images/images-1678420782.png
Data

Pentas Kelimoetoe Toneel Berjudul "Tahoen 1945", Ramalkan Indonesia Pasti Merdeka

Pulung Ciptoaji

Mar 10, 2023

389 views

24 Comments

Save

Bung Karno dan Inggit Garnasih berfoto bersama Kelimoetoe Toneel Club. (Foto: PDI Perjuangan)

 

abad.id- Pertengahan Februari 1934, Soekarno diangkut dari Bandung ke Surabaya dengan pengawalan polisi. Ikut dalam rombongan kereta api, Inggit, Ibu Amsi mertua Soekarno, Omi dan dua orang pembantu rumah tangga. Mereka ingin menemani Soekarno dalam pengasingannya. Di Surabaya Albreghs menyerahkan tahanannya kepada pejabat polisi J. de Vries. Di dalam penjara di Jalan Werf, tempat Soekarno ditahan untuk sementara waktu, ia diperbolehkan mengucapkan selamat tinggal kepada orang tuanya yang telah datang dari Blitar.

 

Perpisahan yang penuh emosi. Bapaknya Raden Soekemi meratapi nasib buruk anaknya. Soekarno minta diampuni. Ibunya sanggup menahan diri. "Terimalah nasib, anakku, Terimalah nasib tanpa gentar" kata Soekarno.

 

Lambert Giebels dalam Soekarno Biografi 1901-1950 mencatat, tanggal 17 Februari Soekarno dan keluarga, berangkat delapan hari perjalanan menuju ke Endeh Flores di bawah pengawalan De Vries menggunakan kapal KPM Jan van Riebeeck.  

 

Mereka yang menemani Soekarno dalam pengasingannya Endeh Flores. Foto dok net

 

Setiba di Endeh, Soekarno memberikan kesan khusus.  Antara lain selama di Endeh ia bebas bergerak dalam radius 10 kilometer. Memang para buangan di Endeh diawasi oleh suatu kesatuan polisi kecil. Polisi ini melapor kepada Asisten Residen, kepala daerah Flores di kota Endeh. Asisten Residen melapor kepada Residen Timor, yang berkedudukan di Kupang, J.J. Bosch. Bosch mengolah data yang ia perolah dari Endeh di dalam Laporan Bulanan Politik-Polisionil keresidenannya. Di dalam laporan itu, secara teratur dibubuhi catatan yang berbunyi bahwa Soekarno tidak mengembangkan aktivitas politik.

 

Soekarno dan keluarga tinggal di pesanggrahan selama sebulan., lalu menyewa rumah di kampung di pinggir laut dekat pelabuhan dan alun-alun kota Endeh. Bagi Inggit, rumah kayu beratap seng dengan jendela-jendelanya yang kecil harus diterangi dengan lampu minyak. Model rumah ini merupakan rumah yang sederhana. Namun untuk ukuran orang Endeh, tempat tinggal itu tergolong mewah.

 

Di samping membaca buku-buku dari perpustakaan, Soekarno juga mengembangkan bakat-bakat lainyaitu sebagai penulis dan sutradara. Tonil merupakan ruang atau media katarsis atau pelepasan ketegangan saat Bung Karno merasakan tertekan dan kesepian dalam pengasingannya.

"Aku memerlukan suatu pendorong sebelum aku membunuh semangatku sendiri," kata Bung Karno dalam biografinya. "Itulah sebabnya aku mulai menulis cerita sandiwara."

Suatu hari Bung Karno berkata kepada sang istri Inggit Garnarsih, "Ayo kita dirikan perkumpulan itu. Sandiwara! Kita penuhi dunia ini dengan sandiwara."

 

Lalu Bung Karno menamakan klub tonil Kelimoetoe Toneel Club, atau dalam ejaan saat ini Klub Tonil Kelimutu. Riwu dan teman-temannya dari Sawu ikut bergabung. Begitu pula Inggit dan Omi, orang tua kandung Kartika, penjahit Dirham yang datang dari Kalimantan, mandor sekolah Aboetirdjo dan seorang guru Jawa Asmara Hadi dari sekolah persiapan. Bahkan seorang polisi juga menjadi anggota dari Perkumpulan Sandiwara Kelimutu. Hanya mereka yang bisa berbahasa Indonesia boleh ikut main, yang lain diberi peran bisu atau bertugas di belakang layar. Demikianlah Riwu mementaskan tari Ledo, sebuah tarian perang dari pulaunya.

