Foto Ilustrasi (Sumber: Wikimedia Commons)
abad.id- Dalam buku-buku sejarah yang ditulis di masa Orde Baru, disebutkan Proklamasi Madiun dikategorikan sebagai pemberontakan. Namun pernyataan perlu diragukan. Alasannya pertama, pada masa tersebut belum tumbuh persatuan sehingga muncul banyak inisiatif membentuk daerah sendiri-sendiri. Aksi lokal ini sebenarnya lebih merupakan gagasan memerdekakan diri dari Pusat. Misalnya, ada inisiatif mendirikan Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat (Pasundan), Negara Jawa Timur, Negara Madura, Dewan Federal Borneo Tenggara dan “Daerah Istimewa Borneo Barat, Negara Indonesia Timur. Maka proklamasi negara Madiun dianggap menjadi kebutuhan politik lokal.
Dalam buku Gerakan Serikat Buruh tulisan Soegiri D.S dan Edi Cahyono menyebutkan, Meskipun langkah itu dimotivasi dari Van Mook yang diartikan sebagai pembentuk negara boneka, pada akhirnya tetap diakomodir oleh Soekarno menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949. Alasan lain yang dilakukan FDR di Madiun hanya sebatas membacakan pernyataan sikap, bukan melakukan penyerbuan dan pembunuhan. Baru ada aksi kekerasan justru ketika Gatot Subroto diminta melakukan penangkapan terhadap aktor Proklamasi Madiun atas perintah Perdana Menteri M Hatta.
Perjalanan FDR merupakan kelompok oposisi yang terdiri dari golongan kiri, terdiri dari komunis dan sosialis. Mereka muncul sejak jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin pasca Perjanjian Renville. Isi perjanjian antara Indonesia Belanda ini dianggap kemunduran republik, sehingga golongan-golongan sosialis yang mendukung Amir Syarifuddin tergusur di pemerintahan. Perannya di pemerintahan diambil alih M Hatta atas perintah Sukarno.
Saat itu Belanda masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen. Mereka terus berusaha menekan Indonesia agar tak sepenuhnya lepas. Salah satu upaya di Perjanjian Renville. Perjanjian tersebut membuat posisi Indonesia makin sulit, membuat wilayah Indonesia menjadi semakin sempit dan blokade ekonomi kian pelik. Akibatnya banyak golongan-golongan masyarakat protes hasil perundingan, hingga memunculkan kelompok-kelompok anti pemerintah. Peran golongan sosialis di kabinet Amir Syarifuddin kian melemah. Saat kabinet Hatta muncul, Amir Syarifuddin rupanya tak puas atas dengan itu. Sehingga ia membentuk poros oposisi dengan mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.
Awalnya FDR merupakan kelompok oposisi yang terdiri dari golongan kiri termasuk komunis. Mereka terdiri dari Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia, dan tentu saja Partai Komunis Indonesia (PKI). Poros oposisi merasa bahwa aturan baru di bawah Kabinet Hatta sangat merugikan pihaknya. Aturan tersebut dikenal dengan reorganisasi dan rasionalisasi.
Secara kebetulan saat pertikaian sedang panas, Musso datang dari Moskow menawarkan konsep politik Jalan Baru. Dalam politik 'Jalan Baru' tersebut, partai kelas buruh harus menjadi satu. Hasilnya, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis berada di bawah satu payung PKI. Fusi ini direncanakan untuk memimpin revolusi untuk mendirikan pemerintahan front nasional. Musso berusaha membuka Jalan Baru dengan membuat pertemuan besar di Yogyakarta. Di pertemuan besar tersebut, Musso menyampaikan pentingnya kabinet presidensial diganti menjadi kabinet front persatuan.
Ia juga menyerukan kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet untuk mematahkan blokade Belanda. Bersama sejumlah pemimpin PKI, Musso bersafari ke daerah Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
Aksi safari Musso ke beberapa daerah ini dianggap penggalanagn kekuatan massa. Tidak tinggal diam, Pemerintah Ri mengirim Kolonel Gatot Subroto ke Surakarta. Gatot Subroto mengultimatum pihak-pihak yang terlibat untuk berhenti melakukan egrakan, selambatnya 20 September. Mereka yang membangkang akan dianggap sebagai pemberontak.
