Abad.id Setelah dimakamkan bertahun-tahun, petugas makam dari pemerintah kota kemudian menggali.
Ini sudah menjadi kebijakan di Arab Saudi untuk menggali tulang belulang mayat untuk diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lain. Semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota.
Namun saat penggalian makam, ada satu makam yang membuat semua orang terkejut. Di lubang makam itu bukannya ditemukan tulang belulang manusia, justru ditemukan jasad yang masih utuh. Tidak ada tanda-tanda pembusukan lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Tidak ada lecet. Bahkan kain kafan penutup jasad tidak sobek dan tidak lapuk.
Setelah diteliti, ternyata makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Diketahui itu adalah makam Syekh Nawawi al-Bantani.
Langkah strategis diambil Pemerintah Arab Saudi. Makam Syekh Nawawi al-Bantani kemudian dilarang untuk dibongkar. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di pemakaman umum Ma’la, Mekkah.
Syekh Nawawi nama yang sedikit dikenal oleh kalangan awam namun sangat harum di lingkungan ulama Indonesia. Dialah salah seorang tokoh yang sangat penting bagi dunia pesantren dan perumusan kitab kuning di Indonesia.
Karyanya menjadi rujukan utama di berbagai pesantren tradisional di tanah air yang sampai sekarang masih banyak dikaji, juga di luar negeri. Namanya bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i.
Di kalangan komunitas pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga maha guru sejati (the great scholar).
Teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Beliau banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren di Nusantara.
Syekh Nawawi mengajak murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia di Masjidil Haram. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah Kiai Kholil Madura, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Tubagus Bakri, Kiai Arsyad Thawil dari Banten dan Kiai Hasyim Asyari dari Jombang (Pendiri NU). Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama besar di tanah air.
Di antara sekian banyak muridnya, Syekh Nawawi juga mempunyai satu murid dari Indonesia yang paling berpengaruh di nusantara dan memiliki reputasi di dunia Islam. Tak lain Kiai Mahfudz Termas atau dikenal Syekh Mahfudz Al-Tarmasi (Termas).
Kiai Mahfudz boleh dibilang merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadits dari 23 generasi (secara berturut-turut) penerima Hadist Shahih Bukhori.
Syekh Nawawi juga mengarang dan menulis kitab. Banyak karya-karya yang lahir tersebar ke berbagai penjuru dunia untuk perkembangan Islam terutama Islam Nusantara.
Karya-karyanya sudah tersebar di berbagai penjuru dunia. Syekh Nawawi merupakan satu-satunya ulama Indonesia yang namanya tercantum dalam kamus al-Majid (kamus bahasa arab yang terkenal paling lengkap).
Di antara karya-karya beliau adalah
Ilmu Kalam (Teologi Islam):
Kitab Fathul Majid (1298 H), Tijn ad- Darari (1301 H), Kasyfatus Syaja (1292 H), an-Nahjatul Jadidah (1303 H), Dazari’atul Yaqin ‘alaummil Barahil (1317 H), ar-Risalah al-Jami’ah baina Ushuluddin wal Fiqh wat-Tasawuf (1292 H), ats-Tsimar al-Yani’ah (1299 H), Nur adh-Dhulam (1329 H).
Ilmu Fiqih: At-Tausyeh (1314 H), Sulamut Munajat (1297 H), Nihayatuz Zain (1297 H), Mirqat ash-Shu’ud at-Tashdiq (1297 H), Uqud al-Lujjain fi Bayani huquq azZaujain (1297 H), Qutul Habib al-Gharib (1301 H).
Akhlak dan Tasawuf: Salalimul Fudhala (1315 H), Misbah adh-dhuln ‘ala Manhaj al-Atam fi Tabwibil Hukmi (1314 H).
Kitab Tafsir: al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil/Tafsir Marah Labid.
Yusuf Alias Sarkis dalam Dictionary of Arabic Printed Books mencatat setidaknya 34 karya telah ditulis oleh Syekh Nawawi. Beberapa kalangan ada yang menyebutkan bahwa karya-karya beliau mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya.
Sejak tahun 1888 M, secara bertahap kurikulum pesantren mulai mengalami perubahan, yakni terdapat tiga bidang keilmuan yang bersifat epistemologis, di antara bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits. Perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh.
Syekh Nawawi Banten berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Karya-karya Syekh Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Syekh Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand.
Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional.
Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia.
Di kawasan Indonesia menurut peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum pesantren.
Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Syekh Nawawi yang masih dipelajari di sana.
Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Syekh Nawawi.
Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Syekh Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama.
Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah.
Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada, maka ada enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren.
Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten., Kiai Mahfuz Termas, Kiai Abdul Karim, Kiai Kholil Bangkalan Madura, dan Kiai Hasyim Asy’ari.
Doktor Teologi
Syekh Nawawi menjadi seorang Imam Besar Masjidil Haram dari Kerajaan Banten. Beliau digelari Sayyid Ulama al-Hijaz atau penghulu ulama di Mekkah dan Madinah karena kepakarannya tiada tara pada masanya.
Memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad bin Umar al- Tanara al-Bantani al-Jawi. Lahir di sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, atau sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman, Tarana Serang, Banten pada tahun 1230 H/1815 M.
Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani yakni Umar bin Arabi, ibunya bernama Zubaedah. Beliau masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon). Juga termasuk salah satu keturunan Sultan Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati atau keturunan ke-12 dari Sultan Banten.
Sejak kecil, Syekh Nawawi telah diarahkan ayahnya, Kiai Umar menjadi seorang ulama. Setelah mendidik putranya, Kiai Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada Kiai Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kiai Yusuf.
Sejak usia 15 tahun, beliau telah dikirim ayahnya untuk belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas di Mekkah. Maklum, pada saat itu Indonesia–yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara.
Syekh Nawawi begitu disukai oleh gurunya karena kecerdasan yang dimiliki. Bahkan ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur, beliau diangkat dan ditunjuk menggantikan posisi sang guru menjadi Syekh dan pengajar majelis di Masjidil Haram.
Beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada masyarakat. Tak lama mengajar, hanya tiga tahun, kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, membuat Syekh Nawawi tidak bebas menyebarkan dakwah. Beliau pun kembali ke Mekkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana.
Syekh Nawawi Al-Bantani boleh dikata merupakan satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua ulama lain adalah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Mahfudz Termas.
Ini menunjukkan bahwa keilmuan Syekh Nawawi sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga semenanjung Arab. Syekh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya tersebut.
Syekh Nawawi mendapat gelar Sayyidu Ulama’ al-Hijaz yang berarti sesepuh ulama Hijaz atau guru dari ulama Hijaz atau akar dari ulama Hijaz wilayah Saudi sekarang, yang di dalamnya termasuk Mekkah dan Madinah.
Yang menarik dari gelar di atas adalah beliau juga mendapat gelar Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi sehingga bermakna bahwa kealiman beliau tidak hanya diakui di semenanjung Arabia, tapi diakui di tanah airnya sendiri.
Selain itu, beliau juga mendapat gelar al-imam wa al-fahm al-mudaqqiq yang berarti tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam. Snouck Hourgronje seorang orientalis yang pernah mengunjungi Kota Mekkah pada 1884-1885 memberinya gelar “Doktor Teologi”.
Snouck mengatakan setiap hari Syekh Nawawi sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas.
Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki.
Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut.
Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini.
Karya-karya besar Syekh Nawawi yang pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab.
Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syekh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin. Beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam.
Luasnya wawasan pengetahuan Syekh Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh. Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy).
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syekh Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya.
Beliau membagi sifat Allah dalam tiga bagian: wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya.
Meskipun Syekh Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Syekh Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena.
Dalam konteks Islam Jawa, teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah, umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah dengan mudah mengalahkan kekuatan kolonialis.
Di sinilah letak peranan Syekh Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.
Dalam beberapa kesempatan Syekh Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fikihnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna.
Dalam bidang tasawuf, intelektual Syekh Nawawi mencerminkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini beliau memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok.
Dari tulisannya bidang tasawuf Syekh Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya, yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala.
Di sana Syekh Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Ciri yang menonjol dari sikap kesufian Syekh Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Syekh Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888.
Namun secara hati-hati Syekh Nawawi menjawab dengan bahasa manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Syekh Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual, di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.
Wajar saja jika pesantren menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Syekh Nawawi. Selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning, juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks. Sementara ada pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain.
Bagaimana pun itu, karya-karya Syekh Nawawi di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fikih. Dalam hal ini Syekh Nawawi diibaratkan al-Ghazali, yang telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi dan fikih yang cenderung rasionalistik.
Umat Islam terutama Indonesia patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Saat wafat, beliau dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Muhammad, Khadijah ra di Ma’la.
Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, dua kitab yang membahas tokoh dan guru yang berpengaruh di dunia Islam, beliau wafat pada 1316 H/1898 M.
Walaupun jasadnya sudah terkubur tanah liat, namun besar Syekh Nawawi akan selalu abadi dan kedudukannya selalu mulia. Hal itu disebabkan dua hal yaitu ilmu dan karya-karyanya yang monumental dan tak lekang dimakan jaman.@dbs/nov
Bob Marley, saat berada dalam acara Reggae Sunsplash festival di Montego Bay, Jamaika, 1979. Keluarga Bob Marley meluncurkan 'Marley Natural' yang digunakan dalam produk-produk lotion ganja, krim, dan sejumlah aksesoris. Denis O'Regan/Getty Images
abad.id-Lagu No Woman, No Cry: My Life With Bob Marley, Bob Marley mendedikasikan untuk Vincent Ford atau kerap dipanggil Tata. Ini cara Marley menghormati sahabat karena sudah berkontribusi banyak terhadap kehidupan Marley. Sejak No Woman, No Cry dirilis, langsung berhasil mendapatkan sertifikasi platinum di Inggris. Serta tercatat mendapatkan Brit Certified Silver Award karena menjual lebih dari 600.000 unit di Inggris Raya saja. Meman bukan hal baru bagi Marley, tetapi penghargaan ini menjadi sesuatu sangat dibanggkan dalam dunia musik.
Lagu yang hit dirilis pada 1974 di album Natty Dread tersebut versi single live yang direkam di Lyceum di London pada 1975 berjudul No Woman, No Cry. Makna lagu ini berhubungan dengan menjaga seseorang tetap tegak meskipun sedang masa sulit. Namun beberapa versi berasumsi liriknya memiliki arti laki-laki sedang menjauhkan perempuan dari hidupnya, untuk tidak menangis. Padahal bagi Bob, Lagu ini dimaksudkan sebagai penyemangat dan pengingat akan hal-hal yang layak untuk menjalani hidup dengan penuh semangat.
