Panglima Koninlijke Nederlans Indisch Leger Letnan Jenderal Simon Spoor sedang melihat persiapan Agresi MIliter ke 2. Foto dok net
abad.id- Wajah ratusan prajurit baret merah dari Korps Speciale Troepen atau KST jelas menyiratkan kepercayaan diri. Maklum, selain berkualifikasi para dan kenyang pengalaman tempur, mereka memang dari golongan serdadu elite.
Mereka diangkut dari markasnya di Batujajar, Bandung. Dua kompi Grup Tempur Para 1 KST itu pada siang sebelumnya berkumpul di hanggar Pangkalan Udara Andir, juga di Bandung. Mereka akan memulai misi penting. Taklimat bahkan diberikan langsung oleh Panglima Koninlijke Nederlans Indisch Leger Letnan Jenderal Simon Spoor. Sabtu malam itu, kalender tepat menunjuk tanggal 18 Desember 1948.
“Kalian terpilih untuk de laastste actie. Diterjunkan di Maguwo sebelum fajar, kemudian membebaskan Yogyakarta dari tangan esktremis serta menangkap Soekarno bersama pengikutnya,” kata sang Jenderal
Spoor didampingi Komandan Divisi 7 December Mayor Jenderal E Engels. Tuntas dengan arahannya, Spoor berjanji: “Pagi nanti, saya akan terbang bersama kalian!”
Riuh tepuk tangan baret merah menyambut tekad panglima itu. Mereka juga saling menyemangati dengan mengepalkan tinju kanannya ke langit seraya berteriak, “… Naar Djokdja!”
Selain mengandalkan baret merah, Spoor sudah menyiapkan baret hijau KST berkualifikasi komando dari Pangkalan Udara Kalibanteng, Semarang. Tujuannya juga sama yaitu Yogyakarta. Spoor menyandikan penyergapan Yogyakarta itu sebagai Operatie Kraai atau Operasi Gagak.
Operasi militer ke Yogyakarta tak bisa ditunda. Sebuah laporan intelijen menyebut, Bung Karno dan enam orang menteri Republik Indonesia bersiap melarikan diri ke India. Dari India, menurut rencana, mereka bakal langsung ke New York dan berbicara di Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. maka Spoor berusaha mencegah langkah itu dengan meringkus sebelum kabur. “Yogyakarta harus diruntuhkan dalam sekali pukul. Menguasai Yogyakarta,” kata Spoor.
Dalam kalkulasi sang Jenderal, agar segera bisa digagas penyelesaian politik bagi masa depan Hindia Belanda, wilayah Republik harus dihapus dari peta. Bekas wilayahnya digabung dengan negara-negara bagian lain di bawah lindungan Mahkota Kerajaan Belanda.
Spoor sesumbar, masa kritis Operatie Kraai hanya akan berlangsung selama dua pekan. Termasuk meraih tujuan strategis-nya: menangkap pemimpin sipil dan militer Republik, menguasai pusat politik dan militer, dan omsingelen en uitchakelen atau aksi pengepungan sekaligus menghancurkan perlawanan musuh.
Menjelang fajar, Pangkalan Udara Andir dipenuhi gemuruh mesin 18 pesawat angkut C-47 Dakota. Tepat pukul 04.30, pesawat pertama lepas landas, dan pesawat-pesawat berikutnya menyusul dengan jeda satu menit. Menyusuri Samudera Hindia, pesawat-pesawat itu terbang ke timur menuju Yogyakarta. Yang diincar Lapangan Terbang Maguwo.
Tanpa pertahanan memadai, pasukan khusus Belanda itu cuma butuh 25 menit untuk menguasai Maguwo. Wajar, beberapa saat sebelumnya pembela Maguwo telanjur lantak dihajar lima cocor merah Mustang 51, sembilan P-40 Kitty Hawk dan pengebom ringan B-25 Mitchell. Pertempuran singkat itu ibarat timun melawan durian. Tak sebanding.
Pangkalan cuma dipertahankan serombongan kadet yang belum pernah bertempur. Kadet-kadet itu sejatinya hanya pelajar yang bakal dilatih menjadi pilot dan belum menerima latihan dasar pertempuran secara militer. Mereka kalah kelas dengan baret merah.
