abad.id- Ekskavasi atau penggalian Situs Srigading di Kecamatan Lawang, Malang, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) pada (12/2/2022) lalu, menemukan fakta menarik. Struktur bangunan yang sebelumnya tertimbun tanah merupakan bangunan candi Mpu Sindok menghadap ke Gunung Semeru. Struktur batu bata diameter besar berukuran panjang 35 centimeter, lebar 22 meter, dan ketebalan 10 sampai 11 centimeter. Terlihat di sisi barat bangunan.
Temuan Lingga sempurna dengan tanda Brahmasutra
Bangunan struktur berupa undaan yang difungsikan kaki candi terlihat jelas. Ekskavasi selama enam hari itu juga menunjukkan progres besar terhadap penampakan candi yang dari hipotesis sementara dibangun oleh Raja Mpu Sindok di masa Kerajaan Mataram Kuno.
Dugaan peripih pada sumuran candi
Ekskavasi berikutnya untuk mengetahui luasan dan bentuk, serta kaitannya dengan pelestarian bangunan candi agar tidak semakin rusak. Apalagi batuan candi berasal dari abad 10, yang rawan rapuh akibat perubahan cuaca.
Eskavasi candi Srigading
“Nanti akan tampak semua bentuk dan luasan candi, setelah mengetahui bentuk dan luasan candi, tentunya akan mudah menghitung kebutuhan ruang bagi candi dalam upaya pelestariannya, termasuk pembebasan (lahan) dan pengatapan,” kata Arkeolog BPCB Jawa Timur Wicaksono Dwi Nugroho.
Arca temuan saat eskavasi
Temuan arca Nandiswara
Lalu ada hubungannya antara Candi Srigading Lawang dan Prasasti Linggasutan. Keduanya merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur atau kerap disebut Kerajaan Medang. Prasasti berangka 851 Saka atau 929 Masehi ini ditemukan di Dusun Lowokjati, Desa Baturetno, Kecamatan Singosari, Malang. Karena itu, Prasasti Linggasuntan juga disebut Prasasti Lowokjati atau Lawajati. Ketika ditemukan, kondisi prasasti terbelah menjadi dua. Kini, prasasti Linggasuntan telah disatukan kembali dan berdiri menjadi salah satu koleksi Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
Prasasti Linggasuntan. (Sumber Prihatmoko 2009)
Isi Prasasti Linggasuntan, dikeluarkan pada 12 krsnapaksa, bulan Bhadrawada tahun 851 Saka atau 3 September 929 Masehi. Isi prasasti yang ditulis dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno dipahatkan pada batu berukuran cukup besar. Adapun isi prasasti ini menceritakan titah Raja Sri Maharaja Rake Hino Mpu Sindok Sri Isanawikramadharmmotunggadewa kepada dua Samgat Momahumah bernama Mpu Padma dan Mpu Kundala.
Fragmen arca temuan
Saat itu tahun 851 saka, hari Kamis Pahing, Panirwan tanggal 11, bulan Paro Gelap, bulan Badrawada, ketika Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok memerintahkan kepada pejabat Madander bernama Pu Padma dan pejabat Aanggehan bernama Pu Kundala, bahwa wanua Lingasuntan masuk Watak Hujung. Memerintahkan kewajiban kerja bhakti, setara uang 2 Masa dan 2 pekatik. Penghasilan pajaknya sebanyak 3 suwarna emas, akan dibatasi jadi sima untuk dipersembahkan bagi Bhatara di Walandit.
Status Sima itu sima Punpunana dari Bhatara melayani Sang Hyang Dharma, serta untuk penambahan pemujaan Bhatara tiap tahunnya.
Dan wilayah Sima itu tidak boleh dimasuki oleh beberapa pejabat...
Pihak menjadi saksi penetapan Sima:
- Pejabat Desa Wurakutan, bernama si Badak
- Pejabat Desa Himad , bernama si Sambur
- Pejabat Desa Mling-mling , yaitu Si Kuman.
- Pejabat Desa Talijungan, yaitu si Lele
- Pejabat Desa Pangawin ,
- Pejabat Desa Kanuruhan, yaitu si Capa.
- Pejabat Desa Hujung , yaitu si Banawa.
- Pejabat Desa Ragunung ,
- Pejabat Guru Hyang. Lambuhuyu.
- Pejabat Rindi, yaitu si Dinada.