Saat menciptakan lagu No Woman, No Cry, Bob Marley terinspirasi dari kehidupannya. Ia mengambil pengalaman pribadinya dan mengubahnya menjadi pesan yang positif. Kala itu, Marley mengingat bahwa dirinya sedang duduk di halaman pemerintah di Trenchtown Jamaika, sambil mengawasi orang yang tidak jujur. Ia pun menyadari bahwa banyak teman tersayangnya perlahan telah pergi meninggalkannya. Marley berharap mereka selalu diingat. Sebab sudah banyak kenangan manis daripada harus menangis. Hidup harus selalu bergerak dan berharap agar seorang perempuan tidak selalu menangis di masa sulitnya.
Bob Marley seorang pelopor musik reggae yang lahir pada 6 Februari 1945 di Nine Mile, Jamaika. Nama asli Robert Nesta Marley, berhasil memadukan musiknya dengan reggae, ska, rocksteady, serta gaya vokal yang khas dan lirik lagu membawa pesan perdamaian. Sebenarnya tidak hanya lagu No Woman, No Cry yang memiliki lirik kuat dan semangat untuk perubahan dengan cara Marley.
Bob Marley banyak menghabiskan waktunya di Jamaika dan Amerika Serikat. Sepanjang karir bermmusik, tidak hanya lagu No Woman, No Cry saja yang menggambarkan gagasan hidup Marley. Pada lagu Exsodus misalnya, Marley menggagas sebuah kebersamaan, gerakan Afrika atau gerakan kulit hitam. Exsodus yang dimaksud Marley berasal dari tanah Bablonia yang disebut pindah menuju Rumah. Marley sangat ingin semua bangsa kulit hitam bersatu. Saling berpegangan tangan dan saling membantu. Bagi Marley, bangsa kulit putih telah melakukan kebohongan tentang sejarah kulit hitam. Padahal yang benar Raja Sulaiman dan Raja Daud merupakan sumber insipirasi orang afrika merupakan pria berkulit hitam. Marley yakin dengan bersepakat bersatu, peradaban dunia itu bisa dimulai dari orang kulit hitam.
Dalam catatan Berotak Bukan Tanpa Sebab yang disusun Ade Maruf, ada kesan Marley sangat jengkel dengan Paus di Vatikan yang menyebarkan berita salah tentang Kristus. “Jika hidup di era sekarang, kemungkinan Kristus itu seorang Rastafari,” kata Marley.
"Mereka ingin maju. Maksudku, kami mencintai Jamaika. Namun ada tanah lain yang haus dibantu yaitu Afrika". Foto dok net
Sangat banyak orang berfikir dan meyakini bahwa Kristus, Sulaiman, Musa dan Haile Selassie itu berkulit hitam. Munculnya sosok Kristus berkulit putih yang disebarkan oleh gereja Vatikan merupakan kesalahan besar. Sebab agama tersebut lahir dari Afrika, maka jika ada orang berfikir bahwa Kristus berkulit putih maka itu berbahaya dan hanya membuang-buang waktu. “Paus tiba di kota ini dan mengatakan, hiduplah dalam damai, hiduplah dengana begini-begitu, hiduplah dalam ketiaknya. Kau harus setuju untuk hidup dalam damai sepanjang Paus ada di sana. Tidak ada paus buatku. Tanpa Paus, kita sudah hidup dalam damai,” kata Marley.
Penampilan Marley terlihat berbeda jika dibandingkan superstar lain di Amerika. Memakai celana jeans denim, berambut dreadlock berhasil membangun komunitas baru Rasta. Komunitas ini sangat menginspirasi warga dunia dan kelompok kulit putih di eropa. Berbeda dengan komunitas Hipies yang terbangun tahun 60an karena persoalan politik dan aksi penolakan perang vietnam, komunitas Rasta ini muncul karena memiliki solidaritas yang sama. Yaitu menolak kemapanan yang dibangun dari kebohongan dan konspirasi.
Metode perlawanan Rasta disimbulkan Marley saat asyik melinting ganja. Padahal bagi orang Jamaika, ganja ini sudah menjadi komuditi lumrah yang mudah dikonsumsi. Marley mengaku pertama kali terlibat penggunaan ganja ketika usia remaja. Mariyuana terbaik yang pernah dihisap ketika mengadakan pertunjukan di Jamaika. “Sekarang aku merasa itulah yang terbaik yang pernah aku hisap. Aku tidak pernah mendapatkan yang seperti itu lagi, itu seperti satu satunya pohon yang ada di bumi,” kata Marley.
Marley menganggap ganja sebagai pengobat untuk suatu bangsa. Sekali menghisap ganja, pasti akan menyukainya. Setelah sama-sama menyukainya berarti telah berada di jalur yang sama. Artinya telah bersatu. Berbeda dengan alkohol yang membunuh, maka ganja justru membangkitkan. Ya, ganja membuatmu hidup. Banyak terbukti orang-orang menghisap ganja umumnya paling panjang umur. “Jika ganja adalah pengobatan untuk sebuah bangsa dan orang-orang harus menghisapnya, maka biarkanlah,” kata Marley. (pul)
abad.id- Nahdlatul Ulama berdiri pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Para ulama pesantren Ahlussunnah wal Jamaah mendirikan Jamiyah NU di kediamaan KH Abdul Wahab Hasbullah di Kertopaten. Menyusul berakhirnya tugas Komite Hijaz pimpinan KH Abdul Wahab Hasbullah kepada raja Ibn Saud di Araab Saudi.
