Sukarno menunjuk Mr Roem sebagai wakil Indonesia, sementara wakil Belanda Van Rooijen. Awal perundingan tanggal 14 April di hotel des Indes Jakarta diketuai oleh Merle Cochran wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Foto 30 tahun Indonesia merdeka
abad,id- Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 ada dua mode perjuangan yang dilakukan pemerintah. Pertama perjuangan dengan mengangkat senjata yang dilakukan TNI dan Permesta serta perjuangan diplomasi melalui jalur perundingan.
Setelah Agresi militer Belanda ke 2 menguasahi Yogjakarta, ternyata menimbulkan reaksi dunia. Perlawanan gerilya di Jawa dan Sumatra yang semakin meluas dianggap Bangsa Indonesia masih berdiri, meskipun presiden dan para pejabat ditahan di Pulau Bangka. Usaha diplomasi juga terus dilakukan melalui perwakilan Indonesia di PBB Lambertus Nico Palar. Hingga akhirnya tanggal 28 Januari 1949 dikeluarkan Resolusi Dewan keamanan PBB, yang isinya memerintahkan penghentian operasi militer oleh Belanda dan penghentian aktifitas gerilya oleh Republik Indonesia.
Untuk membantu mencari penyelesaian masalah Belanda dan Indonesia, UNCI mengadakan kontak-kontak dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia di Bangka. Begitu pula BFO mengirimkan utusan ke Bangka dan mengadakan perundingan dengan Wakil Presiden Moh.Hatta serta pemimpin-pemimpin Republik lain dalam usaha mempertemukan pandangan politik.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949 memerintahkan UNCl untuk membantu pelaksanaan resolusi pada tanggal 28 Januari 1949. Dalam melaksanakan resolusi tersebut UNCI akhirnya berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan.
Agaknya wakil Republik yang paling logis adalah Sjahrir. Akan tetapi, Soekarno menentangnya dengan keras. Ia menunjuk sesama tahanannya, Mr Roem. Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Van Rooijen dan Roem pada 5 Mei 1949 merupakan suatu terobosan. Sedangkan pihak Belanda diketuai oleh Dr.van Royen. Awal perundingan tanggal 14 April di hotel des Indes Jakarta yang diketuai oleh Merle Cochran wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Dalam perundingan-perundingan selanjutnya delegasi Indonesia diperkuat Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Setelah persiapan melalui perundingan yang berlarut-larut, akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan, yang kemudian dikenal dengan nama Roem-Royen State. Isinya, pertama delegasi Indonesia menyatakan kesediaan untuk mengeluarkan perintah kepada "pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya, kedua bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan ke amanan. Ketiga turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat "penyerahan" kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Sementara itu pernyataan Belanda pada pokoknya berisi, pertama menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta, kedua menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Ketiga tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1948, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik. Keempat menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat, dan kelima berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan sesudah Pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Belanda harus menyetujui pengembalian kekuasaan Republik Indonesia di Yogyakarta dan berjanji tidak akan mendirikan negara-negara bagian baru. Soekarno juga harus sekuat tenaga untuk mencapai perjanjian gencatan senjata dengan TNI ini. Sebab sudah menyepakati akan diselenggarakan perundingan meja bundar sebagai persiapan menghadapi penyerahan kedaulatan.
Pada 6 Juli 1949 Soekarno kembali ke Yogyakarta yang telah dipulihkan kedudukannya sebagai ibu kota. Walaupun ia disambut dengan hormat, terasa suasana tegang. Penyebabnya belum ada sikap dari Panglima Besar Soedirman atas hasil keputusan perundingan Roem-Royen State.
Sejak awal Agresi Militer ke 2 terjadi, TNI menyalahkan para pemimpin yang dianggap tidak mendukung perang gerilya, dan memilih menjadi tahanan. Para pemimpin republik ini mestinya tidak boleh mencampuri melakukan keputusan gencatan senjata, sebab yang lebih tahu soal kekuatan militer hanya TNI. Keputusan tentang gencatan senjata harus diserahkan kepada angkatan bersenjata. Serta seharusnya menyerahkan perundingan itu kepada Sjafroeddi beserta kabinetnya, yang saat itu mendapat perintah membuat pemerintahan darurat di Bukittinggi.
Kedua kubu diplomasi dan perjuangan, masih tetap berseberangan. Pada 27 Juni Simatupang menulis surat kepada Soedirman,
"Nasution mau menghindari gencatan senjata, karena menurut dia dalam bulan September posisi Belanda akan begitu lemah, sehingga mereka terpaksa mengabulkan semua tuntutan Republik Indonesia.”
Empat hari setelah Soekarno kembali ke Yogya, Panglima Besar Soedirman memasuki kota. Anak buahnya telah membuatkannya sebuah tandu yang sederhana dari bambu dan mengusung sang pemimpin pasukan yang sudah sangat lemah ini sampai ke batas kota. Soedirman tapak kurus kering dan lebih asketis, dengan mengenakan baju seragam tentara Jepang yang kedodoran. Tiba di alun-alun Yogjakarta langsung mengadakan inspeksi barisan gerilyanya yang kumuh itu.
Peristiwa ini sangat mengesankan bagi semua yang menyaksikannya. Akan tetapi mereka juga bertanya-tanya, bagaimana nanti hasil pertemuan antara pemimpin militer dan pemimpin politik yang sudah tidak pernah bertemu muka sejak 20 Desember 1948.
Pertemuan berlangsung sangat haru, semua isi ruangan tak kuasa menahan tangis ketika melihat sang jendral besar datang dengan baju sangat lusuh pulang dari perang gerilya. Pertemuan ini menandai suasana damai antara pejuang politik dan TNI. Foto 30 tahun Indonesia merdeka
"Saat mengharukan," demikian tulis Simatupang, yang mengatur pertemuan keduanya di keraton. "Pak Dirman dengan nada suara formil melaporkan bahwa Panglima Besar Republik Indonesia telah kembali ke ibu kota.” Soekarno yang pertama mengulurkan tangan untuk berdamai. Kemudian mereka saling merangkul. Setelah itu Soedirman kembali di opname di rumah sakit.
Kedua pemimpin ini sudah berdamai, namun bukan berarti angkatan bersenjata dan komandan pasukan menyetujui gencatan senjata. Soedirman menolak untuk mengeluarkan perintah. Kepala Staf Nasution, menyaksikan bagaimana Soekarno ketika menjenguk Panglima Besar Soedirman di rumah sakir, sambil berlinang air mata mendesak untuk memenuhi bagian dari perundingan Van Rooijen dan Roem. Namun Soedirman masih mencuriga Belanda, sebab pernah ingkar janji dalam perundingan Lingarjati
TNI masih perlu waspada terhadap kemungkinan serangan dari pihak Belanda. Sebab semua pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta ternyata hanya dipindahkan ke Surakarta. Dengan bertambahnya kekuatan Belanda di Surakarta (Solo) ini, Brigade 5 di sekitar kota tersebut ditekan oleh pasukan-pasukan Belanda untuk keluar di pinggri kota. Letnan Kolonel Slamet Rijadi sebagai komandan wilayah memerintahkan penyerangan terhadap obyek-obyek vital di kota Solo. Di tempat lain masih ada perlawanan gerilya tanpa terpengaruh oleh adanya hasil perundingan. (pul)