Dalam prasasti itu disebutkan mereka diutus untuk meresmikan Desa Linggasuntan yang termasuk wilayah kekuasaan Rakryan Hujung menjadi desa perdikan atau sima (bebas pajak). Hal itu karena lokasi desa yang dekat dengan bangunan suci (candi). Segala penghasilan Desa Linggasuntan harus diserahkan untuk pemujaan Bhatara di Walandit (sekarang Dusun Blandit, Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari).
Para ahli meyakini bahwa Desa Linggasuntan merupakan nama kuno dari Desa Lowokjati, tempat prasasti ini ditemukan. Terlebih, Desa Lowokjati letaknya tidak jauh laut dari Dusun Blandit, yang dalam prasasti tersebut diketahui sebagai salah satu wanua. Dari informasi prasasti dapat dikatakan bahwa Desa Lowokjati menjadi salah satu desa tertua di wilayah Kecamatan Singosari, Malang.
Fragmen arca temuan
Diyakini pula bahwa desa Mling-mling itu adalah toponimi desa Mameling, atau sekarang menjadi dusun Meling desa Bedali kecamatan Lawang. Sedang toponimi Hujung, diduga adalah dusun Ngujung, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Malang.
Selain itu, Prasasti Linggasuntan menyebutkan beberapa profesi yang dikenakan pajak, khususnya profesi yang berhubungan dengan perburuan. Profesi yang dimaksud adalah pembuat sangkar burung, pembuat perangkap burung, dan pembuat jerat binatang. Pajak dari profesi tersebut ditujukan pada tiga pihak, yakni untuk keperluan pemujaan Bathara di Walandit, kepada pemungut pajak, dan pemelihara perdikan. (pul)
abad.id- Ini cerita dari Adam Malik salah satu inisyiator proklamasi kemerdekaan tentang temannya bernama Sukarni. Sebenarnya peristiwa Rengasdengklok tidak perlu terjadi jika para pemuda mau dengan sabar menunggu waktu kemerdekaan seperti yang dijanjikan pemerintahan militer Jepang. Namun tiba-tiba para pemuda mendengar kabar kurang baik dari Saito seorang warga Jepang yang ikut mengawasi jalannya sidang panitia kemerdekaan. Bahwa pada akhirnya Tenno Heika yang berwenang menentukan Indonesia kelak akan menjadi Republik atau Monarki kerajaan.
Tentu saja kaum muda menolak dan berteriak-teriak tidak terkendali. Kelompok Menteng menyatakan bukan Tenno Heika yang menentukan arah kemana perjuangan kemerdekaan Indonesia itu. namun para pemuda yang akan bergerak sekarang juga. “ Kalau pemimpn-pemimpin kita masih mau menerima ketentuan-ketentuan Jepang, mereka akan berhadapan langsung dengan pemuda,” catatan Adam Malik dalam buku Mengabdi Republik.
Sejak peristiwa itu, kelompok pemuda mulai melakukan konvrotasi dengan pemimpin-pemimpin sendiri. Kelompok pemuda ini juga berusaha membujuk Sukarno agar cepat-cepat memproklamasikan kemerdekaan, agar tidak terjebak dan lengah dengan strategi Jepang. para pemuda tidak segan memaki pemimpin yang dianggap lamban, bahkan dengan kata-kata kasar “bodoh”
Ada kesempatan yang tidak diduga, yaitu tanggal 6 Agustus Hirosima hancur. Dua hari setelah pertitiwa itu, Sukarno dan Hatta mendapat undangan dari Jendral Terauchi di Dalat Saigon. Sehari selama di Vietnam, muncul kabar kota Nagasaki kena bom tentara Amerika Serikat hingga hancur. Dua ledakan ini mengakibatkan hampir seperempat juta warga Jepang tewas. Namun rupanya Sukarno Hatta belum mengetahui peristiwa tersebut, hingga kembali ke Indonesia pada 14 Agustus 1945.
Suatu sore kelompok pemuda mendatangi rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Lagi-lagi pemuda mendesak Sukarno untuk memproklamasikan Bangsa Indonesia, agar meninggalkan kesan kemerdekaan itu hadiah dari Tenno Heika. “Serarang Bung, sekarang,” kata kelompok pemuda berteriak-teriak. Tetapi Sukarno tetap menolak, malahan minta supaya kami tetap tenang dan tunggu saja komandonya,” kata Adam Malik.