 

Soekarno mulai dengan suatu cerita yang ia karang secara garis besar saja. Lalu disampaikan kepada kelompok pemain, kemudian ia menetapkan siapa memegang peran apa. Mereka latihan di rumahnya atau kalau hari tidak hujan mereka berlatih di kebun. Para pemain menghapal peran mereka dengan terus mengulang apa yang dikatakan Soekarno dan meniru contoh yang ia berikan.

 

Semasa di pengasingan Ende (1934-1938) Bung Karno menulis 13 naskah tonil. Yaitu Dokter Setan, Tahun 1945, Nggera Ende, Amuk, Rendo, Kutkutbi, Maha Iblis, Anak Jadah, Rahasia Kelimutu (dua seri), Aero Dinamik, Jula Gubi, Siang Hai Rumbai.  Ada spesial, naskah yang ditulis Soekarno berjudul Tahoen 1945. Di dalamnya (ia meramalkan masa depan) ia menggambarkan pembebasan Indonesia pada 1945.

 

Ada yang menganggap Soekarno tidak sendiri menjadi sutradara dari semua sandiwara tonil tersebut. Sebenarnya Soekarno menyerahkan tugas itu kepada seorang warga Filipina bernama Nathan yang dikenalnya di Endeh. Orang Filipina ini keliling Kepulauan Nusantara dengan rombongan sandiwaranya. Dari pengalamannya ini, Nathan sangat membantu memproduksi klub tonil Kelimoetoe Toneel Club besutan Soekarno.

 

Soekarno juga menulis suatu pementasan yang terdiri dari nyanyian dan tarian, semacam musical. Dasar ceritanya adalah drama cinta Portugis yang diceritakan secara turun temurun. Ceritanya mengisahkan hal ihwal seorang nakhoda kapal Portugis, Don Louis Pereira, yang jatuh cinta pada seorang gadis cantik jelita dari Flores bernama Rendo dengan rambut keemasan yang hampir tujuh meter panjangnya. Sang kapten ingin menculik Rendo yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki bernama Inaa. Untuk mendapatkan peran itu, Inggit dan Omi merias Inna menjadi perempuan sangat cantik. Inna memainkan perannya dengan begitu menyakinkan sehingga salah seorang polisi jatuh cinta dan kemudian datang ke Soekarno dan Inggit untuk melamar.

 

Pementasan lain yang tetap melekat dalam ingatan yaitu sandiwara enam babak yang berjudul Dokter Setan. Naskah ini adalah interpretasi Soekarno dari cerita Frankenstein yang versi filmnya pada wakru itu sangat populer. Karel dari Sawu yang memegang peranan Boris Karloff agaknya tampil begitu seram sehingga semua orang ketakutan. Sewaktu latihan, Soekarno menjelaskan bahwa orang mati yang dihidupkan kembali oleh dokter Frankenstein. Di dalam cerita ini Frankenstein diberi nama dokter Marzuki, melambangkan Indonesia, yang pada suatu hari kelak akan dibangunkan dari mati suri. Simbolik yang terkandung dalam hasil karya Soekarno itu berhasil lolos dari perhatian penonton dengan cara pementasannya yang rumit.

 

Panggung menggambarkan sebuah laboratorium yang di tengahnya tertancap sebatang pipa hingga mencapai atap. Dari pipa itu tergantung kawat dan label ke meja operasi. Di atas meja tergeletak montir Ali Pambe di antara berbagai bagian rubuh terbuat dari kayu yang dicat sedemikian rupa sehingga mirip aslinya. Ali Pambe memainkan peran sebagai mayat dengan sangat meyakinkan. Di dekat meja berdirilah dokter Marzuki dan perawat Haryati. Sedangkan agak ke samping dekat suatu alat yang mirip generator. Pada saat tertentu, dokter Marzuki mengatakan mayat itu akan bangkit dan hidup lagi.

