images/images-1684050650.jpg
Sejarah

Kesan Ali Sadikin Saat Menjenguk Bung Karno di Wisma Yaso

Pulung Ciptoaji

May 14, 2023

628 views

24 Comments

Save

Bung Karno meninggal dunia pada Minggu, 21 Juni 1970 di Wisma Yaso Jakarta. Foto dok net 

 

abad.id- Cerita tentang hari-hari terakhir Soekarno di masa hidupnya yang tinggal dalam kondisi sakit di Wisma Yaso, menjadi sejarah pahit bagi bangsa Indonesia.  Soekarno resmi menanggalkan kursi RI-1 pada 1967 setelah menandatangani surat pernyataan penyerahan kekuasaan. Tak sampai di situ, pada 12 Maret 1967, MPRS menerbitkan Ketetapan MPRS Nomor 33/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.

 

Disebutkan dalam TAP MPRS tersebut bahwa Soekarno tidak menyampaikan pertanggungjawaban secara jelas soal pemberontakan G 30 S/PKI. Soekarno juga disebut terindikasi melakukan kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan dan melindungi tokoh-tokoh G 30 S/PKI.

 

TAP MPRS itu juga melarang Soekarno melakukan kegiatan politik hingga pemilihan umum. Terbitnya MPRS Nomor 33/1967 menandakan runtuhnya era kekuasaan Sang Proklamator.

 

Sejak hari itu, kehidupan Soekarno berubah drastis setelah. Dia diusir dari Istana Negara Jakarta. Bung Karno sempat menjadi "tahanan rumah" di Istana Bogor, lalu berpindah ke Wisma Yaso Jakarta. Di rumah itu, Soekarno tak punya teman bicara. Bahkan, anak-anak Soekarno hanya diizinkan menjenguk dengan waktu terbatas.

 

Dalam buku Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977 tulisan Ramadhan KH menyebutkan, Soekarno selalu diawasi penjaga dengan ketat. Tak hanya terasing, siapapun yang hendak menjenguk harus melewati pemeriksaan terkait apa dan tujuannya. Sejak tinggal di Wisma Yaso, kondisi Soekarno terus memburuk. Presiden pertama RI itu memang menderita penyakit batu ginjal, peradangan otak, jantung, dan tekanan darah tinggi.

 

Setelah tiga tahun melewati hari-hari sunyi, akhirnya, Bung Karno mengembuskan napas terakhirnya pada Minggu, 21 Juni 1970. “Begitu kabar duka yang saya tarima. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Setelah terkejut dan mendoa, segera saya pergi. Tapi saya tak sempat melihat jenazah beliau di rumah sakit,” kata Bang Ali Sadikin mantan Gubernur DKI Jakarta.

 

Ali Sadikin mengaku merasa kehilangan seorang Bapak bangsa. Seperti juga banyak orang, Bang Ali juga disadarkan, bahwa telah kehilangan seorang pemimpin besar, pemimpin bangsa yang berharga, yang sangat berarti, malahan dikagumi oleh banyak bangsa di dunia.

 

Ketika ikut dalam suasa berkabung, banyak orang mengungkapkan penghargaan yang tinggi kepada Bung Karno. “Beliau penggugah seluruh bangsa untuk mengenal hak-haknya. Seluruh rakyat jadi bersatu dikarenakannya, dan kemerdekaan kita tercapai. Kolonialis pernah pusing disebabkannya. Dunia pernah geger, dan kini telah menghadap kepada Yang Maha Kuasa,” tulis Bang Ali.

 

Bang Ali masih ingat bulan-bulan terakhir sebelum meninggal dunia. saat itu menengok Bung Karno di Wisma Yaso. Keadaan tempat tinggal sangat kotor, penuh kotor debu di mana-mana. Padahal Bung Karno sangat menyukai kebersihan. Kebunnya juga tidak diurus. Di dalam ruangan sangat kotor. Padahal Bung Karno juga tidak senang pada kekotoran.

 

“Jangankan pada kekotoran yang begitu tampak dan bertumpuk, debu sedikit pun beliau tidak senang. Beliau sangat teliti, mencintai keindahan dan kebersihan. Saya jadi amat sedih. Pikiran saya, kok tega-teganya orang terhadap beliau. Saya yakin, pasti beliau merasa menderita. Apakah itu disengaja? Masa ada yang sengaja berbuat begitu? Sampai sekarang saya tidak mengetahui jawabannya yang pasti,” cerita Bang Ali.