Menurut Adam Malik, sebenanya konvrotasi antara kelompok aktifis tua dengan pemuda radikal berkesan lucu dan geli. Setiap pemuda berbicara menekankan pentingnya kemerdekaan sekarang dan bukan besok atau lusa. Hingga tampak kejengkelan yang tidak pernah Adam Malik lupakan, antara dua orang Blitar bernama Sukarni dengan Sukarno. Dalam keadaan judeg bercampur gregetan, Sukarni berteriak dengan berbahasa jawa kepada Sukarno. Wes tah Bung, cepetan !, Opo se, sing kok doleki maneh?” (Sudahlah bung ayo cepat, apa sing yang kau cari?.
Meledaklah amarah Sukarno dengan perkataan Sukarni yang mendesak itu. lalu dia jawab “ Wes tah menengo ae Koen,” (sudahlah diam saja kamu) kata Sukarno tidak kalah gertak.
Tan Malaka dan Sukarni sangat aktif terlibat mobilisasi rakyat selama Agresi Militer Belanda. Foto dok net
Adam Malik mengaku sangat mengagumi dua sosok yang dianggap berjasa menjadi arsitek kemerdekaan. Keduanya berasal dari kota kecil Blitar, yakni Sukarno dan Sukarni. Keduanya berperawakan tampan, berbadan tegap, bersikap radikal dan berwatak sama-sama ngotot. Untuk mengejek Sukarno, menamankan Sukarni sebagai Ringleader (kepala gerombolan). Sebaliknya Sukarni yang lebih muda menamakan Sukarno Diehard (si kepala batu). “Sukarni yang lebih muda merupakan katalisator bagi Sukarno yang lebih tua untuk mempercepat tibanya kemerdekaan,” kata Adam Malik.
Akhirnya kelompok pemuda membubarkan diri tanpa hasil apapun. Sehari kemudian tanggal 15 Agustus 1945 ada kabar burung Jepang menyerah dari tangan sekutu. Beberapa pemuda sudah berkumpul di markas kawasan Menteng, dan sepakat untuk melakukan aksi menculik Sukarno dan Hatta. Mereka sepakat membawa Sukarno Hatta ke kawasan Rengasdengklok yang jauh dari Jakarta. Proyek penculikan dipimpin Sukarni dengan bantuan anggota Peta dan disepakati tanggal 16 Agustus 1945 malam.
Sementara itu dalam bukunya Biografi Sukarno 1901-1950 tulisan Lambert Giebels disebutkan, Sukarno sangat jengkel atas kehadiran beberapa pemuda di rumahnya malam itu. Apalagi dirinya dan Hatta diculik di sebuah kawasan terpencil di luar Jakarta pada 16 Agustus `1945. Saat itu bulan ramadhan, keluarganya sedang menikmati sahur. Tiba-tiba ada mobil berhenti di depan rumahnya. Pengendara itu memerintahkan kepada Sukarno untuk ikut.” Mereka berkata akan membawa saya dan keluarga ke tempat yang aman karena akan ada pecah pertempuran militer Peta dan Heiho,” kata Sukarno.
Dengan keadaan terpaksa, kegiatan sahur harus ditunda. Sukarno tidak ingin meninggalkan Fatmawati dan Guntur yang masih bayi. Sementara mobil lain telah berhasil menjemput Hatta. Dua mobil ford meninggalkan kota lewat Jatinegara. Di dekat penjara Cipinang, mereka harus melewati pos penjagaan militer. Agar tidak menimbulkan kecurigaan militer Jepang, rombongan memakai seragam Peta. Dua jam perjalanan akhirnya telah sampai di Rengasdengklok.
Dari sini drama penuh ketegangan kembali dimulai. Untuk sementara Sukarno Hatta dimasukan di sebuah ruang tunggu tanpa tahu apa agenda selanjutnya. Pemuda Sucipto bertugas mengembalikan mobil ke Jakarta dan memberitakan aksi penculikan telah berhasil. Sementara pemuda Singgih mulai membuka intervensi, apakah Sukarno bersedia mengumumkan kemerdekaan malam ini juga tanpa melibatkan Jepang. Pernyataan singgih ini seperti intrograsi, sebab sebuah senapan ikut diletakan di atas meja. Bagi Sukarno aksi pemuda itu sangat tidak simpati. Di kemudian hari Sukarno bercerita kepada Ktut Tanri seorang warga Amerika Serikat yang simpati kepada Republik Indonesia, mengaku sangat jengkel. “ Pemuda itu bisa saja saya tampar kalau saya mau. Namun mereka ini anak teman-teman saya sendiri, dan saya kenal mereka sejak kecil. Singgih adalah anak Panji Singgih teman saya dalam gerakan nasional. Sedangkan Sukarni berasal satu kampung dengan saya dari blitar, dan orang tuanya barangkali kenalan orang tua saya di Blitar,” kenang Sukarno.
