images/images-1677408260.png
Riset

Sayembara Berburu Binatang Buas di Era Hindia Belanda

Pulung Ciptoaji

Feb 27, 2023

527 views

24 Comments

Save

Foto ini diabadikan pada tahun 1920, saat itu  seorang warga bernama Robby Hayes berburu harimau di daerah Jelok Kecamatan Beringin Semarang yang akan dibangun sebuah pembangkit tenaga listrik. Sang pemburu dibantu warga berhasil menembak mati seekor macam tutul yang sempat membuat resah penduduk kampung. Foto dok femina

 

abad.id- Perburuhan binatang liar di jaman hindia belanda menjadi kisah yang menarik. Sebab sejak dulu habitat binatang liar di pulau jawa mulai terusik dengan perkembangan manusia. Apalagi pada masa pembuatan jalan Gubernur Jenderal Dendles, terpaksa banyak perburuhan binatang liar yang dianggap menggangu kegiatan proyek-proyek pembuatan jalan. Habitat binatang buas juga sering mengganggu perkampungan dan merusak beberapa lahan  sawah.

 

Kisah perburuhan binatang macan tutul ini misalnya, dilakukan seorang pemburu dibantu warga  di daerah Jelok, kecamatan Beringin, kabupaten Semarang. Kawasan tersebut hendak dibangun sebuah pembangkit tenaga listrik pada tahun 1920an. Untuk meratakan tanah, mereka menggunakan ledakan-ledakan dinamit, sehingga penghuni hutan di sekitar daerah itu terganggu.

 

Beberapa ekor binatang buas mulai masuk kampung dan mengusik ketentarman warga. Apalagi pada malam hari, beberapa ternak warga tiba-tiba hilang dimakan macan tutul. Warga segera melapokan kejadian ini ke perangkat desa dan diteruskan ke petugas polisi kota (Stadwacht), atau polisi pamong praja jaman hindia belanda. Hanya petugas opas yang saat itu diperbolehkan memegang senjata api, sehingga kedatangannya benar-benar ditunggu warga. Hingga akhirnya setelah melewati beberapa jebakan dan perburuhan, sang raja rimba berhasil dibinasakan.

 

Ancaman binatang buas di pulau jawa seperti tidak pernah usai. Dikutip  dari Denys Lombard, dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I (1996), dikisahkan bagaimana harimau masih sering berkeliaran di jalan-jalan Batavia. Beberapa di antara warga yang jadi korban harimau adalah 14 orang penebang kayu di Ancol pada 1659.

 

Gambar yang dibuat pendeta Valentijn, kata Lombard bisa menjadi bukti bagaimana keberadaan hewan buas menjadi ancaman. Dalam lukisan itu, Valentijn sedang menembak seekor binatang buas di lapangan kasteel tahun 1694. Aneka binatang buas yang membuat warga Batavia bergidik ketakutan kemudian diabadikan menjadi nama sejumlah parit, seperti Parit Harimau (Tigersgracht), Parit Buaya (Kaaimansgracht), serta Parit Badak (RInocerosgracht).

 

Pun hal yang sama berlaku untuk kawasan-kawasan di kota berjuluk Ratu dari Timur. Banyak di antara kawasan yang dinamai sesuai dengan populasi binatang buas yang berkembang di wilayahnya masing-masing. Sebut saja, Rawa Buaya, Rawa Badak, Jaga Monyet, Gang Kancil, hingga Pasar Ular.

 

Hendrik E. Neimejer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012) menyebutkan bahwa tahun 1640-an sering ada mayat harimau yang dipertontonkan di lapangan Kasteel. Karena ancaman harimau masih belum juga reda, Kepala Dewan Peradilan, Joan Maetsuycker memutuskan pada 1644 untuk memimpin sendiri perburuan besar-besaran dan untuk itu dikerahkan 800 orang terdiri dari 20 penunggang kuda, 100 serdadu, 50 budak dan selebihnya adalah warga Belanda dan penduduk asli, warga China, orang-orang Banda dan jawa.

