images/images-1678111357.png
Sejarah
Data

Ilyas Hoesain dan Sukarno Berdebat Sengit Soal Romusa

Pulung Ciptoaji

Mar 07, 2023

643 views

24 Comments

Save

abad.id- Setelah jatuhnya Pearl Harbour Hawai,  Jepang memutuskan akan memakai tanaga romusha atau dalam bahasa Jepang untuk 'pekerja kasar' di wilayah-wilayah Pendudukan. Ini sesuai dengan rencana untuk memanfaatkan semua potensi, termasuk pekerja di daerah-daerah rebutan. Tidak lama sesudah pulau diduduki, warga yang dianggap sehat dan tidak cacat mulai dikumpulkan. Mereka dipekerjalkan di pelabuhan, tambang, dan instalasi minyak dan jembatan. Hampir dua ratus gunung yang diledakkan.

 

Menurut Shigeru, orang-orang Jepang merekrut tenaga kerja yang disediakan secara ad hoc atau sementara melalui pamong praja setempat. Mendapatkan tenaga kerja, tidak sulit. Sejak runtuhnya perekonomian Hindia Belanda, banyak orang Indonesia yang menganggur dan pemerintah lokal lebih senang mengelola para pengangguran agar bekerja pada dirinya , daripada berkeliaran di jalan. Kebanyakan dari mereka dipekerjakan di daerahnya sendiri. Biasanya untuk jangka waktu tiga bulan, dan mereka mendapat upah yang pantas.

 

Pendayagunaan tenaga romusha di Jawa secara keseluruhan diulai 31 Mei 1943, setelah  di Tokyo diadakan sebuah konferensi kekaisaran. Pada konferensi itu diputuskan, mengingat jalannya peperangan Pasifik, untuk beralih dari strategi ofensif ke strategi defensif, maka konsekuensinya harus ada proyek-proyek pertahanan besar yang dibangun. Maka wilayah-wilayah dengan kelebihan tenaga kerja wajib mengirimkan romusha ke wilayah yang kekurangan tenaga kerja.

 

Sebagai hasil pembicaraan di Singapura, di Jawa lalu didirikan sebuah kantor tenaga kerja yang dikenal dengan nama Romukokyu, di bawah wewenang Departemen Dalam Negeri dan dengan kantor cabang di semua kabupaten. Atas anjuran para pengawas Jepang, Dewan Penasihat Pusat dalam rapatnya pada 15 sampai 19 Oktober 1943 mengambil inisiatif untuk mendirikan suatu organisasi bagi para romusha, yaitu Badan Pembantu Prajurit Pekerja (BP3).  Kata-kata prajurit pekerja' harus menimbulkan kesan bahwa seorang romusha ikut berjuang di barisan depan.

 

 

Hatta menjadi ketua atau Koicho bagian dari BP3. Tugasnya mengawasi persyaratan kerja dari para romusha dan memperjuangkan kepentingan keluarga yang ditinggal romusa. Jumlah total tenaga romusha mencapai beberapa juta. Menurut perkiraan Shigeru sepuluh juta. Pada tahap awal, sebagian dipekerjakan pada bidang infrastruktur. Dalam tahap kedua dalam bidang pertahanan, tetapi sebagian terbesar dikerahkan untuk pengadaan pangan. Untuk ini mereka harus membuat saluran-saluran irigasi, mengeringkan daerah rawa, membersihkan lahan, dan mengangkut beras.

 

Di daerah Pulau Jawa, banyak romusha yang dipekerjakan di Banten, sebuah wilayah di Jawa Barat yang belum berkembang dan relatif sedikit penduduknya. Proyek terbesar di sana adalah penambangan batu bara.  Di lubang tambang batu bara di Bayah, Banten selatan terdapat 20 ribu pekerja yang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk bekerja.  Dari jumlah itu terdapat satu orang pintar yang dianggap pahlawan bagi para pekerja romusa. Namanya Ilyas Husein yang tiba di Bayah pada Juni 1943.