Para pemuda semakin gelisah saat tiba-tiba Guntur menangis. Fatmawati hendak menyusuinya, namun botol susu ketinggalan di mobil. Atas desakan Fatmawati, beberapa prajurit Peta diperintah mencari susu bayi. Hatta yang tidak tahan dengan suara tangisan Guntur bermaksud menggendongnya keluar dan memangkunya. Namun yang terjadi, bayi Guntur ngompol di celana Hatta. Hatta tidak membawa baju ganti, padahal baju ini hendak dipakai sholat subuh. Beruntung Beberapa saat kemudian dua tentara Peta kembali sambil membawa susu.
Rupanya peristiwa di Rengasdengklok ini tidak menghasilkan sesuatu yang penting. Sukarni yang gagal memaksa Sukarno memproklamasikan Bangsa Indonesia di Rengasdengklok, bercerita ke Adam Malik bahwa Sukarno benar-benar si Kepala Batu. Hanya saja ada harapan Sukarno sempat membisikan ke telinga Sukarni bahwa hari baik untuk proklamasi jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, bersamaan dengan datangnya hari jumat legi. Ada pula kabar baik lain sejak kehadiran Subarjo yang menyusul, yan meyakinkan Sukarno Hatta bisa memproklamasikan di Jakarta, dan bukan di desa kecil Rengasdengklok. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
Kisah Si Burung Merak; Awal Masuknya Islam dan Keruntuhan Majapahit
Abad.id - Burung Merak adalah simbol derajat yang tinggi. Jika dalam pewayangan, biasa dipersonifikasi oleh sosok Krisna. Krisna lahir di tempat makmur, hobinya makan keju dan minum susu, yang merupakan simbol kemakmuran dan kekayaan. Krisna tidak bisa memakai kain rombengan, di kepalanya selalu ada bulu burung Merak yang menghiasi. Dia juga hoby memainkan seruling.
Perempuan juga digambarkan jika berdandan cantik dan anggun laksana burung Merak yang dikagumi oleh semua orang. Bulu-bulunya indah memukau setiap mata yang memandang. Paduan kemewahan, kecantikan dan keanggunan.
Dalam sejarah kesenian Reyog Ponorogo, burung Merak adalah symbol tokoh utama kisah Putri Cempa yang jelita digambarkan sebagaimana burung Merak yang menghinggapi kepala harimau, lambang Brawijaya V yang takluk oleh pesona kecantikan permaisurinya tersebut. Akibatnya, banyak wilayah-wilayah di bawah Majapahit kecewa dan ingin melepaskan diri, salah satunya Wengker (Ponorogo).
Masa Awal Islam di Jawa - "Runtuhnya Kerajaan Majapahit"
Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar, yang wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja, beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, yaitu Tiongkok dan Majapahit.
Lambang kerajaan Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan internasionalnya adalah Gresik.
Agama resmi kerajaan adalah Hindhu aliran Shiva dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi, sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah kerajaan di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta, Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta.
Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang- gemilang.
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Paregreg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri).
Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan.)
Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya (Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Agama Islam mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.
Dan Awal Penyebaran Islam di Jawa, kisahnya adalah sebagai berikut :
Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. (Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa), karena dikuasai oleh China kemudian berubah nama sebagai Vietnam. Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. (Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.
Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo (nama Champa dari Sayyid Ali Murtadlo).
Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.
Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. (Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar).
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda ketaklukan. Dan salah satu upeti persembahan yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat kecantikan putri berdarah Indo-China ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati. Dalam suatu kisah karena Putri Champa berhasil menyembuhakan sakit raja singanya sang raja, maka si Putri Champa diangkat sebagai permaisuri.
Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.
Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.
Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah yang kelak kembali ke Jawa dan mendirikan keraton Demak, yang kemudian terkenal sebagai Demak Bintara (Demak Bintoro). Kata bin dalam bahasa Arab merujuk pada "anaknya si", jadi Demak Bintara, artinya Demak anak si Tara, atau si Toro, Patahilah artinya kemenangan, putra Brawijaya dengan ratu berkulit pucat dan bermata sipit.
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberi nama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu.
Si Putri Champa Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.
Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong(mungkin julukan tokoh yang tidak mau diketahui nama sebenarnya), punakawan terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Dalam sebuah versi folklor nama ini adalah samaran dari Pembayun, putri Brawijaya. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hampir didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendapat kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurit yang bertingkah polah seperti banci. (Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Penari Jathilan, simbol para pejabat dijaman Majapahit, dokumentasi mda
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah simbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah simbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah simbol dari Pejabat daerah.
Pujanggaanom, simbol pejabat teras. Dokumentasi: mda
Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurit Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang pesisir yang membawa agama Jahuri (agama saudagar).
Reog Ponorogo. Dokumentasi: mda
Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO.
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker.
Prabhu Brawijaya memeberikan perdikan adalah daerah otonom yang dijanjikan kepada Dewi Anarawati alias Putri Champa. Dan Dewi Anarawati meminta daerah Ampeldhenta (di Surabaya sekarang) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang yang beragama Jahuri, sebutan agama Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Timur Tengah pada saat itu menurut Kitab Pustaka Wedha Sasangka yang ditulis oleh Dhenok Soeryaningsih. Di Ampeldenta rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar sebagai pusat pendidikan bagi kaum muslimin (orang yang menganut agama Islam).
Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Kerajaan, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid Ali Murtadlo dan Sayyid Ali Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar 'pasrah' memeluk Islam. Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Salah satunya adalah santriwati Syeh Maulana Malik Ibrahim bernama Fatimah binti Maimun( Sampai sekarang makamnya masih ada). Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama Sunan Gresik.
Makam Fatimah Binti Maimun
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali Sangha ( Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali Sembilan).
Tetapi dalam suatu versi Pustaka Wedha Sasangka dikatakan bahwa tidak pernah jumlah wali itu sembilan orang. Sebenarnya, bukan wali sanga tetapi Wali Sangha, yang artinya "Kelompok Ratu Taklukan". Dalam bahasa Jawa Kuno, kata "wali" artinya ratu taklukan. Ini bukan bahasa Arab wali yang artinya teman, pemimpin, yang mengampu. Begitu juga sangha yang dimaksud bukan bahasa Sanskerta yang artinya dewan pendeta, tetapi bahasa Jawa Kuno yang artinya kelompok, atau kumpulan. Itulah sebabnya wali-wali yang selama ini dianggap sebagai penyiar agama Islam bergelar "sunan". Kita harus paham benar bahwa "sunan" adalah gelar bagi seorang raja, yang di kemudian hari dipakai oleh raja-raja Surakarta, dari Sunan Amangkurat hingga Sunan Pakubuwana. Di era Majapahit, wali adalah raja-raja taklukan yang ditempatkan di daerah pesisir.
Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota kerajaan Majapahit. Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid Ali Rahmad dan Sayyid Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo (Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf dlo. Huruf dlo berubah menjadi lo¯. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dan lain-lain). Namun lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya. Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.
"Seorang Harimau yang dikangkangi oleh merak, tidak akan mampu lagi mengaum bebas".(mda)
Baca juga: https://abad.id/newsDetail/249-polarisasi-akibat-sumpah-dewi-cempa-dalam-kosmologi-jawa
Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"
Abad.id - Mengawali "Pekan Begandring" dalam rangka memeriahkan HUT ke-1 Begandring.com diisi dengan tiga kegiatan berbasis budaya secara berturut turut pada minggu dan senin (5-6 Februari 2023). Tiga kegiatan itu adalah pertama, bakti sosial pengobatan tradisional sebagai wujud upaya pemajuan kebudayaan sesuai undang undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Sementara dua kegiatan lainnya yang ikut mengawali Pekan Begandring adalah workshop penulisan buku, yang dimentori oleh Dukut Imam Widodo (penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe) pada minggu sore (5/3/2023).
Diskusi Melacak Jejak Hujunggaluh di Lodji Besar di jalan Makam Peneleh 502023
Sedangkan pada senin malam (6/3/2023) digelar diskusi publik (Begandringan) dengan judul "Mencari Letak Hujunggaluh". Diskusi ini mendatangkan Nara sumber Dr. Amin Widodo (geolog ITS), Dr. Abimardha (epigrafer Unair) dan Nanang Purwono (pegiat Begandring Soerabaia dengan moderator TP Wijoyo (pegiat sejarah klasik Surabaya.
Dari judulnya "Mencari Letak Hujunggaluh" sudah dapat diduga apa maksud diadakannya begandringan ini. Yaitu mencoba untuk mengidentifikasi letak Hujunggaluh, yang selama ini menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan.
