Pemain Timnas Indonesia menuju piala dunia 1958
abad.id-Perjalanan Timnas tidak jadi tampil karena masalah Israel tidak hanya terjadi di era kepemimpinan PSSI Erick Tohir saja, ternyata jauh sebelumnya Sukarno pernah melarang Indonesia melanjutkan perjalanan babak berikutnya.
Cerita tentang kegagalan Indonesia akibat keikutsertaan Israel sebagai calon lawan tanding Timnas Indonesia, berawal Piala Dunia 1958. Presiden Soekarno memutuskan menolak main dengan Israel demi hormati Palestina. Timnas Indonesia sebelumnya sudah masuk ke babak kedua kualifikasi Piala Dunia setelah lolos dari grup 1 babak pertama. Kemudian, skuad Garuda ditempatkan satu grup dengan Israel, Sudan dan Mesir. Jika berhasil melewati tahap ini, Timnas Indonesia berpeluang besar melaju ke putaran final Piala Dunia 1958 yang digelar di Swedia.
Namun, Timnas Indonesia lebih memilih mengorbankan kesempatan emas itu, karena menolak melawan Israel. Asasannya Presiden Soekarno ingin menjaga hubungan baik dengan Palestina.
Suatu saat acara peringatan Hari Sumpah Pemuda di Istora Senayan, Presiden Soekarno menyampaikan tekadnya, bahwa Timnas Indonesia tidak akan pernah bermain sepakbola dengan Israel sampai Palestina merdeka. Pada kesempatan itu Presiden Soekarno menyatakan Timnas Indonesia mundur dan pulang WO.
Dengan mundurnya Timnas Indonesia, FIFA memutuskan Israel akan melaju ke babak play-off melawan Wales yang menyelesaikan babak kualifikasi zona Eropa di posisi ke 9. Beruntung Wales berhasil mengalahkan Israel dan melaju ke babak putaran final.
Dampak keputusan Presiden Soekarno ini telah membangkitkan rasa hormat dunia internasional terhadap Indonesia. Sebab dianggap turut meningkatkan kesadaran masyarakat akan perjuangan kemerdekaan Palestina.
Tahun 2023 kembali polemik hubungan Indonesia-Israel menjadi isu hangat, setelah beberapa pihak bersikeras agar Israel tidak diizinkan mengikuti Piala Dunia U-20 2023 yang akan digelar 20 Mei di Bali. Di antara pihak yang angkat bicara adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta pemerintah bersikap tegas dan tidak membuka pintu kedatangan Timnas Israel.
Padahal menurut Pakar Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair), Joko Susanto, dengan batalnya Indonesia sebagai tuan rumah gelaran piala dunia merupakan tragedi besar.
Beberapa pihak, khususnya pejabat dan politikus yang menolak beranggapan bahwa penolakan tersebut merupakan bentuk komitmen dalam mendukung kemerdekaan Palestina yang juga menjadi amanat Presiden Soekarno. Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa menerima Israel sama halnya dengan mengkhianati Soekarno. Namun Joko menilai, anggapan itu sangat tidak lagi relevan.
“Terlepas kita punya sejarah terkait penolakan itu, tapi saya melihat bahwa di sini yang ada, justru kegagapan dalam melihat situasi internasional,” kata Joko.
Alasan Joko, situasi politik internasional telah banyak mengalami perubahan. Ia memaparkan, sebelum tahun 1967, Israel adalah sebuah negara yang secara perimbangan kekuatan masih belum teruji, meskipun telah mendapat dukungan dari Amerika. Sementara itu, Liga Arab relatif lebih solid mendukung Palestina pada masa itu.
“Akan tetapi setelah tahun 1967 posisi Israel itu semakin terkonsolidasi, sehingga kemudian dukungan terhadap Palestina harus lebih kreatif, tidak sekadar mengulang cara-cara lama,” terang Joko yang menjadi Direktur Eksekutif Emerging Indonesia Project (EIP).
Dengan demikian, jika menganggap keputusan Soekarno diambil sebagai langkah penolakan serupa pada hari ini, berarti sama halnya dengan menyangsikan kemampuannya dalam membaca perubahan situasi global.
“Kita tidak bisa berandai-andai ketika misalnya Soekarno masih hidup, apakah ia akan mengambil langkah yang sama atau tidak. Tetapi, setidaknya dengan menganggap Bung Karno akan mengambil langkah yang sama, berarti kita telah meng-underestimate kemampuan Bung Karno dalam membaca perubahan,” tuturnya.
Sejak tahun 2018, Indonesia telah mendukung two state solution (solusi dua negara) sebagai satu-satunya cara untuk merealisasikan perdamaian antara Palestina dengan Israel. Dengan demikian, diperlukan cara-cara yang dipraktikkan dalam mendukung Palestina di era Soekarno tidak lagi sesuai dengan realitas saat ini.
Joko menganggap bahwa perlu adanya pembaruan langkah yang lebih strategis dalam mendukung Palestina. Saat ini Indonesia tengah menghadapi kegagalan dalam menghadapi dan membaca situasi yang berbuntut pada kebekuan cara pikir dan langkah strategis. Menurutnya, membela kemerdekaan negara lain bukan berarti harus mengorbankan kepentingan nasional negara sendiri.
“Saat ini kita terjebak dalam kebekuan cara pikir dan langkah yang membuat kita mati gaya. Menurut saya ini adalah kebangkrutan strategi yang serius, membela Palestina dan menjalankan kepentingan nasional harusnya bisa selaras,” tekannya.
Kegagalan Indonesia kali ini justru menjadi kontraproduktif. Pasalnya, Indonesia meletakkan upaya pembelaan Palestina dalam posisi diametral dengan penggemar sepak bola.
“Tentu momentum ini menjadi pelajaran besar di kemudian hari, bahwa upaya mendukung dan membela negara mana pun harus tetap selaras dengan kepentingan nasional kita. Kalau tidak, ya kita akan seperti ini lagi, mengalami tragedi besar,” kata Joko.
Ke depan, pemerintah Indonesia harus lebih kreatif dalam menghadapi situasi pelik yang melibatkan kepentingan nasional. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat juga harus lebih mengutamakan langkah strategis. (pul)