Gregory Mankiw dalam Ten Principles of Economics mengatakan :
1. People face trade-offs
2. The cost of something is what you give up to get it
3. Rational people think at the margin
4. People respond to incentives
5. Trade can make everyone better off
6. Markets are usually a good way to organize economic activity
7. Governments can sometimes improve market outcomes
8. A country's standard of living depends on its ability to produce goods and services
9. Prices rise when the government prints too much money
10. Society faces a short-run tradeoff between Inflation and unemployment.
10 prinsip ekonomi diatas adalah dasar yang dipakai untuk menyusun teori ekonomi dan menjadi pedoman bagi para ekonom. Selain konsep ekonomi standar seperti penawaran dan permintaan, kelangkaan, biaya dan manfaat, serta insentif, ada 10 prinsip tambahan yang harus diikuti di lapangan.
Jika kita cuplik satu tentang People respond to incentives, maka mestinya dengan aplikasi-aplikasi android bagi penerima subsidi dijelaskan insentif yang didapat dengan memakai aplikasi ini. Dapat diskonkah, extra mile-kah, atau yang lain yang menguntungkan khalayak. Disamping issue keamanan data dan penggunaan. Ini baru sebagian kecil aspek dari relasi antara pengguna, HP dan aplikasi.
Reuni pertama tokoh-tokoh pejuang angkatan 28 yang diadakan di Gedung Sumpah Pemuda Kramat Raya no.106, 11 Nopember 1973. Foto (Ipphos)" Online
Penulis : Pulung Ciptoaji
Abad.id- Sumpah Pemuda kali pertama dicanangkan pada 28 Oktober 1928, sebagai hasil dari Kongres Pemuda II. Melalui ikrar tersebut, para pemuda Indonesia menyatakan janji satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Namun tidak ada catatan sejarah berikutnya peristiwa penting setelah ikrar sumpah meuda itu. para aktifis pergerakan kembali ke organisasinya lama, dan sesekali melakukan pertemuan pertemuan.
Namun ikrar Sumpah Pemuda itu sudah menjadi modal besar menuju sebuah bangsa. Pasca ikrar Sumpah Pemuda semangat persatuan dan kesatuan antara golongan dan suku mulai tampak. Arah gerakan untuk merdeka mulai dibahas di beberapa pertemuan pertemuan yang dirahasiakan. Semangat para aktifis pergerakan mencapai kemerdekaan lewat kebersamaan, lewat persaudaraan, bahkan lewat huru hara jika diperlukan.
Dalam catatan SK Trimurti salah satu tokoh penting dalam Sumpah Pemuda itu, ketegangan yang sebelumnya tampak antar kelompok pergerakan, berakhir dengan semangat persaudaraan. Bahkan banyak cerita jenaka. Padahal aktifitas para penggerak Sumpah Pemuda pasca ikrar semakin dibatasi.
Misalnya seorang aktifis perempuan yang menjadi deklarator sempat dikuntit oleh PID atau polisi Hindia Belanda. Sadar sedang dibuntuti, Trimurti segera turun dari becak dan memilih berjalan kaki. Melihat sasarannya turun dari becak, si PID ikut turun dari sepedanya dan membututi dari belakang. Hampir gerak gerik SK Trimurti diawasi oleh polisi tersebut. Trimurti sadar, ini merupakan tanda bahaya. Memang pasca ikrar itu pemerintah Hindia Belanda melakukan politik Vergaderverbod atau larangan untuk berkumpul dan menggelar rapat.
Rombongan SK Trimurti memilih berjalan memutar sejauh mungkin tanpa tujuan, sehingga polisi PID kepayahan. Usai berjalan jauh, rombongan memilih berteduh di bawah pohon sambil makan getuk, dan polisi itu ikut berhenti dan duduk ditempat yang agak berauhan. “ Getuk habis, angin semilir membuat kami nyaris ketiduran,” kata Trimurti.
“Saudara jangan begitu donk, saya ini cuma melakukan tugas, jangan bikin cape gini,” kata polisi PID sambil ngeloyor pergi.