Para sejarwan Belanda di masa pemerintahan Hindia Belanda sudah memiliki pandangan yang berbeda beda mengenai letak Hujunggaluh. Misalnya sejarawan N.J. Krom dan Kern dalam buku "Geschiedenis Van Nederlansche Indie, Feel I, (1938)" mengatakan bahwa Hujunggaluh adalah Sidayu di Gresik. Ada pula yang mengatakan bahwa Hujunggaluh di Surabaya.
Ternyata perdepatan dan silang pendapat mengenai Hujunggaluh dan letaknya itu masih terjadi hingga sekarang. Padahal, selama ini Hujunggaluh dianggap terkait dengan sejarah Surabaya masa lalu.
Karenanya untuk memberi gambaran yang jernih tentang sejarah Surabaya masa lalu itu, Begandring Soerabaia dalam Pekan Begandring menghadirkan para ahli yang bisa memberi kontribusi pemahaman sejarah masa lalu Surabaya melalui sebuah diskusi publik "Begandringan".
Kegiatan ini adalah kontribusi Begandring.com dalam upaya mengurai benang kusut sejarah Surabaya. Melalui The Begandring Institute, yang selama ini melakukan kajian tentang sejarah Surabaya, khususnya sejarah Hujunggaluh, maka Begandring Soerabaia menghadirkan tenaga ahli terkait untuk menyoal isu Hujunggaluh.
Karenanya, turut berbagi wawasan dan pandangan serta temuan temuan lapangan adalah Dr. Abimardha (epigrafer dari Universitas Airlangga), Dr. Amin Widodo (geolog ITS) dan Nanang Purwono (pegiat dan peneliti Begandring Soerabaia).
Masing-masing memaparkan materi Hujunggaluh berdasarkan keilmuan dan penelitiannya. Dr. Abimardha, misalnya, menjelaskan isi dari Prasasti Kamalagyan, sebuah prasasti kuno dari era Raja Airlangga yang menuliskan kata "Hujunggaluh".
Abimardha, yang spesialis dalam pembacaan naskah naskah kuno, termasuk prasasti, membedah Prasasti Kamalagyan, khususnya kalimat kalimat kuno dimana terdapat tulisan "Hujunggaluh ". Hasil pembacaannya mencengangkan.
Epigrafer Abimardha (Unair) membedah prasasti Kamalagyan
Menurut Abimardha "Hujunggaluh" memiliki makna nama sebuah jabatan dan nama sebuah tempat. Sedangkan nama Hujunggaluh, yang tertulis pada Prasasti Kamalagyan, adalah nama sebuah tempat.
Abimardha, yang mengatakan bahwa Hujunggaluh adalah nama sebuah tempat, berpandangan bahwa letak Hujunggaluh berada di sekitar antara lokasi berdirinya prasasti (desa Kelagen, kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo) dan desa Wringin Sapto (tempat yang tersebut pada prasasti sebagai lokasi dibangunan bendungan).
"Dengan kata lain bahwa letak Hujunggaluh berada di hulu sungai", kata Abimardha.
Pendapat Abimardha ini dikuatkan oleh temuan Nanang Purwono yang didapat berdasarkan kajian literatur dan analisa lapangan. Beberapa literatur, yang menjadi referensi Nanang, memang menyebut dan menuliskan nama Hujunggaluh.
"Tapi Hujunggaluh yang ditulis dalam buku buku kuno, misalnya oleh N.J. Krom, Kern, Groenneveld, termasuk oleh sejarawan Didik Pradjoko dan Bambang Budi Utomo dalam
Atlas Pelabuhan Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013), tidak ada kaitannya dengan nama Hujunggaluh yang tersebut pada prasasti Kamalagyan", jelas Nanang.
Nanang, dalam paparannya, memunculkan hipotesa bahwa ada dua nama Hujunggaluh. Pertama, Hujunggaluh sebagai pelabuhan laut di pantai utara Jawa bagian Timur dan Kedua, Hujunggaluh sebagai nama pelabuhan sungai yang letaknya di pedalaman Jawa.
Menurut Nanang, yang menyebabkan bahwa Hujunggaluh dianggap berada di Surabaya dan dianggap bahwa Hujunggaluh adalah cikal bakal Surabaya adalah karena hasil penelitian para sejarawan, ilmuan dan peneliti yang tergabung dalam tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya dalam proses pencarian dan penentuan Hari Jadi Kota Surabaya selama kurun waktu dua tahun (1973-1975).