KH Abdul Wahab Hasbullah juga pernah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Waton atau Kebangkitan Tanah Air pada tahun 1916. Kemudian KH Abdul Wahab Hasbullah juga mendirikan Nahlatul Tujjar ( kebangkitan Saudagar) pada tahun 1918. Jauh sebelum organisasi itu lahir, sudah ada kelompok diskusi Rashwirul Afkar (Kawah Pemikiran) atau sering juga disebut Nahdlatul Fikr (kebangkitan Pemikir).
Untuk kelahiran Nahdlatul Ulama NU tak lepas dari isyaroh (petunjuk) tongkat dan tasbih dari Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bankalany. Kedua petunjuk ini dibawa KHR Asad Syamsul Arifin (almaghfurlah). Isyaroh tongkat dan tasbih ini untuk menguatkan Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari untuk mendirikan organisasi yang bermagna Kebangkitan Ulama.
Kisahnya bermula pada tahun 1924, Kyai Hasyim Asyari diminta petunjuknya oleh kelompok diskusi Taswirul Afkar untuk mendirikan sebuah organisasi atau jamiah. Sebelum memutuskannya, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang itu meminta waktu untuk mengerjakan Sholat Istikharah terlebih dahulu. Namun setelah sekial lama petunjuk tersebut belum juga datang, sehingga Kyai Hasyim Asyari menjadi gelisah.
Dalam hatinya kiyai Hasyim ingin berjumpa dengan gurunya Syakhona Kholil di Bangkalan. Namun Syakhona Kholil terlebih dahulu sudah mengetahui kegelisahan Kyai Hasyim Asyari, sehingga mengutus salah satu santrinya Asad Syamsul Arifin.
Awalnya Asad Syamsuk Arifin diberikan amanah Syakhona Kholil untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kyai Hasyim Ashari di Tebuireng. Saat sampai di Tebuireng, Asad dipesan agar membacakan alquran surat Thaha ayat 17-23 kepada Kyai Hasyim. Saat Kyai Hasyim menerima kedatangan Asad dan mendengarkan ayat tersebut, hatinya langsung bergetar. Keinginan untuk membentuk sebuah jamiyah akan tercapai. Demikian Kyai Hasyim bergumam dalam hati sambil meneteskan air mata.
Namun kunjungan pertama Asad tersebut belum membuat Kyai Hasyim bergerak segera mendirikan jamiyah. Sehingga satu tahun kemudian Syakhona Kholil dari Bangkalan mengutus Asad kembali. Kali ini diamanahi sebuah tasbih untuk disampaikan ke Kyai Hasyim Asyari.
Saat membawa tasbih tersebut, Syakhona Kholil berpesan kepada Asad untuk mengamalkan sebuah wirid Ya Jabbar, Ya Qohhar selama perjalanan dari Bangkalan menuju Tebuireng Jombang. Di hadapan Kyai Hasyim Asyari, pemuda Asyad langsung menyampaikan tasbih dari Syakhona Kholil.
Kehadiran Asad kedua kalinya ke Tebuireng ini membuat Kyai Hasyim Asyari semakin mantap untuk mendirikan NU, lantaran menangkap isyarat bahwa Syakhona Kholil sebagai gurunya tidak keberatan. Maka tepat 16 Rajab 1344 Hijriah atau 31 Januari 1926, organisasi NU resmi didirikan dan Kyai Hasyim Asyari dipercaya menjadi Rais Akbar. Untuk kegiatan organisasi awalnya di rumah KH Ridwan Abdullah jalan Bubutan VI nomor 20 yang kini menjadi kantor PCNU Surabaya. Kemudian beberapa kali rapat-rapat strategis mulai 1926-1930 menggunakan gedung Onderlingblang beralamat di Jalan Penghela nomor 2 Surabaya yang sebelumnya bangunan percetakan.
Syakhona Kholil Inspirator Berdirinya NU
Syakhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al Bankalany merupakan tokoh inspirator berdirinya Nahdlatul Ulama. Guru para ulama ini dikenal luas ilmunya, baik fikih, ushul, tasawuf dan bidang ilmu keislaman lainnya. Syakhona Kholil selalu bersanad pada ulama-ulama penganjur Islam ala Ahlussunnah Waljamaah.
Syakhona Kholil lahir di kampung Seneran Desa Kemayoran bangkalan Madura pada 27 Januari 1820. Sejumlah nama pernah menjadi guru Syakhona Kholil, misalnya KH Abdul Lathif (ayah dari KH Muhammad Nur di PP Langitan Tuban), KH Nur Hasan di PP Sidogiri Pasuruan, Syaikh Nawawi al-Bantani di Mekkah.
Syakhona Kholil dikenal memiliki metode khusus dalam menggembleng para santrinya. Syakhona Kholil tidak hanya mengajar biasa-biasa saja seperti membaca kitab kuning, namun juga mendengarkan dan menulis pelajaran. Kemudian mempelajari dan menghafalnya.