Ini baru kisah dari SK Trimurti, dan ternyata masing masing aktifis pergerakan punya cerita sendiri-sendiri. Seperti anak-anak Jawa timur, mereka tidak takut dengan situasi Vergaderverbod. Bahkan beberapa kali masih melakukan rapat-rapat. Mereka rapat tidak ditempat khusus atau rahasia. Rapat justru digelar di tempat ramai seperti kedai kopi atau cafe, sehingga jauh dari kesan serius yang dibahas. Modus ini akhirnya diendus PID. Bahkan sempat nyaris dibubarkan dan ada penangkapan. Beruntung anak-anak Jawa Timur punya cara agar terhindar dari penangkapan, yaitu mengganti suasana rapat menjadi pesta. Ada tari tarian, ada jingkrak-jingkrak musik yang keras. Sehingga tidak ada alasan untuk menangkap mereka, sebab yang tampak hanya para pemuda sedang berlatih pertunjukan ludruk.
Para tokoh penggagas Sumpah Pemuda mengadakan petemuan tahun 1978. Foto ist
Jika ada yang jadi lucu karena tekanan, kisah lain justru menarik karena nostalgia sebuah tempat. Dia adalah Mohammad Roem. Tokoh pergerakan saat Sumpah Pemuda masih berusia 20 tahun. Roem yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri 3 kali itu punya kisah tentang pohon jawi-jawi. Pohon itu dahulu terletak di sebelah selatan di Gedung Stovia. Gedung itu juga dikenal sebagai gedung Kebangkitan Nasional jalan Abdurahman Shaleh 26 Jakarta. Pohon jawi jawi itu katanya tempat orang berteduh sambil berfikir menjcari inspirasi. Beberapa tokoh penggerak bangsa mendapat inspirasi sesudah merenung di bawah pohon yang berumur 100 tahun tersebut.
Tapi menurut Roem tak semua hasil renuhan di bawah pohon jawi jawi yang sudah ditebang itu melahirkan hal hal yang berat. Sebab sering di bulan purnama, Indro Sugondo ( seniman mantan atase kebudayaan di RRC) terpanggil untuk menyanyikan lagu lagu kroncong di situ. “Suaranya yang merdu untuk ukuran jaman revolusi, biasanya diiringi petikan gitar Sahar Dijo ( Mantan Meteri Kehakiman), merupakan hal hal yang ringan yang indah di masa lampau,” kata Roem.
Lagu Indonesia Raya Versi Keroncong
Lalu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman ternyata diciptakan di sebuah bilik kecil di Gang Tengah Salemba. Tidak ada yang taun pasti kapan lagu ini pertama kali dikumandangkan di depan umum.
Banyak pendapat yang muncul, misalnya jauh sebelum Sumpah Pemuda WR Supratman pernah menyanyikannya lagunya sendiri di depan umum diiringi permainan biola dan ukelel. Sementara ia sendiri main gitar. Ada pula pendapat yang mengatakan lagu tersebut pernah dinyanyikan seorang gadis cilik dan Supratman mengiringi dengan biola. Saat itu Supratman menyanyilan lagu gubahannya. Baru kemudian yang hadir bersama sama menyanyikannya dengan penuh semangat.
Bahkan ada yang mengisahkan bahwa lagu Indonesia Raya pernah didengar sebelum ikrar Sumpah Pemuda, namun dimana dan dalam kejadian apa. Tapi dalam catatan Sugondojoyo Puspito tidak bisa disangsikan. Bahkan sangat lucu. Saat itu lagu tersebut didengarkan di Kongres Pemuda II tahun 1928 untuk pertama kalinya. Banyak hadirin menyanyikan bersama, namun barisan belakang ada yang tersenyum sambil tertawa. Sebab ada hadirin dari utusan solo menyanyikan lagu tersebut dengan nada pelok, sehingga benar benar menjadi fals. Atas kejadian itu, MR Sartono utusan Wonogiri nyletuk sambil bergurau agar diiringi gamelan saja.