 

Ilyas Husein adalah nama samaran Tan Malaka saat bekerja di Bayah. Berdasarkan pengakuannya dalam Madilog (2019), pertualangannya di Banten didorong oleh kesulitan ekonomi. Kesulitan itu membuatnya harus menghentikan penulisan Madilog. Seperti ditulis pada autobiografinya Dari Penjara ke Penjara (2014), Tan Malaka membaca informasi di surat kabar: “Orang-orang terkemuka supaya mendaftarkan diri ke kantor penasihat bala tentara Dai Nippon, Pegangsaan Timur 36, dengan data sendiri atau mengirimkan keterangan biografi lengkap, agar nanti mudah ditempatkan pada kedudukan yang layak.”

 

Awalnya ia tidak menaruh perhatian, terlebih ada keterangan “hanya orang-orang terkemuka”. Namun keputusannya berubah setelah bertemu dengan Dr. Purbocoroko di perpustakaan Gedung Arca. Mula-mula Dr. Purbocoroko meminta kesediaan para pengunjung perpustakaan untuk menerjemahkan tulisan yang dimilikinya ke dalam bahasa Inggris. Tan Malaka menerima permintaan tersebut. Setelah itu, Dr. Purbocoroko menganjurkan Tan Malaka untuk mendatangi Kantor Sosial di Tanah Abang Oost untuk mencari pekerjaan. Tempat tersebut ternyata kantor urusan romusa. Salah satu pegawai kantor mendatanginya dan menanyakan kesediaan untuk bekerja di tambang batu bara di Bayah yang dikelola oleh perusahaan Bayah Kozan Sumitomo Kabushiki Kaisha.

 

Tan Malaka menyanggupi dan harus kembali ke kantor tersebut keesokan harinya. Menurutnya, saat itu terdapat sekitar 50 pelamar, sedangkan yang dibutuhkan hanya sekitar 30 orang. Tan Malaka hampir mengurungkan niatnya karena terkendala kelengkapan administrasi, yakni ijazah SMP hingga SMT dan HBS pada masa kolonial Belanda, serta surat keterangan lainnya. Namun, karena ia lulusan MULO kelas 2 dan pernah bekerja di kantor impor Jerman di Singapura, maka ia diluluskan. Esoknya, ia bersama 29 orang lainnya berangkat ke Bayah dari Stasiun Tanah Abang. Setelah sampai di Malingping, perjalanan dilanjutkan menggunakan truk.

 

 

Hari pertama di Bayah, dalam kondisi mabuk kendaraan. Dalam buku Sukarno Biografi 1901-1950 tulisan warga Belanda Lambert Giebels, diceritakan Tan Malaka menginap di rumah bambu beratapkan rumbia. Esoknya, para pekerja dibawa ke kantor dan menuliskan riwayat masing-masing. Hal ini menurutnya dilakukan sebagai langkah Jepang untuk mengetahui riwayat orang-orang dan segala perkumpulan yang pernah diikutinya. Tahu bahwa Jepang anti-komunis, Tan Malaka mengisi lembar riwayat yang disediakan dengan nama samaran Ilyas Husein, keluaran dari MULO di kelas 2 dan bekas juru tulis suatu firma di Singapura. Ia kemudian ditempatkan di bagian gudang.

 

 

Hari-harinya dihabiskan untuk mengangkat barang dan tidak ada waktu untuk sekadar duduk dan menulis di atas meja. Jika terpaksa harus menulis, ia mesti mencari sendiri kursi dan mejanya yang berasal dari peti. Setelah enam bulan, ia dipindahkan ke kantor untuk mengurus para romusa yang masuk dan keluar di perusahaan ini.

 

 

Selama tugas di luar mengurusi tenaga kerja Romusa ini, banyak yang dieksploitasi oleh perusahaan pertambangan Jepang Sumitomo dan berhasil diingat Tan Malaka. Kira-kira 20.000 pekerja tambang tetap umumnya romusha asal Jawa. Mereka diawasi Kempetai dengan bantuan tentara Peta. Tan Malaka melukiskan sistem kerja Jepang cukup baik. Para romusha yang baru, yang didatangkan dalam gerbong-gerbong kereta api, mula-mula diseleksi. Mereka yang tidak cukup kuat karena fisik yang lemah atau karena mengidap penyakit, langsung dikembalikan ke desa asalnya.