Sebagai Kyai dan seorang pemimpin, Syakhona Kholil juga memikirkan rakyat. Ulama pesantren ini tidak hanya seorang pemimpin dan intelektual di pesantren saja, namun juga terjun langsung ke masyarakat. Dari sini Syakhona Kholil mengetahui apa saja kesulitan rakyat, sehingga kehadirannya bisa menjadi pengayom dan pelindung. Syakhona Kholil meninggal dunia pada 14 Mei 1923 di Bangalan Madura.
NU dan Kyai Hasyim Asyari
Perkembangan NU tidak lepas dengan pemikiran Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari dalam paham keagamaan. Terlihat dalam pembelaan terhadap cara beragama dengan sistim bermazhab. Inilah pandangan yang erat kaaitannya dengan sikap beragama mayoritas kaum Muslimin, islam ala Ahlussunnah Waljamaah. Pemikiran tentang bermazhab ini tertuang dalama karyanya Qanun Asasy LilJamiyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi pijakan organisasi NU.
Menurut catatan Riadi Ngasiran dalam Media 1 Abad Nahdlatul Ulama, pandangan Hasyim Asyari soal mermazhab timbul sebagai upaya untuk memahami Al Quran dan Al Sunnah secara benar. Sebab dalam sejarahnya sebagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran islam itu sering terjadi perselisihan pendapat. Hal ini menyebabkan banyak lahir pemikiran besar (mujtahid). Namun karena pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana, Hasyim Asyari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman keagamaan dan fiqih (Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi) yang menjadi ciri utama paham Ahlusunnah Waljamaah An Nahdliyah.
Dalam pertemuan para ulama di pesantren Surabaya pada 31 januari 1926 itu, Kyai Mas Alwi bin Abdul Aziz turut hadir mengusulkan sebuah nama yang mempresentasikan utusan para ulama yang dikirim ke Hijaz dengan nama “ Nahdlatul Ulama”. Sebelum nama NU ini disepakati, Hasyim Asyari bertanya ke Kyai Mas Alwi apa alasan mengusulkan nama tersebut.
“ Karena tidak semua ulama memiliki jiwa Nahdlah (bangkit), banyak Kyai yang sekedar diam di pondoknya saja, dan yang ada di organisasi ini adalah ulama yang memiliki jiwa Nahdlah, ” kata Kyai Mas Alwi.
Mendengar argumen tersebuy, Hasyim Asyari dan para kyai yang hadir bisa memahami. Beberapa ulama yang hadir saat awal pendirian KH Hasyim Asyari dari Tebuireng, KH Ahmad Dahlan Ahyad dari Surabaya, KH Wahab Hasbullah (saat itu tinggal di kertopaten Surabaya, kemudian pindah ke Tambakberas Jombang), Kh Bisri Syamsuri Denanyar Jombang, KH Ridwan Abdullah Bubutan Surabaya, KH Nawawie Sidogiri Pasuruan, Kh Abdul Halim Leuwemunding Cirebon, KH Khalil Masyhuri bin Abdurrasyid Lasem Rembang, Syekh Ghanaim al Mishri Mesir, KH Nahrawi Thahir Malang, KH Ndoro Muntaha (Menantu Syaikhona Kholil) Bangkalan Madura, KH Muhammad Zubair Sedayu Gresik, KH Muhammad Fakih Maskumambang Dukun Gresik, KH Mas Alwi bin Andul Aziz Surabaya, KH Abdullah Ubaid Surabaya, KH Muhammad Maruf Kedunglo Kediri, KH Ridwan Mujahid Semarang, KH Raden Hambali Kudus, serta H Hasan Gipo.
Dalam perkembangannya corak NU sangat dipengaruhi Hasyim Asyari. Saat pidato iftitah yang disampaikan kepada warga NU tentang faham Ahlussunnah Wal Jamaah yang menganut satu dari empat Mazhab yang dijadikan asas NU. Organisasi NU yang menegakan nilai nilai toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth) keseimbangan (tawazun) dan Adil (taadul) serta amar maruf nahi munkar. (pul)
Berdirinya Kerajaan Mataram Yogyakarta
Abad.id - Berdirinya Kerajaan Mataram Yogyakarta sesungguhnya tidak memiliki pijakan yang kuat dari segi legalitas sejarah. Penguasa Kerajaan Mataram Yogyakarta yang pertama yakni Panembahan Senapati atau Sutawijaya tidak memiliki keterkaitan dari segi silsilah dengan Raja Majapahit Kertabumi atau Brawijaya V atau Dyah Suraprabawa.
Klaim Babad Tanah Jawi yang menjadi landasan legitimasi bahwa Kerajaan Mataram Islam Yogyakarta merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit tidak memiliki pijakan yang kuat dan cenderung ahistoris. Babad Tanah Jawi disusun pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma dimana penguasa membutuhkan legitimasi kuat bagi Kesultanan Mataram agar masyarakat Jawa bersedia menerima Panembahan Senapati dan keturunannya sebagai penguasa sah Tanah Jawa sebagai pewaris dan sebagai penerus Kerajaan Majapahit yang bercorak Siwa-Buddha.