Masih tentang Indonesia Raya, ternyata ketika pertamakali dikumandangkan banyak mengundang pendapat. Bung Karno menganggap terlalu kebarat-baratan. Akhirnya lagu tersebut menggunakan irama marsch. Ternyata supratman sendiri juga pernah menyanyikannya dalam irama keroncong. Lagu Indonedia Raya versi keroncong tersebut sempat direkam dalam piringan hitam Firma Tio Tek Hong di Pasar Baru Jakarta. (pul)
Abad.id - Kota Surabaya merencanakan akan merevitalisasi kawasan Kampung Eropa (Belanda) tahun depan setelah selesai menata Wisata Pecinan Kembang Jepun. Kampung Eropa ini terletak di sebelah barat Kalimas yang langsung berseberangan dengan Kampung Pecinan. Kampung Pecinan dan Kampung Belanda hanya dipisahkan oleh batas alami berupa sungai Kalimas.
Sebetulnya kawasan bekas Kampung Eropa ini kawasan yang aktif, bukan kawasan yang mati. Berbeda dengan di Semarang dan Jakarta. Sebelum direvitalisasi sudut sudut kota Tua Jakarta dan Semarang adalah kawasan yang kumuh dan rawan.
Luas kawasan Kota Tua Jakarta adalah 130 hektar. Sedangkan luas Kota Lama Semarang 31 hektar. Sementara Surabaya hanya 4 hektar (dihitung berdasarkan luas area di dalam batas tembok). Kota Lama Surabaya atau Kota Eropa, ketika kota ini masih tertutup tembok, adalah kota yang sudah eksis di era VOC. Kota ini semakin berkembang dan meluas pasca kebangkrutan VOC.
Hingga sekarang jejak dan bekas area Kota Lama Surabaya ini masih mudah dikenali baik berdasarkan bangunan kolonial maupun batas batas kota. Batas tembok sisi timur memanjang dari gedung JMP hingga sepanjang jalan Jembatan Merah, berjajar dengan sungai Kalimas. Kemudian tembok sisi selatan memanjang ke barat sepanjang jalan Cendrawasih dan jalan Merak. Sedangkan bekas tembok sisi barat memanjang di sepanjang Jalan Krembangan Timur hingga menembus bangunan di utara Jalan Rajawali mentok hingga tembok penjara Kalisosok. Tembok terakhir di sisi utara membujur dari barat ke timur di jalan Garuda hingga batas Kalimas.
Itulah luasan kawasan bekas Kampung Eropa yang pernah dibatasi tembok. Kawasannya tidak luas. Hanya 4 hektar dan di dalam kawasan terdapat jalur jalur Jalan yang aktif. Bangunan bangunannya juga aktif: dipakai perkantoran, perbankan dan fungsi lainnya. Gedungnya megah megah. Khususnya gedung gedung yang berdiri menghadap Kalimas. Dalam lagu “Jembatan Merah” dikatakan sebagai “gedung raya”.
“Jembatan Merah sungguh indah berpagar gedung raya”, itulah kutipan lirik lagu legendaris Jembatan Merah yang menggambarkan tentang kemegahan dan keindahan gedung gedung di sana.
Kebanyakan gedung gedung yang masih berdiri megah hingga sekarang umumnya adalah gedung gedung yang dibangun di sepanjang abad 20, mulai 1901 hingga 1930-an. Umumnya berarsitektur moderen yang sudah dipengaruhi oleh arsitektur gaya gaya Eropa dan Amerika.
Pelestarian Gedung Sebelum Abad 20
Sesungguhnya di kawasan Kota Lama Surabaya ini ada juga bangunan dari era sebelum abad 20. Salah satunya adalah bangunan yang ada di jalan Jembatan Merah. Ketika bangunan lama dari abad sebelumnya sudah sudah berubah menjadi karya abad 20, satu satunya gedung yang berdiri tepat di pinggir Kalimas ini menjadi saksi lintas jaman di jalan Jembatan Merah (Willemskade) dan oude Stad.
Bangunan, yang sudah dicatat sebagai bangunan cagar budaya kota Surabaya, ini adalah adalah wujud bangunan water front di Surabaya. Surabaya bagai kota Venesia di eranya. Koneksi antara daratan dan air (sungai) menjadi bagian dari infrastruktur kota. Pada masa itu, sungai adalah bagian penting dari kehidupan kota. Sungai menjadi sarana transportasi, komunikasi, perhubungan dan kehidupan.
Persis di ujung selatan jalan Jembatan Merah, di tepian sungai Kalimas, di depan gedung Maybank, masih berdiri sebuah gedung yang selalu bercat putih dari zaman ke zaman.
