orang Belanda. Bahkan Perdana Menteri Belanda Willem Drees bahkan menuduh Walikota Jakarta Sudiro berupaya mengusir warga negaranya dari Jakarta dengan cara yang kurang etis.

 

“Djiwa dan keselamatan orang-orang Belanda di Indonesia terantjam dan bahwa pihak Indonesia telah melaksanakan tindakan-tindakan jang melanggar batas-batas peri-kemanusiaan, jakni menyetop saluran air dan listrik bagi orang-orang Belanda,” kata Drees di depan Parlemen Belanda, seperti dilansir Pikiran Rakyat (7/12/1957).

 

Berdasarkan catatan Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1991: 388), sejak awal Desember 1957, Kementerian Kehakiman sudah merancang operasi darurat repatriasi warga negara Belanda. Mereka dijuluki sebagai gerepatrieerden atau “yang dipulangkan ke tanah air.”

 

Ada tiga gelombang pemulangan secara bertahap dan cepat yang dicanangkan kala itu. Orang-orang Belanda yang berasal dari kalangan non-korporasi atau mereka yang menggantungkan hidupnya pada sokongan Pemerintah Belanda (steuntrekkers) diperintahkan kembali ke tanah airnya paling awal. Disusul orang-orang Belanda dari golongan menengah (middenstanders). Adapun tenaga ahli yang sulit digantikan diizinkan pulang paling akhir. Operasi tersebut dirancang agar pemulangan warga negara Belanda bebas dari kesan pemaksaan.

 

Perintah repatriasi akhirnya berhasil memulangkan lebih dari 50.000 orang Belanda di Indonesia. Mereka yang terpaksa meninggalkan Indonesia tidak hanya Belanda totok, melainkan juga sinyo dan noni Belanda yang lahir dari perkawinan campuran dengan orang Indonesia. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023