"Kapan Kak?" Haryati bertanya.

“Kalau halilintar menyambar dan Tuhan akan mengirimkan tenaga listrik yang akan membangkitkan mayat ini," dokter Marzuki menjelaskan.

Pada pertunjukan perdana, saat kata-kata terakhir dokter Frankenstein alias Marzuki itu diucapkan, secara kebetulan guntur menggelegar dan hujan deras mulai turun. Dokter Marzuki kemudian memasang sambungan pada tangan yang mencuat ke luar dari bagian-bagian bangkai Ali Pambe sambil berseru," Willem, naikkan kapasitas mesin. Lebih tinggi, lebih tinggi, dua puluh.....tiga puluh....lima puluh amper!"

Mayat mulai bergerak dan tampak Ali Pambe bangkit.

“Kita akan menamakannya Robor," kata dokta Marzuki berbicara ke arah penonton di ruangan.

 

Di kantor Asisten Residen terdengar desas-desus bahwa pementasan hasil karya orang buangan politik ini berisi ucapan-ucapan anti Belanda. Sang Asisten Residen yang tidak menguasai bahasa Indonesia minta tolong pastor Huytink untuk menyensor naskah-naskah Soekarno. Huytink melakukannya bersama si penulis,  keduanya justru menikmati perteman-pertemuan dengan hangat dan bersahabat.

 

Selain bertindak sebagai penulis dan sutradara, Soekarno juga menjadi produser dari sandiwara-sandiwaranya. Semua orang dilibatkan. Kaum wanita perkumpulan sandiwara menjahit kostum-kostum. Bruder Lambertus membuat dekor dan keperluan-keperluan sandiwara lain yang rumit. Pastor Huytink menyediakan rumah paroki Immaculata. Di lingkungan kota yang sepi itu, yang tidak mempunyai gedung bioskop, pementasan-pementasan Soekarno yang sebenarnya hangya sandiwara amatir, merupakan kesenian yang selalu ramai penonton.

 

Seorang Frans Seda yang pada masa orde baru menjadi orang kepercayaan Presiden Dsuharto sangat ingat pementasan Sandiwara Tonil Soekarno ini. Saat itu dia masih berumur 10 tahunan, berada di bangku depan saan menonton pertunjukan perdana Dokter Setan. Ia ingat banyak orang terkemuka hadir di sana. Soekarno duduk di baris paling depan di antara para tamu kehormatan dan bukannya sebagai sutradara di belakang tirai. Di antara para tamu tampak para pater dan orang-orang terpandang golongan pribumi. Asisten Residen juga hadir. Kehadiran orang ini menimbulkan sedikit kesulitan.

 

Sebab Soekarno biasanya membuka pementasan sandiwara-sandiwaranya dengan mengajak hadirin menyanyikan Indonesia Raya. Sebagai ganti dari refrein “Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka", pada waktu itu mereka masih menyanyikan dengan “Indonesia Raya, Mulia,Mulia".

Bagi seseorang yang mewakili kekuasaan Hindia Belanda, lagu ini dianggap melampaui batas. Ketika Indonesia Raya mulai dinyanyikan, sepanjang ingatan Seda, Asisten Residen O. Schumacher langsung meninggalkan ruangan. Namun kemudian menempati kembali tempat kehormatannya setelah lagu itu selesai.

 

"Seperti karya yang lain, cerita ini membawakan suatu moral. Pesan yang tersembunyi di dalamnya adalah, bahwa tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi," jelas Bung Karno.

 

Di Endeh Soekarno memang hidup sebagai orang berkecukupan, sesuai perannya sebagai orang terhormat. Kebutuhan hidup primer di Flores memang murah, tetapi karena seluruh rombongan sandiwara mondok di rumah Soekarno, maka biaya rumah tangga menjadi lebih besar. (pul)

 

 

 

 

Artikel lainnya

Seru, 400 Orang Jawa Sedunia Bakal Kumpul di Surabaya

Author Abad

Oct 04, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Politik Hukum, Tumbal dan Sumber Kegaduhan

Malika D. Ana

Jan 07, 2023

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023