images/images-1683021982.jpg
Riset

Cerita Tan Malaka Mendapat Testamen Politik Dari Sukarno

Pulung Ciptoaji

May 02, 2023

803 views

24 Comments

Save

Tan Malaka berpikir Sekutu akan was-was jika Indonesia berhasil mengumpulkan rakyat dan menggerakkan aksi massa.Maka pada saat itu, Tan Malaka mencatatkan peranannya yang cukup penting untuk memobilisasi para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada. Foto dok net 

 

abad.id- Tan Malaka sedikit kesulitan menemui Sukarno dan Hatta pasca pembacaan proklamasi. Kesulitan pertama karena Tan Malaka tidak memiliki jaringan penghubung secara langsung dengan Sukarno, serta posisinya yang masih dianggap berbahaya bagi pemerintah peralihan. Sebetulnya Tan Malaka masih beruntung bisa bebertemu dengan tokoh-tokoh pemuda 2 hari menjelang proklamasi tanggal 15 dan 16 Agustus 1945. Namun pertemuan dengan Sukarni dan Chaerul Saleh hanya sebentar, dan Tan Malaka masih menyembunyikan identitasnya kepada tokoh-tokoh pemuda tersebut.

 

Padahal menurut Tan Malaka, dirinya belum sempat memperkenalkan identitas dirinya yang sebenarnya. Setelah proklamasi ini, Tan Malaka ingin muncul dengan nama aslinya. Barangkali, karena sudah yakin memiliki negara yang berdaulat, dan dirinya siap berjuang bersama rakyat Indonesia secara terbuka.  

 

Dalam buku Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah tulisan Masykur Arif Rahman, disebutkan Tan Malaka Ingin memperkenalkan diri kepada tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Jakarta dengan perantaraan Sukarni dan Chaerul Saleh. Namun, karena mereka tidak pernah ditemuinya, maka niat tersebut sempat tertunda. Rupanya Tan Malaka tidak tahu bahwa Sukarni dan Chaerul Saleh bergabung dengan kelompok para pemuda yang bermarkas di Menteng 31, Jakarta. Sementara Tan Malaka tidak pernah mengetahui tempat itu.

 

Tidak kurang akal, pada tanggal 25 Agustus 1945 Tan Malaka pergi ke rumah teman baiknya semasa di negerl Belanda (1919-1922) yang bernama Ahmad Subardjo. Barangkali, Tan Malaka sudah berpikir bahwa teman baiknya dulu itu tidak akan lupa pada dirinya. Maka dari itu, ketika ia melihat Subardjo seolah lupa dengan dirinya, Tan Malaka bertanya, apakah ia sudah lupa dengannya atau belum. Sambil berdiri memandang dengan teliti, Subardjo kemudian menjawab, "O, Tan Malaka,saya sangka sudah mati."

 

Memang benar, pada waktu itu, banyak orang Indonesia yang menyangka bahwa Tan Malaka sudah mati dalam pembuangan di luar negeri. Akan tetapi, kabar itu masih simpang silur. Ada juga yang mangatakan bahwa ia masih hidup. Inilah yang menyebabkan Tan Malaka menjadi tokoh yang legendaris.

 

Ahmad Suhardjo adalah politisi kawakan. Pada Kabinet Presidentil Pertama (Presiden Sukarnol, ia menjabat menteri fuar negeri. Menurut Tan Malaka, Subardjolah orang pertama yang memanggil dirinya dengan nama yang sebenamya semenjak tiba di Sumatera Timur pada tanggal 10 Juni 1942. Ketika disebut nama itu, terasa ganjil bagi Tan Malaka lantaran ia sudah lama tidak memakai nama itu dalam pergaulan sehari-hari. Mengenai hal ini, ia mengungkapkan:

 

"Ganjil benar bunyinya nama itu di telinga saya sendiri, sesudah semenjak lebih daripada dua puluh tahun tak pernah lagi nama itu diucapkan kepada saya dalam pergaulan sehari-hari. Nama itu malah memperingatkan pada pengalaman pahit, karena berhari-hari diucapkan oleh para pengurus penjara dan agen polisi imperialis kepada saya di luar negeri selang bertahun-tahun lampau, ialah dalam penjara Amerika di Manila pada tahun 1927 dan dalam penjara Inggris di Hongkong pada tahun 1932."