Dalam catatan registrasi Cagar Budaya Kota Surabaya, gedung ini dikenal sebagai Kantor Notaris. Tidak salah karena gedung ini sudah lama dipakai sebagai kantor Notaris. Saat ini gedung ini direnovasi. Tampak luar semakin lebih indah dan bersih. Tetap dicat warna putih. Dia konsisten sesuai fakta sejarah. Ini menambah keindahan lingkungan dan mendukung pelestarian kawasan Kota Eropa. Pelestarian kawasan ini akan menggugah memori akan fungsi kawasan ini pada masa lalu, termasuk akan fungsi gedung itu sendiri. Sekarang, gedung yang sudah puluhan tahun dipakai sebagai kantor notaris memang tidak ada kaitannya dengan air (sungai Kalimas).
Pemandangan Kalimas (water front) dilihat dari balkon lantai dua
Apa memang ada kaitannya dengan Kalimas? Jawabannya jelas ada. Mengamati beberapa bangunan kolonial, bentuk arsitektur maupun model bangunan dan tata ruang bangunan biasanya menyesuaikan dengan kondisi dimana bangunan itu berdiri (lingkungan). Ketika sebuah bangunan berdiri di tepian sungai, maka ada bagian dari bangunan yang dibuat ramah dengan sungai (water friendly designed building).
Begitu pula bangunan berlantai dua di tepi Kalimas ini. Menurut catatan GH Von Faber dalam bukunya “Oud Soerabaia”, bangunan ini sudah ada di era Herman Willem Daendels. Herman Willem Daendels adalah seorang politikus dan jenderal Belanda yang menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 – 1811.
Daendels juga dikenal sebagai orang yang membuka jalan raya antara Anyer (Jawa Barat) dan Panarukan (Jawa Timur). Jalan ini dikenal juga dengan nama Jalan Raya Pos (Grootepos weg). Jalan Raya Daendels (Raya Pos) idenya untuk memperlancar komunikasi dan perhubungan termasuk untuk koneksi pengiriman barang barang selain surat surat melalui utara Jawa.
Willemskade (Jalan Jembatan Merah sekarang) adalah sebagian ruas dari Jalan Raya Daendels yang melewati kota Surabaya. Willemskade, dimana gedung putih itu berdiri, adalah di wilayah Oude Stad van Soerabaia. Di Oude Stad inilah sebagian dari penunjang kebutuhan komunikasi dan perhubungan dalam jaringan Anyer-Panarukan dibangun oleh Daendels, terutama kebutuhan militer.
Tak heran bila di Surabaya dibangun pabrik artileri ACW, benteng pertahanan, tangsi militer. Rumah putih itu sendiri, yang sudah ada sebelum era Daendels, dibuat sebagai kantor perusahaan milik Daendels. Ini adalah kantor Maskapai Pengeriman Paket Kerajaan (Koninklijke Paketvaart Maatschappij).
Kantor maskapai jasa pengiriman barang ini letaknya persis di tepian sungai. Gedong ini memiliki pintu yang lebih dekat dengan air (sungai), tidak menghadap ke Jalan sebagaimana umumnya bangunan bangunan. Gedung maskapai pengiriman paket ini berdiri memanjang dari utara ke selatan, kurang lebih 10 meter, mepet dengan sungai. Pintu dibuat menghadap ke utara yang lebih dekat dengan sungai dengan tujuan akses ke sungai lebih mudah.
Melalui pintu inilah proses bongkar muat barang ke sungai menjadi lebih praktis. Apalagi persis di depan pintu terdapat sebuah marina yang menjadi akses naik dan turun ke perahu sebagai sarana angkutan utama pada masa itu.
Kantor Koningklijk Paketvaart Maschappij di Willemskade (Jalan Jembatan Merah) Surabaya. Berdiri di tepi Kalimas. Foto: KITLV.
Menyimak foto lama yang diambil pada 1865, ketika teknologi photo sudah masuk Surabaya, di Willemskade ini berdiri berderet bangunan berpilar di depannya. Itu semua dikenal dengan gaya Daendels. Berbeda dengan bangunan maskapai pengiriman barang ini. Ia tidak berpilar. Bentuk dan design bangunan seperti Gedung Grahadi sebelum Grahadi (Paleis van Simpang) direnovasi Daendels dengan penambahan pilar pilar. Model bangunan ini juga mirip dengan Rumah Setan di Kupang.