Terlebih lagi jika mengkaitkan hubungan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Mataram kuno baik Dinasti Sanjaya (Badra) ataupun Dinasti Syailendra maka semakin ahistoris saja. Karena Mataram Kuno dan Mataram Islam Yogyakarta terpaut lebih dari 6 abad tanpa ada silsilah yang bisa menghubungkan diantara keduanya. Jika mengklaim pewaris Medhang Matriam (Mataram), dari jalur manakah Panembahan Senapati berasal ?
Panembahan Senapati atau Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan seorang petani. Ki Ageng Pemanahan adalah tangan kanan sekaligus guru spiritual Hadi Wijaya atau Jaka Tingkir atau Raja Kerajaan Pajang. Jaka Tingkir adalah putra Bupati Pengging Kebo Kenanga. Kebo Kenanga adalah putra Bupati Pengging sebelumnya yakni Andayaningrat. Andayaningrat inilah putra mahkota Majapahit yang gugur di tangan Sunan Undung pada perang yang terjadi pada 1478.
Ki Ageng Pemanahan sendiri dengan demikian bukan keturunan trah Majapahit seperti Hadi Wijaya. Babad Tanah Jawi berupaya menjustifikasi bahwa Suta Wijaya berasal dari keturunan raja Majapahit tanpa alur sejarah yang jelas.
Gelar Panembahan yang digunakan Senapati sebenarnya bukan gelar untuk golongan ningrat dan gelar Ki Ageng yang dipergunakan Pemanahan menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan petani.
Karena tidak memiliki akar sejarah trah keturunan raja-raja yang bertahta di tanah Jawa sebelumnya, raja-raja Mataram dan keturunanannya mencoba terus memburu gelar sebagai basis penguat legitimasi kekuasaan di Jawa. Istilahnya raja-raja Mataram tetap ingin mendapatkan:
“trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih”.
Saat berubah menjadi Mataram Islam, gelar Sultan dipakai karena menunjukkan adanya legitimasi atas Islam yang mulai menyebar di Jawa dan menjadi agama mayoritas, Sultan merupakan gelar pemberian dari Turki Utsmani (Ottoman).
Keabsahan Panembahan Senapati dan keturunannya yang mengklaim sebagai pewaris sah Majapahit inilah yang juga dipertanyakan keturunan bangsawan Madura yakni Trunajaya. Trunajaya merupakan keturunan bangsawan Madura yang melawan dan berhasil mengusir Amangkurat II dari Keraton Mataram, mengejek raja-raja Mataram keturunan Panembahan Senapati itu ibarat buah tebu.
“Raja Mataram iku dak umpakakake tebu, pucuke maneh cen legiyo, sanadjan bongkote ing mbiyen ya adem bae, sebab raja trahing wong tetanen; angor macula bae bari angona sapi”. (Raja Mataram itu saya umpamakan tebu, meskipun ujungnya manis, pangkalnya saja sejak dulunya terasa tawar, sebab raja keturunan petani; lebih baik kalau mencangkul saja sambil menggembalakan sapi) (Medjanto 1987, halaman 84).
Karena kesal dengan ejekan ini, pada saat Trunajaya kemudian ditangkap atas bantuan Pangeran Puger dan VOC. Amangkurat II dan keluarga Mataram beramai-ramai mencincang Trunajaya, kepalanya dipenggal dan dikubur di bawah anak tangga menuju makam raja-raja Mataram di Imogiri. “Siapapun yang akan berziarah ke Makam Imogiri akan menginjak kepala Trunajaya”, demikian sumpah raja Mataram yang marah besar atas penghinaan Trunajaya yang masih merupakan trah keturunan Majapahit.
Mataram Islam bawahan Turki
Gubernur DIY sekaligus Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana X mengatakan bahwa Keraton Mataram Yogyakarta mengakui kekuasaan Khilafah Turki Utsmani.
“Sultan Turki Utsmani meresmikan Kesultanan Demak pada tahun 1479 sebagai perwakilan resmi Khalifah Utsmani di tanah Jawa, ditandai penyerahan bendera hitam dari kiswah Ka’bah bertuliskan La Ilaha Illa Allah dan bendera hijau bertuliskan Muhammad Rasul Allah. Hingga kini kedua bendera itu masih tersimpan baik di keraton Yogyakarta. “Ini berarti Kesultanan Ngayogyakarta adalah kekhilafahan yang masih eksis di bumi pertiwi,” kata Sri Sultan dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakarta pada bulan Februari 2015.
Dengan demikian sejak era Kesultanan Demak, Sultan HB X mengakui bahwa Jawa hanya menjadi bawahan Khilafah Turki Ottoman dan bukan menjadi wilayah yang sepenuhnya merdeka seperti pada masa Kerajaan Majapahit. Pengakuan pada kekuasaan Turki Ottoman sudah terjadi sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol dan Belanda datang ke Nusantara.
Adapun Raja Mataram Islam Yogyakarta yang mengakui kekuasaan Khilafah Turki Ottoman adalah Sultan Agung (sebelum menjadi bawahan Turki Ottoman bernama Panembahan Agung Hanyakrakusuma). Ia bersama Sultan Iskandar Tani dari Aceh melakukan perjanjian dan persekutuan dengan Turki Utsmani (Ottoman) pada masa Sultan Murad IV.
Setelah perjanjian dan persekutuan antara Sultan Murad IV dan Panembahan Agung Hanyakrakusuma dilakukan maka penguasa Mataram tersebut berangkat ke Mekah untuk dibai’at oleh Syarif Makka Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi. Sultan Agung kemudian dipercaya sebagai Utusan Makkah di Tanah Jawi yang akan membantu membela Islam dan menjadi wilayah anggota bawahan Sultan Murad IV dari Turki Ottoman.