 

Ahmad Subardjo kemudian memperkenalkan Tan Malaka kepada beberapa politisi di Jakarta,seperti lwa Kusumasumantri, Sutan Sjahrir, Buntaran Martoatmodjo, Gatot Tarunamihardjo, dan lain-lain. Dipertemukanlah juga ia dengan Moh. Hatta (Bung Hatta) yang sudah dikenal oleh Tan Malaka sewaktu di Belanda pada tahun 1922.

 

Sukarno Keluarkan Testamen Politik

 

Pada tanggal 9 September 1945, Tan Malaka dipertemukan dengan Presiden Sukarno di rumah dr.Suharto, dokter pribadi Sukarno. Bagi Sukarno, ini merupakan yang pertama kalinya ia bertatap muka secara langsung dengan Tan Malaka yang memakai nama asli. Sedangkan, bagi Tan Malaka, dirinya sudah pernah bertemu dengan Sukarno dan sempat sedikit bertanya-jawab sewaktu di Bayah. Namun, barangkali Sukarno sudah lupa karena pada saat itu, Tan Malaka bertanya sebagai Hussein, pegawai pertambangan Bayah, seseorang yang biasa-biasa saja.

 

Sesungguhnya, di masa pendudukan Jepang, sebagaimana disampaikan Tan Malaka sendiri, ia beberapa kali berniat melangkahkan kaki untuk menemui Sukarno di rumahnya, di Pegangsaan Timur no.56. Akan tetapi, adanya orang Jepang menjadi penghambat untuk memuluskan keinginannya itu. la sudah yakin akan diterima oleh Sukarno. Tetapi sebaliknya, ia juga yakin tidak akan lepas dari cengkraman kekuasaan Jepang jika benar-benar datang ke sana.

 

Orang yang menjadi perantara mempertemukan Sukarno dan Tan Malaka pada 9 September itu ialah Sayuti Melik, sekretaris pribadi Sukarno. Sayuti Melik memberitahukan kepada Sukarno bahwa Tan Malaka sudah ada di Indonesia, kemudian Sukarno meminta Melik agar mengatur pertemuannya. Namun sebenarnya, menurut data yang diperoleh Poeze, yang menjadi kunci pertemuan tersebut adalah Ahmad Subardjo.

 

Pertemuan pertama Sukarno-Tan Malaka itu sangat dirahasiakan. Sebab, Jepang masih sedikit memiliki kekuasaan terhadap Indonesia pada waktu itu sehingga dipandang perlu oleh Sukarno untuk bertemu dengan tokoh revolusioner populer seperti Tan Malaka agar dirahasiakan. Tan Malaka juga menginginkan demikian. Tan Malaka sendiri kepada tuan rumah, dr. Suharto, memperkenalkan diri sebagai Abdul Radjak dari Kalimantan. Pertemuan itu pun dilangsungkan di kamar belakang rumah dr.Suharto dan yang menyaksikan pertemuan itu hanyalah Sayuti Melik, sementara tuan rumah tidak ikut menyaksikan.

 

Setelah Tan Malaka membuka identitasnya, Sukarno membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan mengenai salah satu hal dalam buku Aksi Massa Tan Malaka. Sukarno berkata, "Dalam buku Aksi Massa, rupanya saudara (Tan Malaka) anggap sifatnya imperialisme Inggris berada diantara imperialisme Belanda dan imperialisme Amerika.