Secara fisik bangunannya bertingkat dua. Struktur lantai loteng terbuat dari kontruksi kayu kayu jati yang kokoh. Kontruksi ini sama seperti loteng Grahadi di Simpang dan Rumah Setan di Kupang. Diduga, bangunan eks Kantor Paket dan Pos ini, dibangun di abad 18.
Jika Grahadi yang menjadi kediaman penguasa VOC, gezaghebber, dibangun pada 1794, sementara Gedung Setan sudah ada ketika Gubernur Jendral Carel Reyniersz meninggal ditahun 1653. Carel Reyniersz adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke 11. Ia memerintah antara tahun 1650 – 1653. Karenanya Jalan di depan Gedung Setan dinamakan Reyniersz Boulevard. Kini menjadi Jalan Diponegoro.
Gedung Grahadi (Paleis van Simpang) dibangun pada 1794, Gedung Setan (Spookhuis) sudah ada ketika kematian Carel Reyniersz pada 1653, sedangkan Kantor Maskapai Pengiriman Paket sudah ada sebelum Daendels. Diduga usia gedung kantor pengiriman barang sudah lebih dari 225 tahun atau bahkan lebih dari 250 tahun. Sayang tidak ada inskripsi pembangunan gedung ini.
Diusianya yang sudah lebih dari dua abad ini, bekas kantor maskapai paket dan Pos ini mulai bersolek luar dan dalam. Semoga keberadaan eks kantor paket dan Pos ini dapat mendorong revitalisasi kawasan kampung Eropa Surabaya.
Pelestarian Tematik di Kampung Belanda
Ketika mengusung konsep pelestarian yang tematik, seperti harapan walikota Surabaya Eri Cahyadi kepada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, maka pelestarian di kawasan Kampung Eropa harus bertemakan Eropa, khususnya negeri Belanda.
Bangunan peninggalan Belanda harus dijaga, dilestarikan dan dimanfaatkan. Bangunan bangunan peninggalan Belanda di kawasan Kampung Belanda ini secara kasat mata jika dilihat oleh orang orang moderen, ada beberapa yang mungkin dianggap lusuh, tidak memiliki keindahan arsitektur dan tidak memiliki nilai ekonomis di kawasan yang ekonomis dan dampaknya rawan dibongkar.
Interior yang beratap kontruksi kayu jati akan tertutup oleh kontruksi galvalum
Padahal bangunan itu, yang berbentuk bangunan beratap tinggi, mengerucut dengan sosoran miring ke depan dan belakang, di ujung atap kiri dan kanan pada ujung gawel memiliki piron, adalah bangunan pada masa masa awal dibangunnya kota Surabaya. Yaitu pada kisaran abad 17 dan 18. Ketika teknologi foto belum ada, lukisan dan litografi telah mengabadikan suasana dan pemandangan Surabaya di abad 18.
Untuk masa sekarang bangunan semacam itu, yang ternyata masih ada di Surabaya, harus dipertahankan untuk tujuan tujuan edukasi, penelitian, ilmu pengetahuan, budaya dan pariwisata. Bangunan model ini (abad 18) tentu sangat kontras dengan bangunan moderen (abad 20). Karenanya bangunan yang nampak sederhana ini rawan dibongkar dan dialih fungsikan. Apapun bangunan itu adalah bukti proses peradaban Surabaya di bidang arsitektur dan budaya.
Ketika ingin membangun tema Eropa di kawasan Kampung Eropa, maka perlu dipikirkan kekhasan apa terkait dengan Eropa. Misalnya yang jelas jelas di depan mata adalah melestarikan dan memanfaatkan peninggalan bangunan bangunan kolonial dari lapisan masa: abad 18, 19 dan 20.
Menempatkan tiang tiang Penerangan Jalan Umum (PJU) di trotoar trotoar di kawasan Kampung Eropa. Design PJU disesuaikan dengan tema Eropa Surabaya. Misalnya meniru design PJU yang memang pernah ada dan dipasang di Surabaya pada masa lampau. Kemudian, mengaplikasikan warna warna khas Belanda pada media media umum seperti tiang PJU. Misalnya warna oranje.