 

 

Selama awal bulan di pertambangan, yang berbadan kuat diberi tugas menebang pohon di hutan dengan pendapatan 40 sen dan 400 gram beras. Namun banyak tenaga pekerja yang menjadi korban kecurangan data saat registrasi, dampaknya bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan tidak mendapatkan hak upah secara adil. Harusnya seperempat dari upah yang diterima pekerja, sedangkan sisanya ditahan perusahaan pertambangan utuk dikirim ke desa tempat asal para romusha. Setiap bulan jumlahnya bisa mencapai 50.000 gulden.  Namun praktek dilapangan hanya sebagian dari uang ini sampai ke tangan anggota keluarga yang berhak menerimanya. Sisanya habis oleh korupsi di perusahaan pertambangan itu sendiri.

 

 

Sebagian pekeja juga meningal dunia akibat minim perawatan medis dan kurang lancarnya pengadaan pangan. Angka kematian sangat tingginya. Tan Malaka menyebutkan angka 400-500 per bulan. “Orang Jepang tidak peduli. Mereka dengan mudah dapat memperoleh gantinya,” kata Malaka.

 

 

Untuk memulangkan para romusha yang kesehatannya tidak memenuhi syarat atau yang telah menggenapi masa bakti tiga bulan, dibutuhkan transportasi dengan frekuensi yang tinggi dan volume yang besar. Pernah Tan Malaka dijadikan pengawal salah sebuah transportasi itu. Ia sadar, bahwa untuk perjalanan yang memakan waktu berhari-hari. Serbab gerbong yanag mengangkut tenaga romusa hanya dikaitkan di kereta api biasa. Hampir tidak ada logistik yang cukup untuk bekal selama pejalanan. Maka para romusha yang sakit dan lemah, banyak yang mati di tengah jalan. Mayat-mayat mereka ditinggalkan di peron-peron, sambil diprotes para kepala stasiun.

 

 

Sekembali di Banten, Tan Malaka berusaha mengambil tindakan untuk memperbaiki transportasi para romusha. Ia juga berhasil memperbaiki pengadaan beras untuk para pekerja tambang. Dengan dibantu oleh beberapa orang anak muda yang bersemangat, ia berhasil membangkitkan perhatian untuk perawatan medis, dan dibangunnya sebuah rumah sakit untuk mereka.

 

 

Untuk rekreasi, para romusha mendirikan sebuah perkumpulan sepak bola dan sebuah perkumpulan sandiwara. Pihak pimpinan Jepang memberi kebebasan penuh, dan menyediakan dana yang diperlukan. Akhirnya, Tan Malaka menjadi kepala biro Jepang, khusus untuk menangani semua kegiatan yang ia pelopori.

 

 

Tan Malaka Bertemu Sukarno Tapi Tidak Saling Kenal

 

 

Sebenaarnya dua tokoh Tan Malaka dan Sukarno pernah dipertemukan dalam satu panggung yang sama di Romusa. Rupanya Sukarno tidak mengenali pria yang diperkenalkan sebagai Iljas Hoessein, sebagai pria yang pernah ia kenal sewaktu masih jadi pelajar di rumah kos HOS Tjokroaminoto.  Lalu apakah tanggung jawab Sukarno bagi nasib para romusha ini. 

 

 

Pada suatu pertemuan umum di taman Raden Saleh di Jakarta pada 16 Agustus 1944, Sukarno mengimbau hadirin agar mengajukan saran kepada Dewan Penasihat Pusat bagaimana memperbaiki dan terutama menailkan jumlah tenaga romusha. Sukarno meminta kepada kampung-kampung dan desa-desa untuk terlibat pengerahan tenaga romusa.

 

Sukarno menjadi komandan romusa. foto dot net

 

Satu bulan kemudian, Sukarno bersama dengan Kepala Bagian Propaganda Shimizu memimpin satu grup sebesar berjumlah lima ratus orang pemuka masyarakat, selama satu minggu bekerja sebagai romusha sukarela di Bogor. Tugasnya membantu membangun sebuah lapangan terbang. Hadir dalam korps sukarela ini Sartono, Roem, dan Ali Sastroamidjojo. Rosihan Anwar sudah menjadi redaktur Asia Raya, hadir sebagai wartawan.