Dari hasil kajian merekalah muncul hasil hipotesa bahwa Hujunggaluh berada di Surabaya. Pernyataan ini tertulis dan terdokumentasikan dalam sebuah buku, yang berjudul "Hari Jadi Kota Surabaya, 682 Tahun Soera-ing-Baia", yang dikeluarkan oleh pemerintah Kotamadya Surabaya (1975).
Dalam buku ini dituliskan beberapa alasan, yang melatarbelakangi Hari Jadi Kota Surabaya yang lahir pada 31 Mei 1293. Pertama, ada nama jalan Galuhan yang dianggap sebagai nama yang berasal dari nama Hujunggaluh. Kedua, nama kawasan Ujung (di Tanjung Perak), yang dianggap dari nama Hujunggaluh. Ketiga, Surabaya sebagai Hujunggaluh dianggap sebagai pintu keluar Tartar dari pulau Jawa. Adapun pintubkeluar itu adalah kali Jagir di kawasan Ngagel Wonokromo.
Padahal ketiga alasan itu terbantahkan oleh hasil temuan dan penelitian The Begandring Institute.
Hasil temuan pertama adalah bahwa nama jalan Galuhan di kawasan Bubutan adalah nama jalan baru, yang disematkan pada nama yang berbau kolonial. Pergantian nama itu terjadi di bulan Maret 1950.
Hasil temuan kedua adalah bahwa kawasan Ujung bukan kawasan kuno karena Ujung baru terbentuk setelah ada sudetan kanal Kalimas pada awal abad 19 dan dikembangkannya kawasan pelabuhan pada akhir abad 19 hingga awal abad 20. Jadi Ujung bukanlah dari Hujunggaluh.
Hasil temuan ketiga adalah bahwa kali Jagir, yang dianggap tempat keluarnya serdadu Tartar pada 1293, ternyata disana baru ada kanal pada kisaran tahun 1860-an. Pada peta 1706, sungai Jagir belum ada.
Dari hasil temuan dan kajian The Begandring Institute itulah maka tiga alasan, yang menjadi latar belakang sejarah hari jadi kota Surabaya, bisa dianggap gugur.
Paparan Abimardha dan Nanang Purwono ini saling melengkapi berdasarkan keilmuan mereka masing masing.
"Jika Hujunggaluh, sebagaimana tertulis di prasasti Kamalagyan, dianggap berada di Surabaya, maka data ini perlu ditinjau kembali", tegas Abimardha ketika menyudahi paparannya.
Sementara Dr. Amin Widodo, geolog dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya memaparkan bahwa secara geologis letak garis pantai kawasan Sidoarjo di abad abad pada masa perpindahan pemerintahan klasik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Airlangga pada abad XI menjorok ke pedalaman hingga Krian.
Dr. Amin Widodo yang tidak bisa hadir pada malam itu diwakili oleh karya videonya yang memaparkan dimana letak pusat pusat pemerintahan klasik saat itu. Ternyata letak pusat pusat pemerintahan itu tidak jauh dari aliran aliran sungai.
Menurut Ir. Yayan Indrayana, peneliti The Begandring Institute, yang pernah mengikuti diskusi Dr. Amin Widodo mengenai posisi garis pantai di abad abad awal bahwa hipotesa mengenai garis pantai itu ditentukan berdasarkan dari hasil penelitian spesies yang hidup di kawasan pedalaman baik fauna maupun flora. Ternyata ada species hewan dan tanaman pantai yang hidup di pedalaman.
"Maka diduga bahwa di tempat dimana ditemukan species pantai, disitulah garis pantai di masa kuno", jelas Yayan.
Amin melalui videonya tidak menjelaskan dimana letak Hujung galuh. Nanang menyimpulkan bahwa ada dua nama Hujunggaluh yang masing masing berada di tempat yang ber beda. Satu ada di wilayah pantai utara Jawa bagian Timur dan satu lagi ada di wilayah pedalaman. (Tim)
Dokumentasi awal temuan petirtaan candi Tikus, tampak di bagian atasnya pemakaman.
abad.id- Saat itu hama tikus merebak. Bukan hanya menyerang tanaman utama seperti padi, tapi juga menularkan penyakit ke tubuh manusia. Pemerintah Hindia Belanda menyatakan sudah masuk kategori wabah pes, sementara orang-orang pribumi jawa lebih mengenal dengan sebutan penyakit Sampar.