 

Ali Sadikin selalu ingat kebiasaan Bung Karno suka mengobrol. Pada waktu ada di Wisma Yaso tak ada orang yang menjadi tempat mengeluarkan isi hatinya. Tentunya beliau merasa tertekan. Ali merasa sangat dekat dengan Bung Karno. Sebab Bung karno selalu correct terhadap kepemimpinan Jakarta di tangan Ali Sadikin.

 

“Yang saya rasakan, beliau hebat rasa kemanusiaannya. Orang yang sebelumnya benci terhadapnya, begitu bertemu dan bergaul dengannya pasti berbalik mengaguminya. Soalnya, seperti yang saya rasakan, kita dianggap sebagai manusia yang sama derajatnya. Kita tidak kikuk berhadapan dengannya. Tidak ada rasa takut. Pokoknya kita bebas. Caranya juga enak gitu. Tidak harus resmi-resmian. Kalau kita bertemu dalam resepsi, beliau datang menghampiri kita dan kasih tangan. Apa kabar kamu? tegurnya. Mendengar begitu, kan enak,” tambah Ali Sadikin.

 

Rasa kagum terhadap Bung Karno ternyata menembus batin dan hati nurani Ali Sadikin. Dari hari ke hari, semakin bertambah menghargainya. Bukan karena Bung Karno yang memilih dan mengangkat menjadi Gubernur Jakarta, bukan semata karena Sukarno yang mencambuk setelah dilantik. Namun karena renungan yang menimbang-nimbang antara kebaikannya dan kesalahannya. Bung Karno berhasil menyatukan bangsa. Namun tidak menutup mata, telinga dan perasaan. Bung Karno juga punya kekeliruan. Tapi kalau dihitung-hitung, lebih banyak jasanya.

 

Sepeninggal Bung Karno, Ali Sadikin mengaku terharu melihat putera-puteri Bung Karno. Maka dibuatlah ide menghimpun dana. Ada pengusaha-pengusaha besar yang membantu untuk bisa memberikan rumah kepada Megawati, Sukmawati dan Guruh yang waktu itu tidak mempunyai rumah. Ali Sadikin mengambil inisiatif begitu, karena tidak tega melihat anak-anak Sukarno tidak punya atap. Ali sakidin mengetuk hati para pengusaha. “Pak Hasjim Ning saya mintai bantuannya. Saya tahu Pak Hasjim dekat dengan Bung karno, dalam pengertian baik, bukan dekat untuk mendapatkan fasilitas. Sejak zaman Jepang Pak Hasjim sudah berdagang,” tambah Ali Sadikin.

 

Ada kesan yang tidak bisa dilupakan tentang Sukarno, bahwa kemauan dan kehendak tidak pernah bisa dicegah. Suatu ketika Bung Karno memanggil Ali Sadikin saat menjadi Menko Urusan Maritim. Bung Karno meminta bantuan untuk kepentingan mertuanya. Ia juga waktu itu tidak bilang harus, tapi bertanya, "Bisa nggak?"

 

Kemudian Ali Sadikin membawa berkas-berkasnya ke kantor.  Lalu dipelajari masalahnya bersama staf saya. Ternyata permintaannya tidak bisa dilaksanakan, tidak mungkin. Lalu Ali Sadikin menyampaikan langsung kepada Bung Karno. “Setelah saya jelaskan, Bung Karno berkata, baiklah kalau begitu, selesai persoalan itu,” perintah Bung karno kepada Ali Sadikin.

 

Dalam pandangan Ali Sadikin, orang ini benar-benar hebat. Ia tidak mempergunakan kekuasaannya sebagai Presiden untuk soal-soal yang kecil. "Paling penting buat saya, merasa ia menghargai saya sebagai pembantunya. Karena peraturan mengatakan tidak bisa, dan saya sebagai bawahan berani berkata begitu, berarti ia menghargai saya. Ia pun tidak marah. Apalagi sentimen. Buktinya, saya masih sering diajaknya berlenso-lenso bersama isteri saya, Nani,” cerita Ali Sadikin. (pul)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022