abad.id- Ada cerita yang menjadi perhatian internasional pada masa Hindia Belanda dekade menjelang Jepang masuk. Salah satunya kebijakan Vatikan mengangkat seorang etnis Jawa sebagai uskup. Waktu itu Hindia Belanda masih merupakan daerah missi yang statusnya langsung di bawah Roma.
Tahun 1940 untuk suatu vikarat baru di Jawa harus diangkat seorang uskup. Dalam bulan Mei 1940, tidak lama sesudah bangsa Jerman menduduki Belanda, duta besar Vatikan di Batavia, P.J.Willekens, membicarakan perlunya membentuk Vikaris Apostolik di wilayah baru Hindia Belanda. Alasannya jumlah orang Katolik semakin meningkat. Vikaris Apostolik erupakan bentuk otoritas suatu kawasan dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk dalam wilayah misi dan di negara yang belum memiliki keuskupan. Usulan P.J.Willekens ini saat berada di Roma ketika berkunjung di sana. Mgr. Petrus Wilekens, Vikaris Apostolik di Batavia mengusulkan lokasi vikariat apostolik yang baru berada di Jawa Tengah, berpusat di Semarang.
Willekens mengajukan tiga orang calon untuk menjabat. Salah seorang diantara mereka adalah seorang Jesuit bernama Albertus Soegijapranoto, yang waktu itu menjadi pastor di Yogyakarta.
Presiden Sukarno dan Romo Soegija di sebuah pertemuan internasional. Foto istimewa
Pada 1 Agustus 1940, Willekens, menerima sebuah telegram dari Kardinal Giovanni Battista Montini, yang menyatakan bahwa Soegija akan menjadi pemimpin vikariat apostolik yang baru. Dalam surat itu juga diberitakan Soegijapranoto tidak perlu datang ke Roma untuk penahbisan, seperti lazimnya. Willekens yang sudah mendapat mandat dari Vatikan yang akan menahbiskan Soegijapranoto menjadi uskup yang berkedudukan di Semarang. Mendengar kabar tersebut, Soegija pun menyetujui tugas barunya meskipun ia merasa terkejut dan gelisah.
Pada 30 September 1940, Soegija pergi ke Semarang. Pada 6 Oktober, di Gereja Rosario Suci di Randusari, Seogija ditahbiskan menjadi uskup oleh Willekens. Pada resepsi sesudah upacara penahbisan, banyak orang Katolik Belanda terkemuka ikut tidak hadir. Namun mereka tidak mau mencium cincin seorang etnis Jawa meskipun dirinya seorang uskup. Bagi orang Belanda, mencium tangan dan mengikuti sakramen yang dipimpin orang pribumi adalah bentuk penghinaan. Tentu tindakan ini dianggap diskriminasi dalam satu agama, sehingga Vatikan ikut campur.
Namun Uskup Soegija menganggap perilaku orang Belanda itu tidak penting. Begitu ia ditahbiskan sebagai uskup, hal pertama yang ia lakukan mengeluarkan sebuah surat pastoral bersama Willekens, yang berisi sejarah Soegija bisa menjadi uskup. Selain itu, ia juga mengeluarkan surat Maximum Illud yang dibuat oleh Paus Benediktus XV, kepala gereja Katolik. Soegijapranata mulai menentukan hierarki gereja di Jawa Tengah, termasuk mendirikan paroki baru. Di wilayah yang ia pimpin, terdapat 84 pastor (73 orang Eropa dan 11 orang pribumi), 137 bruder (103 orang Eropa dan 34 orang pribumi), dan 330 biarawati (251 orang Eropa dan 79 orang pribumi).
Sesudah proklamasi kemerdekaan, Uskup Soegyapranoto memihak kepada Republik Indonesia, dan memindahkan tempat kedudukannya ke Yogyakarta. Dia juga menjadi orang sangat dekat dengan Soekarno. Uskup Soegyapranoto dianggap simbul kelompok nasionalis yang menyatu dalam bingkai Pancasila. Bahkan Uskup Soegyapranoto dikenal dengan pendiriannya yang pro-nasionalis yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
Pada 3 Januari 1961, Soegijapranata diangkat menjadi uskup agung di Semarang. Saat pengangkatan berlangsung, Soegijapranata tengah berada di Eropa untuk Konsili Vatikan II. Soegija mengikuti sesi pertama Konsili dan menunjukkan keprihatinan akan keadaan pastoral, sehingga memohon agar sistem gereja dimodernisasi. Kemudian, ia kembali ke Indonesia, namun dalam kondisi yang kurang sehat. Setelah dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi pada 1963, Soegijapranata dilarang untuk melaksanakan tugasnya.
Soegijapranata meninggal dunia pada 22 Juli 1963 akibat serangan jantung. Saat itu, Soegija sedang berada di Belanda untuk meghadiri pemilihan Paus Paulus VI. Soekarno yang tidak ingin kawan dekatnya dimakamkan di Belanda, meminta jenasahnya diterbangkan ke Indonesia. Soegijapranata dimakamkan pada 30 Juli di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji