images/images-1691335165.jpg
Sejarah
Budaya

Manasara Silpasastra; Antara Kosmologi - Arsitektur dan Peletakan Ruang Geografis Candi

Malika D. Ana

Aug 06, 2023

914 views

24 Comments

Save

Manasara Silpasastra; Antara Kosmologi - Arsitektur dan Peletakan Ruang Geografis Candi

 

 

Abad.id - Membangun candi itu ada ilmunya, namanya Manasara Silpasastra, dan sama sekali bukan berasal dari Jawa, karena prinsip-prinsipnya juga dipakai di Sumatera dan bangunan-bangunan di India, serta berbagai candi di Asia, bukan dari leluhur yang memakai sarana kemenyan ya. Dari kitab Manasara Silpasastra kita memahami bahwa, ternyata membangun itu perlu pemahaman tentang kualitas tanah di samping teknik sipil itu sendiri.

 

Dalam kitab Manasara terdapat sejumlah acuan tentang pendirian suatu bangunan suci dengan segala kelengkapannya.

 

Di dalam kitab ini juga diuraikan mengenai tata cara atau aturan-aturan penempatan suatu bangunan terhadap bangunan lainnya dalam suatu permukiman.

 

Kitab Manasara juga memuat tentang kelengkapan-kelengkapan suatu bentuk permukiman dari tingkat desa sampai kota, bahkan untuk tingkatan nagara. Di dalamnya dilengkapi dengan ukuran-ukurannya, serta aturan-aturan penempatannya.

 

Ada sejumlah permukiman yang disebutkan dalam kitab Manasara, antara lain: Padmada, Rajadhaniya, Dandaka, Karmuka, Svastika, Sarvato Bhadra, Nandyavarta, Padmaka dan Prastara.

 

Masing-masing bentuk permukiman tersebut terdiri dari beberapa komponen pendukung, yaitu bangunan suci (candi), yang jumlahnya tidak hanya satu; kemudian bangunan publik (public building), paviliun (pavillion), tempat tinggal para pengrajin (pande besi, penganjun, seniman), pasar, benteng (tembok tanah), tempat penampungan air, kebun, tempat arsitek, tempat tabib (tukang obat), penginapan (village guard), tempat tinggal masyarakat, parit dan lain-lain.

 Manasara Silpasastra; Antara Kosmologi - Arsitektur dan Peletakan Ruang Geografis Candi

Ini adalah salah satu dasar rumusan Manasara Silpa Sastra dan Vashtu Sastra, rumah atau tempat usaha adalah tempat dimana manusia dan Tuhan/dewa bersatu secara akrab dan harmonis

 

Disarikan dari Manasara Siplasastra antara lain begini isinya:

1-2. Dialah yang menciptakan, memelihara, dan menghancurkan Semesta, yang menggelar semua bentang alam, air, api, angin, dan angkasa, Aku bersimpuh sujud di bawah kakinya yang menyerupai kelopak teratai yang dikerumuni oleh berbagai lebah memandangnya seperti melihat mahkota dari raja para dewa.

 

3-4. Ilmu arsitektur, seluruhnya dimulai dari Siwa, yang di atas kepalanya mengalir sungai Ganga, yang lahir seperti halnya bunga teratai, kerling pandang matanya seperti indahnya teratai, Indra, Brhaspati, dan Narada (Indra; keindahan, Brihaspati; pembawa kebaikan, Narada; kesenian), telah semuanya mengajarkan kepada hikmah Manasara, yang kemudian melengkapinya menjadi lebih sempurna (Manasara; hikayat dan riwayat kawasang terbangun)

 

5-6. Yang pertama dipertunjukan adalah sistem pengukuran yang menjadi dasar berlanjutnya semua bentuk yang terbangun (arsitek), dan kemudian klasifikasi Vashtu (kawasan pemukiman secara umum), dan juga klasifikasi tanah (geolog di era Manasara).

 

7-8. Juga penjelasan tentang kawasan terbangun (situs), aturan menggunakan gnomon (jam matahari untuk menentukan arah/kardinal), dan tata rencana untuk menempatkan ruang bagi para dewa dan manusia penghuni kawasan terbangun.

