images/images-1683036465.jpg
Riset

Kolonel Latief Bisikan Sesuatu ke Suharto, Tapi Tak Digubris

Pulung Ciptoaji

May 02, 2023

539 views

24 Comments

Save

Dua hari sebelum pecahnya G30S, seorang pamen berpangkat kolonel telah membisikan sesuatu kepada Suharto bakal adanya gerakan. Namun bocoran dari Kolonel Latief tersebut tidak digubris. Foto sidang Kolonel Latif dok net

 

abad.id-Kolonel Latief menjabat Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya, dikenal anak buah dan sejawat Suharto sejak di Yogjakarta. Kolonel Latief menjadi sorotan setelah mengaku sudah dua kali menemui Suharto untuk memperingatkan tentang Gestapu. Suharto mengetahui rencana aksi itu. Namun Pangkostrad  memilih membiarkan gerakan daulat.

 

Alasan Suharto, kegiatan yang digagas Sukarno dan dilaksanakan Untung tersebut adalah keputusan dan tindakan politik yang tidak bisa dihalangi. Lagi pula perintah Sukarno itu juga tidak merugikan dirinya sebagai Panglima Kostrad. Juga harus diingat, seandainya Suharto bisa mencegah Gestapu, Kostrad akan sangat kesulitan. Sebab Kostrad tidak punya pasukan tetap.

 

Sebagai jenderal paling senior di lapangan dalam jajaran Angkatan Darat, kesempatan Suharto menduduki posisi puncak angkatannya bakal terbuka setelah Yani tersingkir. Psikologi inilah menurut dugaan Salim Said seperti yang dikutip dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi (2013) memang ada pembiaran dari Pangkostrad.

 

Bagi Kolonel kelahiran Surabaya tanggal 27 Juli 1926, kejadian menemui Suharto di Rumah Sakit Gatot Subroto beberapa jam sebelum operasi penculikan dimulai, sebagai alat pembelaan dirinya di depan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) yang mengadilinya di Bandung pada Mei 1978. Sang Kolonel menjelaskan:

 

... saya pada malam itu di samping memang menengok putranda yang sedang terkena musibah sekaligus untuk melaporkan akan adanya gerakan pada esok paginya untuk menggagalkan rencana coup dari Dewan Jenderal di mana beliau sudah tahu sebelumnya. Memang saya berpendapat bahwa satu-satunya adalah beliaulah yang saya anggap loyal terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan saya kenal semenjak dari Yogyakarta siapa sebenarnya Bapak Jenderal Suharto itu

 

....Saya memercayai kepemimpinan beliau seandainya berhasil dapat menggagalkan usaha coup Dewan Jenderal beliaulah yang terpilih sebagai tampuk pimpinan sebagai pembantu setia Presiden.

 

Dari cerita Latif di depan Mahmilti itu bisa diduga bahwa yang mereka harapkan dari pertemuan Kolonel dengan Suharto bukan bantuan untuk operasi malam. Melainkan pengertian dan sikap lunak setelah operasi Gestapu berhasil "menggagalkan coup d'état Dewan Jenderal".

 

Latif dan teman-temannya pasti tahu adanya ketidakserasian antara Suharto dan Yani, dan karena itu mereka berharap Suharto sebagai Pangad pengganti Yani nantinya tidak akan bereaksi keras kepada Gestapu sebagai kegiatan pendaulatan.

 

Tentang sikap Suharto malam itu menurut Salim Said ada dua hal yang juga harus dipertimbangkan. Pertama, dari percakapan singkatnya dengan Latif, hampir bisa dipastikan Suharto tidak tahu bahwa di balik Gestapu ada Biro Khusus PKI yang berperan penting. Kedua, mengingat terbatasnya waktu pertemuan Latif dan Suharto, kemungkinan besar Panglima Kostrad tidak punya informasi mengenai nama-nama pemimpin gerakan yang memudahkan baginya menduga siapa saja yang sebenarnya berdiri di balik gerakan malam itu.

 

“Yang dilaporkan Kolonel Latif, menurut pengakuannya, hanyalah bahwa mereka, para perwira Angkatan Darat, akan bertindak menyelamatkan Presiden Sukarno”.

 

Beberapa hari sebelumnya Latif sudah melaporkan kepada Suharto mengenai adanya “Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta”. Dari informasi Latif, Suharto tahu dirinya tidak dipandang sebagai anggota “Dewan Jenderal". Maka merasa dirinya aman. Bahkan ada kemungkinan mendapat jabatan yang lebih tinggi. “Buat apa juga repot-repot di tengah malam, melakukan tindakan”.

 

Malam itu Suharto tidak memainkan peran apa-apa dalam Operasi Gestapu, kecuali berdiam diri dan pulang tidur setelah mendapat laporan dari Kolonel Latif. Dan seperti juga para perwira dan petinggi operasi Gestapu, Pangkostrad tidak membayangkan kegiatan penculikan tersebut akan berakhir sebagai pembantaian para jenderal pimpinan Angkatan Darat.

 

Nah, ketika para jenderal ternyata bukan cuma diculik tapi malah dibantai, maka sebagai orang Jawa Suharto langsung saja mengamalkan filsafat leluhurnya:"Tego larane, ora tego patine",

 

Maksudnya, sampai hati melihat teman-teman jenderal didaulat, tapi tidak rela menerima kematian mereka. Sampai hati melihat Yani disingkirkan, tapi sungguh tidak tega melihat Yani dibantai secara sadis. Atau diduga bahwa Suharto sangat marah kepada Latif karena merasa telah dibohongi, bahwa ternyata apa yang dilakukan PKI sangat diluar batas.

 

Kemarahan itu kemudian tecermin pada siksaan keras yang diterima Latif selama menjadi tahanan Orde Baru. Maka setelah yakin PKI berada di balik Gestapu, Suharto mengamuk dengan bertindak keras kepada para pengikut partai tersebut. Para pengikut Sukarno dalam politik dan militer ikut dilibas pembersihan. Tindakan yang terakhir ini terpaksa dilakukan Suharto, karena Sukarno masih mempertahankan, bahkan membela PKI.

 

Sasaran kemarahan Suharto salah satunya ke Kolonel Latief. Kolonel Latief dituduh makar dan terlibat dalam peristiwa Gestapu, ditangkap di rumah saudara sepupu istrinya di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat pada 2 Oktober 1965, dan dijebloskan ke dalam penjara sejak 11 Oktober 1965.

 

Langkah lain yang dilakukan Suharto saat situasi genting, pertama melakukan konsolidasi pasukan. Tahap ke dua, Suharto memerintahkan untuk menduduki kembali gedung Pusat Telekamunikasi dan RRI. Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan catatan, sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah.

 

RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan. Tahap ketiga, pada jam 20.00 WIB Suharto berbicara di depan radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah diambil. Dengan tegas Suharto menyebut Gestapu merupakan gerakan kontra-revolusioner.

 

Tahapan keempat, Suharto mulai memberikan pukulan maut kepada komplotan “G-30-S". Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para “Kudjang”/Siliwangi. Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.

 

Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober 1965, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban. Dengan demikian selesai sudah pengamanan situasi pasca Gestapu di Jakarta. (pul)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022