Kalau toh ada penambahan aksesoris untuk mewarnai nuansa Kampung Belanda, bisa juga ada penambahan kursi kursi besi di trotoar yang dicat warna oranje dan biru.
Untuk menambah nilai edukasi papan papan nama jalan dibuat dengan menambahkan nama jalan lama di bawah nama jalan sekarang dan ada terjemahan dari nama tempo dulu. Nama nama jalan tempo dulu di kawasan Oude Stad van Soerabaia itu menunjukkan adanya utilitas dan fasilitas kota. Misalnya nama Jalan Mliwis (sisi barat) dulunya bernama Oude Hospitaalstraat (Jalan Rumah Sakit lama). Di sekitar Jalan itu, pada masa VOC memang pernah ada rumah sakit.
Lalu nama Jalan Gelatik, yang nama tempo dulunya adalah Stadhuiz steeg (Gang Balai Kota). Di dekat Jalan Gelatik ini pada masa VOC pernah ada gedung Balai Kota dimana seorang gezaghebber berkantor.
Masih tegar berdiri lintas masa
Contoh lainnya adalah Jalan Cendrawasih yang dulunya bernama Romesche Katolikkerk Straat (Jalan Gereja Katolik Roma). Di Jalan Cendrawasih ini dulunya memang pernah ada sebuah gereja Katolik yang kemudian dipindah ke Jalan Kepanjen.
Kiranya masih ada lagi yang bisa ditata untuk menciptakan tema Eropa (Belanda) di kawasan Kampung Belanda. Ini semua akan menghidupkan kembali memori publik tentang Kampung Eropa.
Revitalisasi tematik ini akan memudahkan proses dan cara cara revitalisasi sehingga pada gilirannya menciptakan ikon ikon Surabaya yang menarik perhatian warga dan pengunjung. (Nanang).
Penulis: Pulung Ciptoaji
abad.id-Sejak dulu nyonya-nyonya Belanda atau para gundik selalu mengunakan batik sebagai bagian dari fashionnya. Para nyonya Belanda yang sudah lama menetap di tanah Hindia Belanda ini meninggalkan baju kain panjang kain perca dan beralih ke kebaya encim untuk busana kesehariannya. Pilihan batik dan kebaya encim untuk menyesuaikan suhu udara Hindia Belanda yang tropis. Batik juga menjadi busana wajib bagi para ksatria dan bangsawan untuk menunjukkan kelas strata sosialnya.
Trade mark Eliza van Zuylen terdapat tinta emas. Foto ist
Untuk warna dan motif yang beredar bermacam macam dan menyesuaikan selera. Bagi bangsawan dan kaum priyayi, batik dengan motif konfensional dengan warga tua lebih diminati. Namun bagi komunitas eropa dan peranakan lebih bervariasi dan berani kreatif. Batik juga bisa dibeli di pasar, di rumah batik atau penjaja batik yang datang dari ruah ke rumah. Selain melihat motif dan meraba kwalitas pewarnaan, para pembeli juga mencium kain tersebut. Hemm.. aroma sedapnya malam sangat khas dan lembut.
Menjelang abad ke 20 pusat-pusat batik di tanah Jawa mulai bermunculan. Juga terdapat rumah produksi batik dengan scala besar. Sejak jaman dulu rumah produksi itu sudah menggunakan pola pembatikan tulis, atau batik cap. Namun batik yang berkuwalitas dengan harga mahal sudah pasti batik tulis dari tangan perajin. Seorang dari para pengusaha batik yang sangat terkenal pada masa itu bernama Eilza Van Zuylen. Rumah produksinya ada di Pekalongan dan mulai mengenalkan 3 pewarnaan dalam batik tulisnya.