Setelah resmi menjadi sultan dan berada di bawah Turki Utsmaniyah maka secara simbolik tutup kepala Kulup Kanigoro Sultan Agung diganti dengan menggunakan Tarbusy seperti yang dikenal sampai sekarang. Selain itu juga di berikan tongkat pataka, air zam zam yang diletakan dalam guci, juga kiswah kabah dan satir dari makam Nabi Muhammad yang dijadikan satu menjadi bendera bertuliskan asyhaduallaillahaillallah, dan yang satu lagi bertuliskan waasyhaduanamuhammadan 'abduhu warasulluh, dan juga surat Al Kautsar.
Bendera ini di beri nama Kyai Tunggul Wulung yang sekarang masih ada di keraton Yogyakarta. Sejarawan Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, menyebutkan gelar khalifatullah (dari kata khalifah artinya wakil) menegaskan perubahan konsep lama raja Jawa, dari perwujudan dewa menjadi wakil Allah di dunia.Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda Raja pada 30 April 2015 yang menghilangkan gelar khalifatullah. Gelar khalifatullah ini sesungguhnya tidak lagi relevan karena Khilafah Turki Utsmani sudah dibubarkan oleh Mustapha Kemal “Attaturk” Pasha pada 3 Maret 1924.
Pembubaran negara induk yakni Khilafah Turki Utsmani inilah yang tidak diikuti negara bawahan atau vassalnya yakni Kesultanan Mataram Islam Yogyakarta, setelahnya. Kesultanan Mataram Yogyakarta dengan demikian masih mengakui kekuasaan Turki Ottoman meskipun kekhalifahan itu telah bubar. Jika menggunakan logika sederhana pembubaran negara induk seharusnya diikuti pembubaran negara bawahan atau negara vassal.
Dengan demikian sebelum hadirnya negara penjajah dari Eropa yakni Belanda, Jawa sebenarnya bukan lagi sebuah wilayah merdeka seperti masa Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh oleh serangan Demak maka Jawa menjadi bagian Khilafah Turki Ottoman. Kesultanan Mataram Yogyakarta bukan simbol kemandirian dan kebanggaan orang Jawa tetapi simbol kemerosotan peradaban orang-orang Jawa. Kesultanan Mataram Yogyakarta bukan pewaris sah Kerajaan Majapahit tetapi hanyalah perpanjangan tangan kekuasaan Khilafah Turki Ottoman.(mda)
abad.id- Bulan Agustus 1946, Syahrir mendapat tugas lagi untuk membentuk kabinet lengkap, yang akhirnya dikenal “Kabinet Syahrir Jilid III”. Isi kabinet ini masih gagal membentuk kabinet koalisi lebar seperti yang diinginkan Sukarno. Pendukung kabinet Syahrir ini masih kelompok Partai Sosialis, dan sedikit dari unsur Masyumi dan PNI. Sekali lagi Syahrir menjadi Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri.
Dalam susunan kabinet Syahrir III ini masih terdapat beberapa nama yang sama dengan susunan kabinet Sharir jilid I dan II. Mereka Agoes Salim yang mendampingi Syahrir menjadi menteri Luar Negeri, Amir Syarifuddin menjadi Wakil Perdana Menteri, Natsir serta Roem. Ada pula seorang laki laki asal Maluku yang ikut menjadi anggota kabinet, Johanes Leimena yang sering dipanggil Oom Joe. Ada seorang wanita Maria Ulfa Santoro putri bekas Bupati Kuningan kawan dekat Syahrir selama kuliah di Belanda. Wikana masih mengurusi masalah kepemudaan, Sultan Hamengku Buwono IX dijadikan menteri tanpa departemen bersama Po Gwan dari golongan etnis Tionghua.
Sidang Kabinet Syahrir III. Foto dok net
Untuk mengurus negara yang masih sangat muda dengan ancaman agresi militer Belanda ini, Syahrir harus hilir mudik dari Jakarta ke Yogjakarta seminggu sekali, hari Jumat dan Minggu harus balik. Untuk menuju ibukota negara Yogjakarta, Syahrir disediakan fasilitas kereta api gerbong khusus dilengkapi tempat tidur. Kehadiran Perdana Menteri selama di Yogjakarta dimanfaatkan untuk rapat kabinet lengkap, dengan dihadiri Sukarno Presiden dan Hatta Wakil Presiden. Lokasi sidang dipilih di Istana Negara Yogjakarta, tempat kediaman Sukarno Presiden.
Hingga suatu saat Syahrir mengajak seorang wartawan bernama Rosihan Anwar yang bekerja di harian “Merdeka” untuk mengikui kegiatan rapat kabinet. Dalam bukunya Sukarno Biografi 1901-1950 tulisn Lambert Giebels, Rosihan Anwar menggambar rapat para menteri ini seperti bermain-main. Rapat digelar di sebuah ruangan besar di Istana Yogjakarta pukul 10.30, dan dibuka Syahrir. Di belakang Sukarno dan Hatta duduk bersebelahan yang digambarkan seperti saudara. Kemudian para menteri yang sudah hadir dipersilahkan duduk di kursi masing masih.
