images/images-1679552916.png
Tokoh

Petualangan Mayor AV Michiels Terlibat Perang di Nusantara

Pulung Ciptoaji

Mar 23, 2023

815 views

24 Comments

Save

Letnan Kolonel Andries Victor Michiels

 

abad.id- Waktu perundingan telah tiba. Tiga minggu adalah waktu yang cukup bagi Gubenur Jendal De Kock untuk mempersiapkan semuanya. Rumah Residen Kedu telah diatur dengan rapi menyesuaikan dengan suasana Idul Fitri. Lebih tepat ini adalah acara pesta halal bi halal untuk saling memaafkan. Diponegoro memasuki ruangan dengan membawa serta dua anaknya yang masih kecil. Ia didampingi Basah Mertonegoro, Kaji Isa, dan Kaji Badarudin. Dari pihak Belanda, De Kock didampingi tiga perwira.

 

Tak ada pembicaraan berarti karena De Kock sengaja membawanya pada suasana santai tanpa tema yang jelas. Berbasa-basi untuk membuat kendur saraf. Sementara di luar gedung, suasana dibuat layaknya pesta lebaran. Para prajurit Diponegoro terlena dengan kenyamanan pesta penuh makanan. Para serdadu Belanda sudah dengan sigap melucuti senjata para pejuang yang terbuai oleh sambutan yang ramah. Mereka tak dapat berbuat apa-apa. Dalam waktu singkat 1.400 prajurit menjadi macan ompong tanpa senjata.

 

Dalam suasana yang yang hanya basa basi itu, Mayor A.V. Michiels masuk ke ruang perundingan. Dia mendekat De Kock dan membisikkan sesuatu. Tidak lama kemudian kedatangan puluhan serdadu bersenjata lengkap dengan bayonet terhunus mengkilap memasuki ruangan.

“Aku harap tidak ada yang keluar dari ruangan ini, kecuali Kaji Isa dan Kaji Badarudin," kata De Kock.

 “Apa-apaan ini?" tanya Diponegoro dengan bahasa Jawa ngoko.

“Saya datang ke sini dengan niat baik, mau menepati janji untuk berunding. Sekalian melakukan silaturahmi di Idul Fitri. Tak ada niatku untuk bertengkar. Tapi, mengapa sikap kalian seperti ini?”

“Hai,Diponegoro, aku membawa surat penangkapan untukmu karena kamu telah melanggar hukum. Salah satu-nya adalah kamu dituduh bersalah telah memicu peperangan hingga mengakibatkan ribuan orang te-was dan telah membuat kerugian yang sangat besar. Kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus menyerah!”

 

“Takada kata menyerah dalam hidupku. Aku manusia merdeka. Kalian bisa saja memperdayaku, bahkan membunuhku. Tapi, kaliaƄ tak akan pernah bisa memperbudakku."

"Diponegoro! Kamu memang bandel. Kamu sudah tidak punya apa-apa lagi, masih belum juga mau mengaku kalah?"

 

Seketika, Diponegoro memegang keris Bondoyudonya, siap ia hunuskan ke dada De Kock. Dengan sekali lompat, keris itu pasti sudah menebus dada De Kock. Tangannya sudah terlatih untuk itu. Tapi tidak dilakukan, dalam batinnya kesadarannya pada takdir menahannya melakukan hal tersebut. Akalnya berpikir, andai ia nekat melakukannya, justru malah tidak baik. Ia memikirkan nasib seribu lebih pasukan yang berada diluar.

 

Ingatan Diponegoro melayang ke masa silam. Tentang eyang buyut putrinya, tentang istri-istrinya, tentang anak-anaknya, tentang para pengikut setianya, tentang tempat tinggal dan harta benda yang telah hilang. Semua itu karena perang jawa, karena keputusannya untuk mengobarkan perang.

 

Penangkapan Diponegoro tak lepas dari peran penting Mayor A.V. Michiels, seorang perwira kelahiran Maastricht, Belanda, pada 30 April 1797.  Michiels sudah masuk militer sejak berumur 17 tahun. Sebenanya dia anak seorang pengacara J. Michiels dan A. Gillis. Pangkat pertamanya letnan dua ketika pertama kali bergabung militer.

 

Pertempuran penting pertama yang pernah diikuti adalah Waterloo pada 1815. Setelah Napoleon kalah, tahun 1817, dia perbantukan ke Jawa dengan pangkat letnan satu. Setiba di Jawa, langsung disambut dengan penumpasan perlawanan Cirebon. Kariernya pun menanjak sangat cepat. Tak butuh waktu lama akhirnya menjadi kapten. Ketika Perang Diponegoro berkobar, dia sudah berpangkat mayor. Perang Jawa adalah debut penting dalam karier militernya.

 

Pada 11 November 1829, Diponegoro sebenanya nyaris tertangkap di Pegunungan Gowong oleh pasukan gerak cepat ke-11 yang dikomandani Mayor AV Michiels.  Namun baru 25 Maret 1830 saat hari raya 1 syawal, Michiels dengan licik melakukan tindakan penangkapan. Aksi penangkapan Diponegoro  dianggap tidak terpuji dan tidak ksatria dan curang atas gagasan de Kock. Mayor A.V. Michels, bersama Letnan Kolonel du Perron, diperintahkan mengamankan penangkapan sang pangeran jika sudah masuk ruang perundingan.