Motif si Tudung Merah berlatar belakang bilik bermotif tradisional Jawa. Foto Ist
Eliza van Zuylen warga negara Indo Belanda yang hidup antara tahun 1863 – 1947. Nama aslinya Eliza Charlotta Niessen, rumahnya didaerah Bugisan yang kemudian berpindah ke Herenstraat. Beliau menetap di Pekalongan karena mengikuti suaminya Alphons Van Zuylen merupakan seorang Pejabat dari Kerajaan Belanda yang ditugaskan di Pekalongan. Batik Indo-Eropa karya Eliza Van Zuylen merupakan salah satu karya yang dicari hingga sampai saat ini. Jika masih ada yang mengkoleksi barang asli, mungkin harganya sudah selangit. Bagi kolektor batik bisa menentukan keaslian karya Eliza dari tanda tangan bertinta emas di bawah sisi kanan. Paling mahal bagi kolektor motif yang dikembangkan Eliza Van Zuylen ialah motif buketan bunga khas eropa, karya seni batik ini dikenal dengan sebutan “Van Zuylen Bouquet“.
Sawung dalam nuansa coklat. Foto ist
Eliza Van Zuylen memulai usaha Batiknya dari tahun 1890an sejak tinggal di Pekalongan. Melihat industri batik sangat subur di kota itu, Eliza tertarik untuk membuat batik dengan belajar dari warga lokal. Ternyata hasil belajar tersebut lebih bagus dan diminati banyak orang. Eliza menawarkan hasil karyanya ke koleganya warga Eropa dan pengusaha China dan Arab. Ternyata apresiasi terhadap karya Eliza sangat luar biasa. Rumah produksi yang awalnya hanya menampung beberapa orang pembatik, perlahan tapi pasti telah berkembang menjadi sebuah pabrik yang memperkerjakan lebih dari 100 orang.
Bagi warga pribumi, keistimwaan batik Eliza terdapat pada desain yang unik dan berani. Hasil karya Van Zuyilen bagi kalangan pribumi sering dinamakan “Pan Sellen atau “Bangsellen” menyesuaikan lidah orang Jawa.
Selain melayani pelanggan tetap, perusahaan Eliza juga melakukan ekspor ke Singapura dan Amerika. Pedagang hanya tinggal pesan dan pembayaran dibelakang jika batik laku. Semuanya hanya sistem saling percaya, sehingga karya Van Zuyilen sangat cepat laku keras.
Pada tahun 1904 pabrk Van Zuyilen pindah ke kawasan Heerenstraat dekat alun-alun. Sisi belakang rumahnya terdapaat sungai Pekalongan. Dipilihnya lokasi itu karena industri batik sangat butuh banyak air serta lokasi dekat alun-alun lebih besar dan sangat strategis. Ada beberapa sumur yang dibangun di pabrik itu, sumur pertama untuk membersihkan cat batik, sumur kedua untuk mandi dan jamban dan sumur ketiga untuk sumber air minum. Juga dibangun saluran limbah yang menyambung langsung ke sungai pekalongan.
Proses produksi digambarkan dalam rumah besar itu terdapat beberapa skat pemisah. Terdapat ruang khusus menerima tamu pembeli, serta terdapat ruangan khusus produksi yang penuh dengan pekerja perempuan duduk dengan cantingnya. Para wanita yang sudah terlatih itu berkerja sendiri sendiri. Mereka masih memerlukan bimbingan dari Van Zuyilen untuk mempertajam motif atau pewarnaan. Untuk bibingan ini Van Zuyilen terkadang langsung mengoreksi satu persatu pembatik secara berkeliling. Di lokasi tersebut terdapat meja diatas panggung yang sangat tinggi yang bisa memantau seluruh kegiatan pembatikan. Jika terdapat pembatik yang ragu ragu atau kesulitan, Van Zuyilen langsung memanggilnya dan menjelaskan di dekat meja tinggi itu.
Para pekerja umumnya warga kampung yang berada di sekitar pekalongan. Mereka datang ke panbrik pada pagi hari secara jalan kaki. Pada musim hujan, mereka disediakan payung dan dibuatkan wedang jahe untuk penghangat badan. Bahkan semua pekerja mendapat jaminan kesehatan langsung dari dokter atas biaya Van Zuyilen. Ada beberapa pembatik yang menginap disediakan mess tempat tinggal di pinggir sungai Pekalongan.
Ada strategi Van Zuyilen agar para pekerjanya betah dan tidak mudah pindah kerja. Van Zuyilen sadar akan sangat berbahaya jika ketrampilan pembatik ini dibajak atau dipekerjakan di pabrik lain. Maka setiap pekerja yang diterima akan mendapatkan persekot uang dalam jumlah besar. Tentu si pekerja berkewajiban melunasi persekot ini dari cicilan gaji bulannnya. Kalau hendak keluar, diwajibkan segera melunasi uang porsekot tersebut.