 

Sukarno memang menganggap Tan Malaka sebagai seniornya. Dalam pertemuan itu, Tan Malaka mendominasi pembicaraan. Sukarno dengan antusias mendengarkan pendapat-pendapat yang disampaikan Tan Malaka. Sukarno, sebagaimana yang dikatakan Lambert Giebels, salah seorang penulis biografinya, memang sudah banyak mengenal pemikiran Tan Malaka dari buku-bukunya, seperti Aksi Massa. Di masa mudanya, ketika masih aktif di Partai Nasional Indonesia(PNI), ia menggunakan buku tersebut sebagai referensi dalam kursus-kursus yang diadakan PNI.

 

Dalam pembicaraan itu, Tan Malaka juga mengusulkan agar pusat republik dipindahkan ke pedalaman supaya lebih aman, mengingat sekutu akan segera datang, sementara Jakarta adalah tempat terbuka yang mudah direbut. Tan Malaka juga menyampaikan bahwa kemungkinan besar, Sukarno-Hatta akan ditangkap oleh sekutu dengan tuduhan war criminal (penjahat perang) di zaman Jepang. Maksudnya, Sukarno kemungkinan akan ditangkap sebagai "penjahat perang"oleh sekutu karena dinilai telah membantu Jepang melawan sekutu dalam Perang Dunia ll.

 

Menurut Poeze, Sukarno terpesona dengan pendapat-pendapat yang diuraikan secara panjang lebar oleh Tan Malaka. Oleh karena itu, secara spontan sambil menunjuk Tan Malaka, Sukarno mengatakan, "Kalau suatu saat saya tidak lagi bebas bertindak, maka kepemimpinan revolusi saya serahkan kepada Anda."

 

Perkataan tersebut, menurut Tan Malaka, disampaikan kepadanya di akhir percakapan. Setelah itu, mereka berpisah. Sebelum pergi, Tan Malaka diberi sokongan uang oleh Presiden Sukarno.

 

Tak berapa lama kemudian, Tan Malaka berjumpa lagi untuk yang kedua kalinya dengan Presiden Sukarno. Kali ini, mereka berjumpa di rumah Dr.Mawardi, juga dalam keadaan dirahasiakan. Sayuti Melik lagi-lagi menjadi perantara dalam pertemuan ini. Untuk kedua kalinya juga, Sukarno kembali mengatakan kepada Tan Malaka bahwa nanti, kepemimpinan revolusi akan diserahkan kepadanya. Sebelum berpisah, kembali Tan Malaka diberi sokongan uang.

 

Mendengar dua kali Presiden Sukarno mengatakan hal itu kepadanya, sebagaimana disampaikan Tan Malaka sendiri, hal itu tidak mempengaruhi perasaan, paham, dan sikapnya mengenai revolusi Indonesia. Sepatah kata pun, kata Tan Malaka, tidak ia bayangkan untuk menyambut usul Presiden Sukarno tersebut. "Usul memimpin revolusi tadi saya anggap sebagai satu kehormatan saja dan sebagai satu tanda kepercayaan dan penghargaan Bung Karno kepada saya belaka.Teristimewa pula sebagai suatu tanda yang nyata bahwa di masa lampau, benar ada suatu ikatan jiwa dan paham antara Bung Karno dan saya, walaupun kami hidup berjauhan,"demikian Tan Malaka.

Selanjutnya, peristiwa penyerahan pimpinan revolusi tersebut diceritakan oleh Tan Malaka kepada Subardjo. Subardjo menilai bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan. Selain itu, Tan Malaka melihat bahwa Subardjo sangat setuju dengan janji penyerahan pimpinan revolusi tersebut.

 

Tak lama kemudian,terdengar desas-desus bahwa Presiden Sukarno akan ditangkap oleh Inggris dengan tuduhan"penjahat perang"karena membantu Jepang sebagai musuh sekutu. Terlebih, terdengar pula kabar bahwa Inggris sebentar lagi akan mendarat di indonesia. Semua ini membuat keadaan di Jakarta cukup mendesak. Dari sanalah, Subardjo melihat pentingnya janji penyerahan revolusi kepada Tan Malaka tersebut dilegalkan dan ditulis dalam bentuk dokumen "hitam di atas putih". Subardjo kemudian berusaha menyampaikan inisiatifnya tersebut kepada Presiden Sukarno.