 

Rosihan Anwar menceritakan bagaimana kamp romusha di Bogor panduan dengan pondok pondok yang rapi, dapur, dan kamar mandi yang terbuat dari bambu. Suasananya gembira. Sukarno dengan bangga memperkenalkan pasukan romusanya kepada residen Bogor dengan kata-kata, "Walaupun kelompok kami bukan terdiri dari orang muda, ada beberapa di antaranya yang sudah berumur enam puluh tahun, tetapi kami masih berjiwa muda,"

 

 

Kepada sesama romusha ia mengusulkan untuk tidak bercukur selama seminggu. Tujuannya ingin membuktikan telah bekerja tanpa hentinya. Dalam perjalanan propaganda ini dibuat foto Sukarno yang sampai hari ini masih belum berhasil ia lenyapkan, sebagai seorang romusha pangkat tinggi, memakai celana pendek, topi di kepalanya, bersandar pada sebuah sekop, menunjuk ke arah masa depan penuh kemenangan.

 

 

Sukarno sadar bahwa kehidupan romusha bukanlah mudah. Di bulan yang sama Sukarno berkunjung ke tambang di Banten. Tan Malaka, yang menyaksikan rombongan pejabat  ini dengan sinis mengisahkan tentang kunjungan luar biasa dari pemimpin-pemimpin besar bangsa, Sukarno dan Hatta.

 

Tan Malaka yang menyamar menjadi Ilyas Hoesain ditugaskan untuk menyuguhi makanan kecil dan minuman. Tan terpaksa meminjam dasi dari seorang teman untuk kesempatan bertemu dengan kawan lama namun dalam penyamaran. Dalam kesempatan itu, sang pemimpin besar menyampaikan pidato yang oleh Tan Malaka dianggap tidak perlu dikutip. “Pidato-pidato Bung Karno makin lama makin bak piringan hitam, ” kata Tan.

 

Setelah Soekarmo selesai berbicara, ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Dengan tergesa-gesa, Tan menyingkirkan baki dengan makanan kecil dan minuman-minuman yang dibawanya untuk mendapat kesempatan bertanya. Tentu Pertaanyaan  Tan menggambarkan kuwalitas intelektualnya. Melalui ungkapan yang hati-hati, Tan dengan samar-samar menyatakan bahwa ia tidak menyetujui pendirian yang dirumuskan Soekarno, bahwa kemerdekaan Indonesia tergantung kepada kemenangan Jepang.

 

 

Rupanya Sukarno sempat terkejut dengan pertanyaan yang sekaligus sebuah kritik dari orang pembawa baki bernama Ilyas Hoesain. Menjawab pertanyaan yang lantang itu, Sukarno mengatakan “Kalau Jepang pada saat ini mau menganugerahkan kemerdekaan kepada saya, maka saya-saya, Sukarno pribadi tidak akan menerimanya." Waktu Tan Malaka alias Iljas Hoessein mau menanggapi, tapi tidak diberi kesempatan untuk berbicara.

 

 

Banteng Besar mengakhiri pidatonya dengan menandaskan bahwa ia merasa dirinya seorang romusha. Dengan ucapan ini, Tan berkata "Apakah Sukarno juga bersedia mati sekarat bersama kami?" terdengar ungkapan itu di antara para pekerja tambang.

 

 

Sebenarnya keadaan mengenaskan para pekerja tambang di Banten tidak luput dari perhatian Soekarno. Hal itu menjadi jelas dari penuturannya kepada penulis otobiografi Cindy Adams.

 

 

Sementara itu pengalaman Tan Malaka akhirnya membuktikan sesuatu yang sebenama patut diperhatikan oleh Sukarno dan Hatta. Kalau orang Indonesia sendiri mengambil inisiatif untuk meringankan beban saudara sebangsanya, maka Jepang tidak mencegahnya. Sebaliknya, mereka menunjang usaha-usaha ini. Sukarno sebenarnya mempunyai peluang untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif seperti yang dilakukan Tan Malaka, dalam skala yang jauh lebih besar.  (pul)

 

Penulis : Pulung Ciptoaji

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023