Alih-alih mengindahkan ultimatum tersebut, FDR justru melakukan gerilya. Pada hari ini, 18 September 1948, salah seorang pemimpin Pesindo bernama Soemarsono, mengumumkan pengambilalihan kekuasaan wilayah Madiun oleh FDR Madiun. Saat itulah PKI dianggap melakukan pemberontakan.
Gerakan pertama pada tanggal 19 September 1948 pagi hari, pasukan FDR bergerak melucuti kesatuan-kesatuan CPM (Corps Polisi Militer) dan Siliwangi di Madiun. Pelucutan CPM juga diikuti dengan kepanikan warga. Sebab diikuti aksi penjarahan, penangkapan, dan tembak-menembak tidak bisa terhindarkan. Madiun berhasil dikuasai oleh FDR dan dijadikan sebagai Pemerintahan Front Nasional.
Hari berikutnya, FDR juga mengumumkan pembentukan pemerintahan baru di Madiun, dengan wilayah Pati Jawa Tengah. Pemberontakan tersebut menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dr Moewardi, dan beberapa petugas polisi dan tokoh agama.
Pemerintah RI lalu mengerahkan pasukan TNI untuk menertibkan keadaan. Pasukan Siliwangi berhasil melucuti FDR di Yogyakarta dan menumpas kekuatan FDR di Madiun. Sehari sebelum Pasukan Siliwangi berhasil menguasai Madiun, para pemimpin PKI melarikan diri. Sementara Musso tewas dalam pengejaran dan baku tembak.
Amir Sjarifudin tetap memimpin dalam proses pelarian diri. Pelarian diikuti 3.000 orang yang merupakan anggota keluarga para pemberontak. Namun pelarian tersebut tidak lama. Keberadaan Amir berhasil terlacak dan diringkus. Saat ditangkap, keadaan Amir sudah cukup menderita. Bersama pemimpin PKI lainnya dibawa ke Kudus kemudian Yogyakarta. Amir lalu dipenjara di Benteng Yogyakarta, lalu Surakarta.
Pada Desember 1948, Amir menjalani eksekusi mati. Sebelum menemui ajalnya, Amir meminta izin untuk menulis surat. Eksekusi Amir bersamaan dengan eksekusi Maruto Darusman, Suripno, Sarjono, Oey Gee Hwat, Harjono, Sukarno, Djokosoejono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D Mangku.
Vonis mati terhadap mantan perdana menteri Amir Syarudin dinilai terburu-buru dan hanya mendengarkan satu sumber saksi. Foto dok net
Eksekusi mati Amir sesungguhnya adalah sebuah ironi dan terburu-buru. Vonis mati diputuskan berdasarkan info yang sulit dimengerti. Walau demikian, Amir telah mengabdikan hidupnya untuk Indonesia. Dia menjemput ajal tanpa bekingan dan tanpa hormat.
Meskipun demikian, organisasi PKI masih bisa berjalan dengan anggota-anggota yang selamat dari peristiwa 1948 di bawah pimpinan DN Aidit. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehakiman Mr. Soesanto Tirtoprodjo pada tanggal 4 September 1949, mengeluarkan pernyataan bahwa pelaku yang terlibat dalam peristiwa Madiun 1948 tidak akan dituntut. Kecuali bila mereka terlibat tindakan kriminal.
Lenih dari itu pada 21 Agustus 1950 Presiden Soekarno juga mengudang partai partai kiri, yaitu PKI, PBI, SOBSI, BTI, Partai Murba dan Partai Sosialis dalam rangka pembentukan kabinet baru. Serta membicarakan keikutsertaan partai tersebut dalam kabinet. Calon-calon perdana menteri (PM) yang mereka usulkan harus membawa syarat serta program yang akan dilaksanakan. (pul)