 

Sehubungan dengan itu, pada tanggal 30 September 1945, diadakanlah sebuah pertemuan dengan Presiden Sukarno di rumah Subardjo yang disaksikan oleh lwa Kusumasumantri dan Gatot Tarunamihardjo. Rupanya,Subardjo berhasil meminta Presiden Sukarno agar melegalkan janjinya tersebut. Artinya, Presiden Sukarno sepakat untuk menyusun "surat warisan"atau lebih dikenal dengan Testamen Politik Tan Malaka, yang akan ditandatangi oleh dirinya sendiri dan Hatta. Maka, dikaranglah rancangan testamen itu.

 

Selepas itu, Sukarno pulang dengan membawa rancangan testamen tersebut. Dalam perjalanan,ia mampir ke rumah Hatta untuk menerangkan maksud adanya testamen itu. Hatta terkejut ketika membaca rancangan testamen tersebut dan menganggap Sukarno terlalu jauh berprasangka dan menuruti perasaannya. Dengan demikian, sebenarnya Hatta tidak sepakat dengan adanya testamen itu. Akan tetapi, setelah mendapat penjelasan dari Sukarno, akhirnya ia bersedia untuk menandatangani, tetapi dengan syarat tidak hanya Tan Malaka yang menjadi penerima testamen itu. Hatta mengusulkan agar ditambah tiga orang lagi, yaitu Sjahrir, Wongsonegoro, dan Dr.Sukiman. Artinya, Tan Malaka mewakili kelompok kiri, Sjahrir mewakili kelompok moderat, Wongsonegoro mewakili kelompok bangsawan, dan Dr. Sukiman mewakili kelompok Islam.

 

Sukarno setuju dengan usul Hatta tersebut, lalu menghubungi Subardjo agar mempersiapkan pertemuan esok harinya dan mengundang orang-orang yang akan menerima testamen tersebut. Keesokan harinya,tanggal 1 Oktober 1945, Tan Malaka dan lwa sudah hadir di rumah Subardjo untuk menyambut kedatangan Sukarno dan Hatta. Sedangkan Sjahrir, Wongsonegoro,dan Dr.Sukiman yang juga akan menerima testamen ternyata tidak hadir.

 

Setelah Sukarno dan Hatta datang, konsep testamen itu pun dirembukkan dan disetujui. Karena Dr. Sukiman pada waktu itu berada di Yogyakarta dan sulit dihubungi, maka disepakatilah bahwa lwa Kusumasumantri menjadi penggantinya. lwa disetujui sebagai pengganti karena la teman Dr.Sukiman di Masyumi. Naskah testamen kemudian diketik oleh Subardjo dan setelah ditanda tangani oleh Sukarno-Hatta, saat itu juga diberikan kepada Tan Malaka dan Iwa yang hadir. Sedangkan, testamen yang ditujukan kepada Sjahrir dan Wongsonegoro yang tidak hadir diserahkan kepada Subardjo dan ia mendapat tugas untuk menyerahkannya kepada mereka berdua.

 

Setelah mendapat testamen itu, Tan Malaka yang cukup yakin bahwa sekutu sebentar lagi akan mendarat dan akan menguasal Jakarta, merasa perlu untuk mengobarkan semangat revolusi di luar Jakarta. Apalagi, ia sudah pernah mengusulkan kepada Presiden Sukarno agar pusat republik di pindah ke pedalaman karena Jakarta sebentar lagi akan direbut. Dengan alasan itulah, pada hari itu juga (1 Oktober), dengan berbekal surat testamen itu, ia berangkat meninggalkan Jakarta untuk berkeliling Jawa sambil mencari tempat yang strategis guna mengobarkan semangat revolusi rakyat melawan sekutu. Barangkali, Tan Malaka merasa akan lebih mudah untuk menjalankan testamen itu di luar Jakarta, terlebih ketika Jakarta sudah takluk ke tangan musuh.