Karya fenomenal Van Zuyilen
Van Zuyilen sangat memperhatikan pola dan warna batiknya. Ketrampilanlah yang membuat banyak pelanggan sangat puas dengan hasil karyanya. Jika menerima pesanan khusus, Van Zuyilen akan menawarkan beberapa pola yang sudah ada dan kemungkinan variasinya. Disamping pola tradisional yang diminati para priyayi dan warga pribumi, Van Zuyilen juga akan mencampur motif eropa, misalnya model bunga tulip atau model awan salju yang tidak mungkin ada di tanah beriklim tropis. Untuk pesanan khusus ini, Van Zuyilen akan meminta pekerja yang dipercaya dengan pengawasan ketat darinya.
Keindahan karya Van Zuyilen terletak pada masih terdapat ruang bidang kosong yang tidak mendominasi. Van Zuyilen sangat menghindari motif terlalu rumit dan penuh. Untuk motif variasi tradisional dan eropa, Van Zuyilen sering membuat kontraksi gambar yang tidak mungkin. Misalnya terdapat tokoh wayang namun juga terdapat warna bunga-bunga yang menghiasinya. Atau ada motif kupu-kupu yang divariasikan dengan motif sungging atau ukir-ukiran jawa.
Untuk bahan pengecatan selalu menggunakan bahan-bahan alami. Jika terdapaat warna dominan coklat, Van Zuyilen akan memilih warga coklat soga yang dibuat dengan resep rahasia. Untuk warna kuning menggunakan kulit jirek serta warna merah menggunakan akar pohon mengkudu. Untuk warga indigo atau biro, Van Zuyilen akan menggunaan bahan indigofera yang sudah diramu khusus. Van Zuyilen mulai menggunakan warna sintetis mulai tahun 1935 yang diimpor dari eropa.
Berakhirnya Pabrik Van Zuyilen
Masa keemasan pabrik batik Van Zuyilen pada tahun 1935. Meskipun pada masa itu banyak pesaing sejenis yang berdiri di Pekalongan, serta di beberapa kota lain di Solo dan Yogjakarta, pabrik Van Zuyilen masih menerima pesanan dan ekspor hingga eropa. Untuk memenuhi kebutuhan pemesanan, Van Zuyilen melibatkan keluarga sebagai administrasi di perusahaan. Setiap produksi batik diberi tanda khusus agar tidak bisa ditiru keaslianya.
Keluarga abesar Eliza van Zuylen sebelum terceraai berai akibat perang. Foto ist
Setelah pendudukan Jepang tahun 1942, usaha batik mulai meredup. Sebab banyak jaringan penjualan yang menghentikan transaksi. Serta banyak warga eropa yang mengungsi di tempat lain, membuat Van Zuyilen harus mengurangi produksi. Kondisi ekonomi yang lebih sulit pada masa Jepang membuat banyak orang dan priyayi memilih menunda belanjanya. Apalagi belanja tersebut berhubungan dengan selera dan prestis. Meskipun pabrik Van Zuyilen masih beroperasi, sebagian produksinya harus untuk kepentingan pemerintahan jepang. Diantaranya pesanan Obi untuk ikat pinggang kimono Jepang, atau sarung dengan gaya Hokokai.
Jaman keemasan itu semakin pudar justru saat perang kemerdekaan tahun 1946. Saat itu semua industri batik di Pekalongan hancur. Begitu pula pabrik milik Van Zuyilen hancur luluh lantak. Aksi penjarahan harta milik bangsa indo Belanda sangat marak. Banyak alat-alat produksi mulai gambar pola, canting dan warna ikut dijarah. Kepanikan warga indo Belanda terjadi dimana mana. Sebagian memilih meninggalkan tanah Indonesia dengan menyebrang ke Australia, sebagian lagi justru tertangkap dan dimasukkan ke penjara. Termasuk Van Zuyilen bersama putrinya Clementine masuk penjara di Pekalongan hingga meninggal dunia tahun 1947 di usia 83 tahun. (pul)