Dekade tahun 1910 telah terjadi krisis pangan di Pulau Jawa. Beberapa lahan pertanian mengalami gagal panen dan harga beras menjadi sangat mahal. Pemerintah kolonial mengambil langkah kebijakan harus mendatangkan beras dari negara Birma.
Diperkirakan kedatangan beras dari Birma ini yang menjadi penyebab wabah pes semakin menyebar di Pulau jawa. Sebab Birma sedang terjadi wabah Pes dan penyebabnya ditularkan melalui tikus. Namun pemerintah Birma dan Belanda masih belum belum mengetahui, dan hanya menganggap kejadian biasa.
Kondisi rumah isolasi saat wabah pes di Malang
Wabah ini menular ke Pulau jawa dari perantara beras dari Birma yang dinaikan ke kapal. Rupanya para pelaut juga tidak mengetahui dengan peristiwa munculnya tikus mati di dalam kapal yang membawa beras. Setelah perjalanan kurang lebih 2 minggu, kapal tersebut akhirnya bersandar di dermaga Tanjung Perak Surabaya. Setelah dilakukan bongkar di pelabuhan, beras beras impor lalu didistribusikan melalui jalur darat melalui jalur kereta api, sekalian tikus tikusnya.
Tujuan beras itu masuk di gudang di Malang. Sementara saat itu suhu d Malang sangat dingin, konon mirip di Rangon Birma menurut beberapa catatan. Suhu rendah ini membuat tikus tikus tersebut tidak terlalu sulit beradaptasi dengan negeri asalnya.
Perabotan rumah-rumah bahan bambu di malang, karena dianggap sebagai sumber sarang timus.
Saat didistribusikan melalui jalur kereta api, wilayah Wlingi dan Malang terjadi banjir. Sehingga jaringan kereta terputus. Beras di dalam karung ini terpaksa tertahan di Turen Kabupaten Malang, sebelum dipindahkan ke gudang beras di sepanjang jalur kereta. Saat kegiatan distribusi ini banyak banyak ditemukan tikus mati dan tiba-tiba orang terinfeksi penyakit pes di sepanjang jalur kereta. Wabah pes menyebar tidak terkendali ke beberapa kabupaten seperti Blitar, Kediri , Mojokerto dan Sidoarjo.
Sementara iu di Mojokerto kisaran tahun 1914, juga tejadi wabah tikus di pesawahan daerah Temon. Jika diadakan pengejaran, kawanan tikus tersebut selalu masuk ke sebuah lubang yang terletak di atas sebuah gundukan pemakaman. Kemudian setelah lubang dibongkar atas perintah Reagent/ Bupati RAA Kromojoyo Adinegoro, ternyata didalam belukar terdapat sebuah bangunan.
Reagen/ Bupati Mojokerto RAA Kromojoyo Adinegoro.
Setelah dilakukan penggalian, tampaklah bangunan yang saat itu diduga sebagai bangunan patirtaan kuno. Warga sekitar menamai bangunan itu dengan sebutan Candi Tikus, Ya, mungkin karena diketemukan sebagai sarang tikus.
Polemik fungsi candi berupa patirtan yang lazim digunakan tempat mandi atau fungsi lain, masih menjadi perdebatan para ahli.
Salah satu Jaladwara/ Pancuran air, dengan alat tumbuk dan pipisan.
Menurut Royal Academy of Cambodia saat tiba di candi Tikus, mereka berpendapat 'This sites is hospital, look like as in Angkor..' sambil menunjuk 2 buah pancuran/jaladwara beralat tumbuk bulat beralas cawan (pipisan) yang menyatu.
Fungsi alat tersebut untuk menghaluskan ramuan-ramuan herbal dengan cara dipampatkan/ditekan hingga hancur dengan gelindingan batu bulat beralas semacam cawan. Ramuan tadi setelah halus diborehkan/diusapkan beserta campuran air yang mengalir. Pasien yang berada dibawahnya mendapatkan terapi sambil mandi atau ritual lain.
Ada beberapa pancuran dengan bentuk jaladwara, yang berbeda hanya bungai teratai dan berfungsi lainnya. Analogi macam-macam fungsi pancuran mirip dengan fungsi pancuran di Patirtan Tirta Empul Bali, yang menyesuaikan jenis penyakit atau guna lain. Mandala/puncak altar patirtan tersebut disinyalir untuk tempat persembahan bagi Dewa.(pul)
Penulis : Sudi Harjanto