 

Tan Malaka tidak menyadari bahwa adanya naskah testamen politik itu akan memunculkan kritik tajam terhadap dirinya di kemudian hari. Hal ini terjadi akibat ulah kelompok pendukungnya yang sangat menginginkan Tan Malaka menggantikan Sukarno-Hatta. Namun sayang, keinginan itu berakibat fatal bagi perjuangan Tan Malaka sendiri.

 

Kritik tajam terhadap Tan Malaka yang mendapat testamen itu bermula ketika sepuluh hari setelah dikeluarkannya, yakni tatkala Hatta bertemu dengan Sjahrir di BP-KNIP (Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat). Hatta menanyakan kepada Sjahrir, apakah dirinya telah menerima testamen tersebut. Sjahrir terkejut dan mengatakan bahwa dirinya tidak tahu menahu dengan adanya testamen itu. Demikian juga ketika Hatta menemui Wongsonegoro yang sedang berada di Solo pada bulan Februari 1946. Wongsonegoro juga mengatakan hal yang sama seperti dikatakan Sjahrir, bahwa dirinya tidak tahu dengan hal itu.

 

Jika demikian halnya, Hatta mencurigai Subardjo telah mengingkari tugasnya yang dipercaya untuk menyampaikan testamen tersebut. Apalagi, beberapa hari kemudian, beredar testamen palsu yang hanya menyebut nama Tan Malaka saja sebagai penerimanya. Dari sana, muncullah kritik tajam terhadap Tan Malaka yang juga memunculkan kontroversi di antara para pengamat.

 

Poeze, peneliti dan penulis biografi Tan Malaka, mencurigai bahwa yang membuat testamen palsu itu adalah pengikut-pengikut Tan Malaka dengan tujuan mengangkat nama baik pemimpin mereka sehingga dapat menjadi pengganti Sukarno dan Hatta. Akan tetapi, mereka tidak sadar bahwa testamen palsu itu ternyata justru merugikan nama baik Tan Malaka. Lebih jauh, testamen palsu itu nantinya digunakan oleh lawan-lawan politik Tan Malaka untuk menghancurkannya. Jadi, menurut Poeze, Tan Malaka tidak terlibat langsung dalam pemalsuan testamen tersebut.

 

Mengenai adanya testamen itu, Sayuti Melik berpendapat yang menguatkan kemurnian Tan Malaka dalam berjuang bahwa Tan Malaka tidak pernah meminta testamen tersebut kepada Presiden Sukarno. Testamen itu sepenuhnya dirancang atas keinginan Sukarno. Tan Malaka sendiri sudah mengatakan dalam biografinya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa ucapan Presiden Sukarno mengenai penyarahan pimpinan revolusi sama sekali tidak berpengaruh terhadap keyakinan perjuangannya.

 

Tan Malaka menganggap hal itu hanya sebagai tanda penghormatan saja. la juga tidak pernah menanggapi sepatah kata pun terhadap usul tersebut.Dalam biografinya, Tan Malaka menulis dengan jujur bahwa yang mendapat testamen itu tidak hanya dirinya, melainkan juga Sjahrir, lwa Kusumasumantri, dan Wongsonegoro.

 

Dengan demikian,yang penting untuk dicatat adalah bahwa adanya testamen politik dari Presiden Sukarno untuk Tan Malaka itu menunjukkan bahwa Tan Malaka memiliki pengaruh besar dalam proses perjuangan kemerdekaan pada saat itu. Tentu, tidak sembarang orang dapat dipercaya dan diyakini bisa oleh Sukarno untuk meneruskan kepemimpinan revolusi jika ia tidak memiliki keberanian, kepandaian, dan tekad yang kuat untuk mencapai kemerdekaan. (pul)

Most Popular

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Begini Pengaruh Marga Han di Jatim

Pulung Ciptoaji

Jan 09, 2023

Menyoal Aplikasi Android Untuk Penerima Subsidi

Author Abad

Nov 02, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023