Sebelum jam tujuh pagi, 128 penjaga pangkalan tewas, sedangkan KST lenggang kangkung tanpa korban seorang pun. Maguwo sudah menyerah total.
Bersih dari gangguan, perlengkapan lebih pun mulai dikirim. Juga ratusan baret hijau KST dari Semarang untuk memperkuat gerak maju. Hingga pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M yang berjumlah hampir 2.600 personel—termasuk dua batalyon dari Brigade T—dan persenjataan beratnya sudah terkumpul di Maguwo, dipimpin Kolonel D.R.A. van Langen.
Tanpa perlawanan, pasukan itu bergerak ke pusat Kota Yogyakarta menjelang siang dan menawan seluruh pemimpin sipil Republik. Sebenarnya, pemimpin sipil dan militer Republik di Yogyakarta sudah memprediksi serangan itu. Yang luput, mereka tak pernah memperkirakan asal serangan justru datang dari Maguwo. Lagi pula, meniru cara Jepang menggasak Pearl Harbour di Hawaii, Belanda bertindak licik, mengabaikan gencatan senjata dan perundingan yang difasilitasi Belgia, Australia, dan Amerika Serikat dalam Komisi Tiga Negara atau KTN.
Soedirman Melawan Dengan Gerilya
Pagi buta, sebelum KST mendarat dan menguasai Maguwo, Soedirman sudah mendatangi Bung Karno dan membujuk untuk bergerilya. Dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno mengatakan, “Engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukan pelarian untukku. Aku harus tinggal di sini sehingga memungkinkan aku untuk berunding dan memimpin rakyat kita semua.”
Dalam kondisi kesehatan yang menurun, Sudirman melakukan perlawanan secara ksatria dengan gerila masuk hutan di wilayah Jawa Timur. Foto dok net
Kolonel Zoelkifli Loebis dari Dinas Intelijen TNI AD mendapat tugas menyiapkan pengungsian presiden dan wakil presiden. Dia sudah memilih sebuah desa terpencil di selatan Wonosari, Gunung Kidul, yang dinilai aman dan sulit ditemukan musuh. Selain berada di tengah perbukitan terjal, masyarakat dipastikan bakal tutup mulut. Loebis juga sudah merancang dengan cermat jalur pelarian dan sarana angkutan yang akan dipakai.
Sejarah tentu saja menampik dan tidak mengenal kata “seandainya”, karena tak ada yang tahu seandainya Bung Karno dan Bung Hatta mengikuti rencana itu. Yang pasti, Jenderal A.H. Nasution dengan nada sangat kecewa mengatakan, “Pembesar Republik yang tertinggi keluar dengan pembawa bendera putih dan kemudian ditawan Belanda. Soekarno minta dijamin keselamatan dirinya, anggota-anggota kabinet, dan keluarganya, serta pembantu-pembantunya, dan berjanji tidak akan meninggalkan Istana.”
Kekecewaan serupa juga disuarakan Soeharto. Dalam autobiografinya, Soeharto mengklaim dirinya sudah memberi kesempatan kepada pemimpin untuk mengungsi sekaligus melakukan bumi hangus kota. “Ternyata, yang mau mengungsi adalah Pak Dirman dalam keadaan sakit. Bung Karno dan Bung Hatta memutuskan untuk tinggal di tempat. Hingga akhirnya mereka ditawan Belanda.”
Agresi Militer Kedua
Sudirman panglima besar sangat terkejut dari pembaringannya begitu mendengar suara bom dari kejahuan. Memang beberapa hari ini Sudirman sakit sesak nafas dan hanya bisa berbaring. Menurut dokter, Sudirman terkena TBC dan harus banyak istirahat. Namun begitu mendengar suara bom, tidak ada pilihan lain bagi Sudirman untuk melawan.