Agenda sidang kabinet saat itu ada empat pokok, yaitu pengesahan notuna rapat sebelumnya tentang surat-surat masuk, kemudian politik luar negeri dan dalam negeri serta kondisi pertahanan, soal anggarandan terakhir soal tanya jawab dan menentukan tanggal rapat berikutnya. Laporan pertama dari Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara yang menyampaikan belum berhasil menyelesaikan anggaran dan meminta waktu sampai rapat berikutnya. Menteri Kehakiman mengeluh para pegawainya terpaksa menjual seragam resmi karena memerlukan uang untuk beli makanan. Syafruddin yang merasa disentil atas pernyataan Menteri Kehakiman segera menerangkan kesulitan pemerintah menarik uang pajak di situasi negara yang sedang banyak blokade.
Di sela-sela penjelasan menteri Syafruddin ini, tiba-tiba Sekretaris Dewan Menteri Susanto keliling meja untuk menyodorkan sebuah telegram kepada Perdana Menteri Syahrir yang kurang mengikuti pembicaraan para menterinya itu. Syahrir membaca, lalu memasukan ke dalam saku. Dengan nada jengkel, Natsir bertanya dari belakang meja isi telegram yang dianggap rahasia itu. lalu Syahrir tidak menjawabnya.
Menurut catatan Rosihan Anwar, banyak surat yang masuk dalam sidang kabinet berisi tentang keluhan rakyat. Misalnya dari Walikota Jakarta yang melaporkan inflasi sangat tinggi. Tentu saja keluhan ini memancing diskusi yang hangat, sehingga lupa tentang topik utama yang dibahas yaitu masalah seragam hakim. Tapi yang menarik dari rapat kabinet itu, Maria Ulfah satu-satunya menteri perempuan tidak kalah dalam berargumen. Menurut Maria Ulfah, sebuah keluarga buruh harus menutupi kebutuhan mereka sebesar 22,4 rupiah per hari. Sedangkan analisis hidup layak diperlukan 55,6 rupiah per hari. Terdengarlah kata-kata belanda Corruptie. Kemudian Leimena mengingatkan juga dalam bahasa Belanda, jangan sampai terjadi pemberontakan massa.
Situasi yang mulai panas ini langsung ditengahi oleh Hatta yang menyerukan mereka yang berdiskusi mengutamakan ketertiban. Semua harus memusatkan pikiran kepada inti persoalan. “Satu-satunya yang bisa memecahkan persoalan ini yaitu sebuah sistim distribusi yang terbuka” kata Hatta.
Rosihan Anwar masih sangat ingat rapat yang digelar sangat dinamis, namun presiden dan perdana menteri hanya sesekali berbicara. Tepat pukul 14.00 siang rapat dihentikan sementara untuk makan siang secara sederhana. Menunya sepotong paha ayam, nasi goreng yang dibungkus daun pisang. Menu minuman hanya disediakan air putih dan teh kopi serta jahe. Saat makan siang ini situasi yang tegang menjadi sangat cair. Para menteri saling ngobrol membahas hal yang ringan, dan sebagian melanjutkan sholat. Istirahat makan hanya 30 menit, kemudian rapat kabinet dilanjutkan hingga pukul 20.00 malam.
Rosihan Anwar Wartawan 5 Jaman
Rosihan Anwar seorang wartawan, budayawan, sejarawan, sekaligus sastrawan Indonesia memulai karier jurnalistik di Harian Asia Raya pada 1943. Rosihan Anwar merupakan jurnalis lintas masa karena ia berkarier sejak masa penjajahan Jepang hingga reformasi. Rosihan Anwar lahir di Bumi Sari Natar, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922. Ia adalah anak keempat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya bernama Anwar Maharaja Sutan dan ibunya adalah Siti Safiah. Ayah Rosihan Anwar merupakan seorang Demang atau pegawai pemerintahan di kota Padang, Sumatera Barat.
Rosihan Anwar mendapat pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) pada 1935. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang pada 1939. Setelah menamatkan pendidikan di MULO, Rosihan Anwar merantau ke Yogyakarta untuk bersekolah di Algemeene Middelbare School atau AMS pada 1942. Rosihan Anwar memulai karier menjadi wartawan Asia Raya pada 1943 hingga hingga 1945. Setelah itu, Rosihan Anwar bekerja di Harian Merdeka yang dipimpin BM Diah hingga tahun 1946. Setelah punya pengalaman mengelola media, ia menjabat sebagai pemimpin redaksi Harian Siasat pada 1947. Pada tahun 1948, Rosihan Anwar kemudian menerbitkan Surat Kabar Pedoman hingga Januari 1961, karena diberedel Soekarno.
Sejak saat utu Rosihan Anwar menjadi kolumnis untuk majalah luar negeri, seperti Bussines News. Setelah pecah Gerakan 30 September pada 1965, Rosihan Anwar mendapat tawaran dari banyak surat kabar dan majalah dari dalam maupun luar negeri. Pada 1968, Rosihan Anwar menerbitkan kembali Harian Pedoman yang sempat mati. Selain itu aktif di PWI. Ia sempat menjabat sebagai ketua PWI dari 1968 hingga 1974. Selanjutnya, ia menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat sejak 1983. Kiprah Rosihan Anwar di PWI berakhir dan meninggal dunia pada 14 April 2011. (pul)