 

Namun, upaya itu tak efektif. Rombongan yang dikerahkan untuk menyisir kawasan ommelanden (luar kota) selama dua hari tak menemukan seekor pun harimau. Alhasil, mereka kemudian pulang ke dalam kota dengan rasa kesal. Setelahnya, ancaman binatang buas makin banyak dijumpai. Apalagi, bagi orang Belanda yang hendak pergi ke luar kota ataupun menaiki perahu.

 

 

Mereka harus waspada terhadap puluhan buaya dan ular yang terdapat di Sungai CIliwung dan anak-anak sungainya, sehingga seringkali membuat para pesiar tergopoh-gopoh mendayung perahu kembali ke dalam tembok kota. “Sebulan sekali hewan-hewan buas ini pun juga ditangkap dan dipertontonkan di lapangan Kasteel Batavia dan diseret hingga di depan rumah Gubernur Jenderal,” tambah Hendrik.

 

Upaya mereka melakukan perburuan besar-besaran sungguh tak efektif. Alhasil,  kompeni menawarkan hadiah uang kepada para pemburu yang berhasil membunuh harimau dan binatang buas yang mengancam warga.

 

Bahkan pemerintah memberlakukan hal yang sama untuk perburuan buaya di Batavia. Dampaknya, banyak orang-orang di Batavia semangat menjadi memburu buaya. Setiap hari orang-orang terlihat menenteng buaya masuk ke dalam Batavia untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

 

 

Suatu hari, kompeni curiga karena meskipun sudah banyak di buru namun masih terlihat banyak buaya liar. Pemerintah melakukan investigasi atas hal itu. hasilnya diketahui bahwa mereka bukan menangkap buaya, melainkan mengambil telurnya untuk ditetaskan. Setelah dipelihara beberapa bulan, anak buaya ini dibawa kepada schout (polisi) agar mendapat hadiah.

 

Sejak itu, pemberian hadiah dihentikan dan buaya dibiarkan berkembang biak di pantai utara Pulau Jawa, termasuk sungai-sungai besar di Batavia

 

Pemerintah kolonial Belanda membuat jalan Anyer Panarukan sepanjang pulau Jawa semakin kewalahan dengan banyaknya binatang buas yang mengacam. Foto dok net

 

Sementara itu di Surabaya memang tidak banyak laporan resmi yang ditulis tentang keberhasilan warganya menangkap harimau. Hutan belantara di Surabaya sudah lama menjadi rumah harimau, sehingga ada beberapa nama wilayah seperti kawasan Simo, yang artinya harimau. Seperti Simo Kwagean, Simo Kantrungan, dan Pasar Simo. Banyaknya nama-nama kawasan harimau ini diartikan bahwa sejak dulu hutan Surabaya dihuni harimau dan kini telah menjadi kawasan kampung.

 

Perlahan-lahan, karena hutan-hutan di Surabaya terus dibabat, harimau dan hewan-hewan buas lainnya menyingkir ke tempat yang lebih sepi di wilayah kali Jagir dan Wonokromo lantaran masih memiliki banyak hutan belantara.

 

 

Asal kata Surabaya adalah simbul Sura artinya  ikan hiu dan Baya yang artinya buaya. Jika buaya masih bisa dijumpai di kawasan muara kali, ternyata tidak halnya dengan Sura atau ikan hiu. Hilir mudik dan padatnya kapal di dermaga Kalimas dan sibuknya lalu lintas di selat Madura, membuat binatang Sura pergi menjauh. Sehingga  cerita Surabaya dikepung hiu hanya sebuah kiasan.

 

Berbeda dengan dermaga di Cilacap yang sering dijumpai nelayan panen binatang hiu. Pada masa kolonial belum ada aturan tentang larangan berburu ikan hiu untuk diambil siripnya. Sehingga nelayan dengan liar memburu hiu dan binatang apapun di laut untuk dikomersilkan bagian tertentu. Misalnya ikan hiu diambil siripnya, serta kura-kura hanya diambil minyak bulusnya. Nelayan akan bangga jika berhasil membawa pulang ikan hiu berukuan besar, dan dianggap predator di lautan. (pul)

 

 

 

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023