Tanpa babibu, meski masih setengah sadar, Sudirman segera membangunkan beberapa orang dakat dan memerintahkan untuk segera mempersiapkan senapan mesin. Sudirman langsung mendatangi rumah Sukarno untuk mengajak bergerilya, namun ditolak dengan alasan keamanan. Dengan nada sangat kecewa, Sudirman keluar dari Istana Yogjakarta dan menemui prajurit. “ Kita mulai gerilya, siapkan pasukan dan mulai serangan dari pinggir kota,” perintah Sudirman.
Suasana Yogja sangat menekam. Sesaat raungan Mitchells memudar lalu hilang, tapi berganti dua pesawat bombardemen, Dakota dan Mustang bermoncong merah memuntahkan bom-bom beriringan, pada 19 Desember 1948. Di atas langit Maguwo, seusai menghujani bom, lambung Dakota mengambulkan pasukan para Belanda Korps Speciale Troepen (KST) secara bergantian, disusul pasukan Brigade T. Mereka lantas mengonsolidasikan pasukan dan menjadikan Maguwo sebagai basis pertahanan.
Usai Maguwo dikuasai, pesawat pemburu melesat menarget objek-objek vital kota Yogyakarta, seperti jalan raya, jembatan, hingga bangunan militer. Sudirman sudah mendengar, pagi itu dua arus besar pasukan Belanda merangsek jantung kota Yogyakarta. Satu kekuatan besar pasukan KST di Maguwo berpencar melalui dua jalur, Solo dan Wonosari, sedangkan Brigade 1-15 masuk dari arah utara.
Jelang tengah hari, pasukan Belanda dari arah utara berhasil mendekati Gedung Agung. Mereka menembaki tempat para pemimpin RI berkantor. Komandan Brigade T, van Langen, lantas berhasil menawan Sukarno-Hatta dan beberapa menteri.
Jenderal Spoor merasa puas berhasil menguasahi Yogjakarta dalam waktu 20 jam. Menurutnya ini seperti simulasi latihan perang, dan “Operasi Gagak”, sangat efektif menghancurkan pemerintah republik Indonesia. Namun rupanya Spoor luoa, bahwa TNI masih solit dan siap melakukan petlawanan dari luar kota. Sebenarnya Yogjakarta sedang dikepung TNI bersama rakyat.
Strategi Perang Gerilya Semesta
Soedirman memulai perlawanan dengan menerapkan Perintah Siasat Nomor 1/STOP/5/48 berisi penerapan strategi Perang Gerilya Semesta, dengan prioritas “Tidak akan melakukan pertahanan linier” kepada seluruh komando-komando daerah militer.
Menggunakan pertahanan sistem linier ketika berhadapan dengan kekuatan suatu pasukan besar dengan senjata canggih. Menurut Tjokropranolo, sama saja artinya dengan mengorbankan anak buah, karena tembakan udara dan senjata lengkung Belanda akan mudah menghancurkan pertahanan.
Dengan separuh paru-paru tersisa, dan kesehatan menurun, Soedirman meneruskan perjalanan ke luar kota untuk melakukan perjuangan gerilya dengan basis kekuatan di hutan wilayah Jawa Timur.
Strategi Perang Gerilya Semesta, menurut Rooslan Abdul Gani pada “Peranan Panglima Besar Soedirman dalam Revolusi Indonesia”, menggunakan taktik hit and run atau pukul dan lari. Maksudnya memukul tentara Belanda sewaktu lengah dan lelah, lalu mundur mencari perlindungan di tengah-tengah rakyat selagi Belanda melakukan serangan balik.
Kunci penting strategi tersebut terletak pada keeratan hubungan pasukan TNI dengan rakyat. “Terkenalah pada waktu itu identifikasi dan kualifikasi Panglima Besar Soedirman tentang hubungan tentara dengan rakyat kita sebagai ‘ikan dan air’”, ungkap Abdulgani.
Terbukti strategi Soedirman ampuh. Belanda tak mampu menangkap sang panglima besar lantaran medan terjal dan berliku di bukit serta hutan di wilayah Jawa Timur.
Spoor melalui Operasi Gagak memang berhasil menahan Sukarno-Hatta, tapi tidak mampu meladeni Operasi Perang Gerilya Semesta Jenderal Sedirman. (pul)