Para Perwira Legiun Mangkunegaran akhir abad ke-19 berpose bersama di depan Pura Mangkunegaran.Para perwira tersebut menggunakan seragam upacara khas Eropa dengan epolet(epaulette), celana putih, pedang kavaleri topi Eropa yang dikombinasi-kan destar batik khas Jawa. Foto dok Keluarga Besar Daradjadi Gondodiprojo
abad.id- Menyebut nama Legiun Mangkunegaran tidak nisa dipisahkan dari keberadaan Praja Mangkunegaran. Nama legiun mengadopsi organisasi militer Perancis. Sebab pada satu masa (1808-1811) pernah masuk ke Jawa prajurit Napoleon Bonaparte. Jendral Perancis sempat meminta Menteri Kelautan dan Koloni Laksamana Denis du Decres (1801-1815) untuk mengirimkan 10.000 Legionnaire ke tanah Jawa. Tentara ini diperbantukan untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Dalam buku Legiun Mangkunegaran (1808-1942) tulisan Iwan Santosa menjelaskan, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels sendiri yang meresmikan berdirinya Legiun Mangkunegaran sebagai satuan militer dengan struktur Grande Armee Napoleon pada tahun 1808. Grande Armee istilah yang dikenal sebagai pasukan elit Kerajaan Perancis pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19.
Tindakan penamanan dan ketangguhan Legiun Mangkunegaran ini pernah dibuktikan pada masa pemerintahan Mangkunegara V tahun 1888. Saat itu muncul gerakan ekstrem kanan yang dipimpin Iman Sampurno, yang sempat memancing kerusuhan bersenjata. Penumpasan kelompok Iman Sampurno merupakan salah satu tugas yang diselesaikan dengan baik oleh Legiun Mangkunegaran.
KPH Gondosuputro, Wakil Komandan Legiun Mangkunegaran.
KRMH Darajadi Hoesodo Gondodiprojo dalam buku Prajurit Pengawal Takhta yang mengisahkan riwayat KPH Gondosuputro menjelaskan, Iman Sampumo adalah seorang penggarap tanah milik KPH Gondosuputro di daerah Girilayu. Nama asli Iman Sampurno adalah Iman Rejo, anak dari Reksowijoyo yang merupakan kamituwa Desa Klanggon. Semasa kanak-kanak, Iman Rejo menjadi santri di pesantren desa yang dipimpin Haji Mohammad Saleh. Setelah dewasa, Iman Rejo menikahi cucu Suronggono, demang (Kepala Desal) Gedangan dan pindah ke Girilayu. Dia menggarap tanah milik KPH Gondosuputro dan menjabat ketib (pemuka agama) desa tersebut.
Iman Rejo memiliki minat tinggi dalam spiritualisme. Dia sering bermalam di makam Mangkunegara IV. Saat bermukim di Girilayu, dia pernah enam bulan belajar agama ke daerah Ngawi dan bertapa di hutan Alas Tuwo. Sepulang dari merantau, dia rajin memberi ceramah keagamaan kepada penduduk Girilayu. Penam-pilannya berubah, dia mengenakan jubah dan surban putih. Pengikutnya pun bertambah banyak hingga dari desa-desa lain di wilayah Karanganyar.
Suatu hari dalam pertemuan, Imam Rejo mengklaim diri sebagai satu-satunya ulama yang mengajarkan Islam secara benar, dan mengganti nama menjadi Zaenal Abidin Iman Sampurno. Bahkan dia menyatakan diri sebagai titisan Mangkunegara IV. Karena itu, dia harus dipanggil dengan gelar Bandara Raden Mas (BRM). Demikian pula istri dan anaknya harus dipanggil dengan sebutan bangsawan Jawa.
Dia meminta semua orang mengangkat sembah sebelum berbicara pada dirinya. Lebih jauh lagi Iman Rejo alias Iman Sampurno membentuk tentara untuk berjihad memurnikan agama. Dia mengangkat kakaknya yang bernama Nitomenggolo sebagai panglima. Nitomenggolo juga diberi nama baru yakni Iman Hanafi. Cara penggunaan nama alias bagi kelompok ekstrem memang digunakan sejak lama. Nama baru tersebut dijadikan sarana legitimasi dan alias bagi sosok ekstremis.
Akhirnya,pada tanggal 11 Oktober 1888, sekawanan pria sebanyak 80 orang bersenjata tombak, pedang dan lain-lain meninggaikan Girilayu sambil berzikir. Rombongan dipimpin Iman Sampurno yang diikuti istri dan anaknya. Pada sore hari, mereka menduduki Pesanggrahan Sri Katon di Tawangmangu milik Pura Mangkunegaran. Pesanggrahan itu didirikan Mangkunegara IV sebagai tempat tetirah keluarga Mangkunegara.Para penjaga dan pengawal Pesanggrahan Sri Katon dilumpuhkan oleh gerombolan Iman Sampumo.
Peristiwa menggerkan diketahui Pura Mangkunegaran pada malam harinya. Pangeran Prangwedono V segera menggelar pertemuan darurat bersama Residen Surakarta dan KPH Gondusuputro sebagai Letnan Kolonel Wakil Komandan Legiun Mangkunegaran. Rapat memutuskan untuk mengirim 30 personel infanteri dan kavaleri Legiun Mangkunegaran untuk meredam kerusuhan itu.
Tepat tanggal 12 Oktober 1888 pukul 12.00, pasukan Legiun Mangkunegaran tiba di Pesanggrahan Sri Katon, Tawangmangu. Pesanggrahan dikepung pasukan Legiun Mangkunegaran bersenjata lengkap. Sebanyak 16 serdadu infanteri memagar betis kompleks pesanggrahan dalam jarak 30 langkah. Tiba-tiba dari dalam pesanggrahan terdengar teriakan "Siapa kalian? Kalau kalian orang baik-baik akuilah aku sebagai satu-satunya Gusti (Penguasa) mu! Sehingga aku tidak perlu bertindak lebih jauh!." Teriakan ini diulang beberapa kali.
Tidak lama setelah itu, seorang prajurit kavaleri Legiun Mangkunegaran berteriak memerintahkan yang berada di Pesanggrahan Sri Katon untuk keluar menyerahkan diri.
Tidak ada jawaban dari pesanggrahan, yang terdengar hanya suara dzikir. Tidak beberapa lama, seseorang bersenjatakan kelewang keluar dari pintu samping. Pria itu rubuh setelah dihujani tembakan prajurit legiun yang mengepung.
Selanjutnya, para prajurit Legiun Mangkunegaran segera merangsek menyerbu masuk pintu utama Pesanggrahan Sri Katon. Saat itu menemukan 13 orang anggota gerombolan ekstremis yang berada di dalam. Imam Sampurno dan gerombolan dipukul mundur. Tercatat Imam Sampurno, istri, anak dan Nitomenggolo alias Imam Hanafi tewas di lokasi. Mereka dikubur di sekitar pesanggrahan. Anggota gerombolan Imam Sampurno yang terluka dirawat oleh dokter Mangkunegara.
Tumpukan senjata ditemukan di dalam pesanggrahan. Tidak lama kemudian Mangkunegara V dan Letnan Kolonel KPH Gondosuputro meninjau Pesanggrahan Sri Katon yang sempat dikuasai gerombolan ekstremis Imam Sampurno. Setelah itu, Mangkunegara V memerintahkan Mantri Polisi Mertodirejo memburu sisa-sisa pengikut Imam Sampurno. Namun, tidak semua tertangkap karena banyak yang menghilang, tidak berani pulang ke desa asal atau bermukim di wilayah Mangkunegara. (pul)