 

Mayor AV Michiels Terlibat Perang Bonjol

 

Debut pertemuran di nusantara yang melibatkan Mayor AV Michiels yaitu parang Padri di benteng bukit Bonjol Sumatra barat. Bergabungnya veteran dari Jawa setelah selesainya perang Diponegoro, dengan alasan, seteah tiga bulan lamanya Jenderal Cochius memimpin peperangan dengan segenap tenaga namun tiada hasil. Bahkan tidak juga bertambah baik kedudukan tentara, baik lebih luas penguasaan wilayah atau semakin sempit. Perang Imam Bonjol butuh kekuatan tambahan dan penyegaran pasukan, untuk menggempur pasukan lawan.

 

Perang Padri bermula adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat dalam masalah praktik keagamaan. Pertentangan itu dimanfaatkan sebagai pintu masuk bagi Belanda untuk campur tangan dalam urusan Minangkabau. Foto istimewa

 

Pasukan dibawah komando Mayor AV Michiels dari berbagai suku, terutama dari Nias, Ambon, Maluku, Suku Dayak Kalimantan, Manado, Timor, Jawa. Dalam buku Tuanku Imam Bondjol Perintis Djalan Ke Kemerdekaan, tulisan Dawis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoekimenyebutkan,  para petinggi-petinggi serdadu Belanda ini sebenarnya tidak mengetahui kekuatan pasukan di Bonjol. Mereka melakukan penyerangan secara sporadis dan perusakan di wilayah yang dianggap persembunyian Imam Bonjol. Sering kali serdadu  Belanda tiba-tiba membakar rumah-rumah dan masjid. Atau menembaki musuh dengan meriam dan periuk api (bom pembakar) tanpa tujuan. Melihat perbuatan tersebut, bertambah mendidihlah darah perlawanan masyarakat adat dan kaum padri.

 

Pada bulan Juli 1837 pula, dilakukan peralihan jabatan Komandan Tentara di Sumatera Barat dari Letnan Kolonel Cleerens ke tangan Letnan Kolonel Andries Victor Michiels. Veteran Perang Jawa ini memutuskan sendiri untuk meneruskan perang dan menjelang Agustus 1837, hingga pendudukan Benteng Paderi yang terakhir, yaitu Bonjol.

 

Suatu malam, sedang orang kampung nyenyak tidur. Datanglah satu pasukan Tentara Belanda dengan diam-diam ke dalam benteng Bonjol. Anak dan istri Imam Bonjol hendak dihampiri serdadu-serdadu itu. Belum sempat jadi tawanan, Mahmud, salah seorang anak melawan dan yang lain akhirnya terluka. Jeritannya pun membangunkan Imam Bonjol yang sebelum terlelap.

 

Taktik Belanda menyergap dan  menyandera keluarga para pejuang biasa dilakukan serdadu Belanda atas perintah Letnan Kolonel Andries Victor Michiels. Sang imam mengambil pedang lalu bersama Umar Ali anaknya yang lain, berlari menuju tempat anak dan istrinya yang diganggu. Di situ sudah menunggu serdadu-serdadu Belanda menyambut Imam Bonjol dan Umar Ali dengan tambakan senapan. Sebuah pelor mengenai rusuk Umar Ali. Selanjutnya, Imam Bonjol bertempur layaknya orang mengamuk dengan pedangnya. Dalam kepungan serdadu-serdadu itu, dia kena tusuk bayonet. Pertempuran itu terhenti. Serdadu-serdadu Belanda menghilang dan Imam Bonjol lalu diamankan pengikutnya. “Ada 13 luka pada badan beliau dan banyak mengeluarkan darah,” tulis buku Tuanku Imam Bondjol Perintis Djalan Ke Kemerdekaan itu.

 

Esok paginya, sekitar pukul lima, serdadu-serdadu Belanda muncul lagi dan disambut orang-orang kampung hingga pecah pertempuran. Perempuan - perempuan ikut angkat senjata mengusir musuh. Pertempuran terjadi hingga pukul 12 siang, ketika serdadu-serdadu Belanda memilih mundur ke luar benteng. Tidak lama kemudian, Benteng itu dikepung lagi oleh serdadu Belanda di bawah komando Michiels selama berhari-hari.

 

Keunggulan Belanda dalam hal senjata api dan pasukan yang lebih terlatih ketimbang orang-orang kampung. Tak heran jika banyak korban di pihak Imam Bonjol. Benteng itu benar-benar dikuasai pada 16 Agustus 1837. Tuanku Imam Bonjol tidak ditemukan karena sudah lari. Baru pada 28 Oktober 1837, Imam Bonjol berhasil ditangkap. Setelah dibuang ke Cianjur, Imam Bonjol dibuang ke Sulawesi hingga meninggal dunia pada 8 November 1864.

 

Keberhasilan di benteng Bonjol membuat Michiels menuai pujian. Dalam waktu singkat naik pangkat menjadi kolonel pada 3 Oktober 1837. Dia dianggap berjasa melumpuhkan Tuanku Imam Bonjol. Selain itu, dia berjasa dalam penguasaan Tiga belas Kota, Baros, Tapos dan Singkel, dan Patipuh. Sempat juga dia menjadi pejabat kepala daerah semacam residen dan gubernur di Pantai Barat Sumatera, setelah 1838. (pul)

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023