 

9-10. Juga aturan yang menyeluruh tentang bangunan dan kawasan terbangun, dan skema pemukiman, juga tata kota, dan regulasi (aturan/undang-undang) tentang dimensi bangunan bertingkat,

 

10-14. Begitu pula tentang aturan menata letakan pondasi sebagaimana juga mendirikan pedestal (landasan tiang/landasan arca), aturan tentang bagian bawah bangunan, pilar (tiang), potongan-potongan (cutabulature), sambungan-sambungan kayu, dan penjelasan tentang istana tinggal (mansion), dan penjelasan tentang bangunan bertingkat satu berelung satu (one storey).

 

Para pembangun candi menggunakan panduan kitab Manasara Silpasastra untuk menemukan lahan dimana candi tersebut akan dibangun, dan mempertimbangkan peletakan (space) kosmologis, termasuk penataan letak candi yang satu dengan candi yang lain (loka), letak sumber air sebagai bagian dari kompleks percandian yang memiliki peran sebagai bagian dari kawasan sakral (patirtan) atau sumber air pemukiman, seluruhnya sebagai satu kesatuan kawasan terbagun berkelanjutan.

 

Rekonstruksinya, pertama tempat yang mau dibangun candi itu tanahnya harus rata sehingga gampang dijadikan kandang sapi dulu, dan dilihat reaksi si sapi itu, jika si sapi nyaman, tidak melenguh-melenguh, maka tempat itu punya aura bagus, dan jika si sapi makan rumput atau semak disekitar situ berarti daerahnya subur, jika dari tai sapinya ada tumbuh tanaman berarti tanahnya cukup "fertile."

 

Selain itu, salah satu cara kuno untuk menguji suatu tempat layak untuk dibikin bangunan atau tidak, adalah dengan menggali tanahnya berukuran 1x1x1 meter, diisi air sampai penuh, lalu dibiarkan semalaman, untuk kemudian, diobservasi keesokan paginya. Karena pondasi tapak butuh kestabilan, lapisannya harus impermiabel tidak tembus air ke bawah, tetapi tembus ke samping, sehingga jumlah air yang tersisa kira2 1/3 nya.

 

Pada Manasara Silpasastra, tanah untuk membangun candi juga dibagi menjadi beberapa jenis; tanah utama, berwarna kuning ke-emasan, ber aroma segar, dan subur, tanah ksatriya, berwarna merah, ber-aroma darah, dan tidak begitu subur...

 

Di era modern, ahli, insiyur sipil menggunakan klasifikasi ASTM D2487-66T sebagai salah satu cara untuk melihat daya guna tanah dari sisi teknik sipil untuk keperluan: urugan dan pondasi, saluran dan landasan (Klasifikasi tanah ASTM, Sosrodarsono, Nakazawa, 1994), termasuk pengamatan sifat fisik yag rinci pada: kekuatan geser tanah, kemampatan dan konsolidasi, permeabilitas, dan sifat pemadatan (compaction).

 

Di era moderen kita tidak lagi melihat adanya bangunan moderen didasarkan pada peletakan kosmologi dan lokapalanya, bangunan moderen kecuali tempat-tempat ibadah tidak memiliki sifat sakral, dan dapat bediri di atas ruang dan tanah yang mana saja selama hal tersebut sesuai dengan kemampuan daya dukung tanah.

 

Prof.Mudardjito pernah menguraikan tentang memilih lahan berdasarkan kitab Manasara Silpa Sastra dan Vastu Sastra :

Memperhatikan lidah api dari lampu minyak (karanja) yang ditempatkan ditengah-tengah lahan yang akan dibangun. Jika lidah api berdiri tegak artinya lahan itu baik sekali, yang tinggal disitu akan bahagia jika lidah api bergerak ke utara maka akan makmur dan termasyhur. Jika lidah apinya seakan-akan menjadi berwarna ke-emasan dan bergerak ke selatan maka akan dapat pangkat tinggi, jika lidah api bergoyang goyang, mati, atau mengarah ke bumi, maka lahan itu cocok untuk perkuburan.(mda)

 

Artikel lainnya

Reaktualisasi Nilai Kejuangan dari Gedong Nasional Indonesia (GNI)

Author Abad

Oct 29, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023

Surabaya Dalam Jejak Kubilai Khan, Cheng Ho dan Marga Han

Malika D. Ana

Jan 14, 2023

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Kapan Indonesia Siap Berdemokrasi?

Author Abad

Nov 01, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023