images/images-1677986650.png
Sejarah
Budaya

Beratnya Pelawak Dulu, Dipaksa Bisu Harus Melucu

Pulung Ciptoaji

Mar 05, 2023

348 views

24 Comments

Save

Charlie chaplin, seniman film jenius, mengocok perut dengan gerak-gerik. Foto dok net

 

abad.id- Film komedi Klasik dengan tokoh Charlie Chaplin tak sekedar menghibur, tapi sebenarnya penuh kejutan menertawakan kebodohan. Dalam hal ini rasa kemanusiaan penonton sedang digugah. Dalam film komedi itu, sarat dengan kritik sosial yang halus.

 

Perjalanan Charlie Chaplin sangat mengenal tanah Indonesia sejak jaman Hindia Belanda. Pada tahun 1964 Chaplin berkunjung ke Indonesia atas undangan pemerintah. Antara lain ia menyaksikan pertunjukan Sendratari Ramayana di candi Prambanan (Yogya). Ditempat itu, Charlie Chaplin yang sudah bukan muda lagi masih berhasil mengocok perut penonton dengan menirukan secara kocak gerak gerik Hanoman, tokoh monyet dalam melegenda.

 

Bicara tentang komedi klasik, tentu tidak pernah lupa dengan tokoh Charlie Chaplin yang lahir 1889 dan meninggal tahun 1977 ini. Dianggap seniman jenius yang belum ada duanya. Sejak muncul di fulm komedi selalu sukses ditonton orang. Bahkan konsep animasi Charlie Chaplin juga masih diminati generasi Z.

 

Dalam versi animasi tidak jau beda dengan kondisi asli film komedi klasik. Tokoh ini digambarkan tampangnya sebagai si Gelandangan yang berkumis tanggung, topi kekecilan, celana kedodoran. Sementara sepatunya yang kebesaran dengan ujungnya mencuat ke atas. Dengan selalu membawa tongkat kecil, cara berjalan bunyi-bunyian lain di luar pemain (sound effects).

 

Era awal Charlie Chaplin tontonan film belum bisa memasukuan suara pemain secara sempurna. Sehingga kesan yang muncul seperti orang bisu yang memaksa penonton tertawa. Namun ada juga adegan akhir di film "Modern Times "(1936)", tampak terdengar suara Chaplin menyanyi di restoran. Ketika film diedarkan, ternyata merebut sukses komersial dan sekaligus artistik.

 

Film itu sebagai karya artistik yang mengagumkan, bukan saja karena unsur komedinya, tapi karena pesan kemanusiaannya yang halus dan mendalam. Adegan pembuka "Modern Times", membuat orang tertawa sekaligus tersentak. Gambar sekawanan domba beriringan masuk ke kandang segera disusul gambar serombongan buruh masuk pabrik. Dari sini  film sudah berbicara tentang sindiran martabat manusia pada abad industri sangta direndahkan.

 

Ada aktor lain Harold Lloyd dan Buster Keaton, saingan dan rekan seangkatannya dari zaman film bisu, Charlie Chaplin. Namun ada yang istimewa Charlie Chaplinyaitu  mengandalkan lawakannya pada kemahirannya berpantomim. Kelebihannya lain bisa mempermainkan perasaan penonton dari suasana lucu menjadi sedih. Chaplin juga tak hanya main, tapi menulis cerita, menyutradarai, memimpin produksi bahkan menulis sendiri sekaligus arasemen musik filmnya.

 

Film lain karya Charlie Chaplin “City Lights” tahun (1931) yang dibuat tetap sebagai film bisu. Mungkin jika Chaplin memunculkan suara dalam dialog dianggap aneh oleh penonton. Sebab pada masa itu, Chaplin dianggap seniman yang diwujudkan dengan kekonyolan bisu. Hanya ada bersuara iringan musik, dialog singkat beberapa pemain. Film ini disebut 'klasik' karena baik dari segi teknis pembuatannya maupun gaya komedinya, sudah tak akan dijumpai lagi dalam film sekarang.

 

Tantangan Melihat Film Komedi Klasik Generasi Z

 

Bagi generasi sekarang, melihat film Chaplin seperti melihat barang antik yang langka. Awalnya tampak bingung dan geli menyaksikan jenis film yang sangat berbeda dengan yang dikenal. Yaitu film harus berwarna, layar cinemascope, dengan sistem suara 'dolby' yang dapat membedakan suara yang datang dari depan, belakang, samping, jauh atau dekat.

 

Dalam menambah efek dramatis, dilakukan dengan iringan musik. Dalam film sekarang pun iringan musik tetap penting, hanya saja dulu iringan musik dimainkan oleh orkes hidup, langsung pada tiap pertunjukan. Biasanya, dekat layar di tiap bioskop, disediakan tempat untuk pemain musik.

 

Nama-nama seperti Harold Lloyd, Harry Langdon atau Buster Keaton, sampai merupakan bintang komedi yang 'top'. Hanya saja jaman lama tidak mengenal batasan etika dalam konsep komedi. Sehingga film-film komedi klasik penuh slapstick ( lawakan kasar antara para pemain yang saling mengejek, memukul atau mencelakakan satu sama lain untuk memancing tawa.

 

Harold Lloyd agar bisa membuat orang tertawa saat memanjat tembok gedung bertingkat. Foto dok net

 

Seorang pelawak di zaman itu tak hanya harus pandai melucu, tapi harus memiliki pula kemahiran lain yang dapat menunjang kemampuan lawakannya.  Harold Lloyd yang lahir tahun 1893 dan meninggal dunia tahun 1971 misalnya, juga seorang atlit yang mahir. Hanya karena bisa membuat orang tertawa saat memanjat tembok gedung bertingkat lima dalam filmnya "Safety Last" (1923), sejak saat itu Harold Lloyd. Dianggap tokoh komedi yang bisa sebanding dengan Caplin. Pada adegan itu, hampir menghabiskán lebih dari sepertiga bagian cerita. Harold Lloyd melakukan sendiri, tanpa menggunakan stuntman atau pemeran pengganti.

 

Sebenarnya sejarah film sudah dapat bersuara mulai tahun 1927. Unsur dialog mulai penting sudah bisa dimasukan, meski tokoh pelawak tetap membisu. Sosok artis perempuan yang muncul dalam dialog-dialog film komedi misalnya Mae West (1892-1980). Keistimewaan Mae West mampu membuat konsep komedi yang penuh sindiran halus terhadap kenyataan sehari-hari. Bahkan sesekali nyerempet seks. Sebab Mae West besar dan kekar, tidak lazim pada tubuh perempuan yang harus cantik dan bertubuh kecil.

 

Mae West, gaya jalannya bak pegulat pria. Foto USISI.

 

Mae West menulis sendiri dialog dan mengolah kembali cerita besarnya. Lawakannya tentang seks mengandung sindiran halus tapi tajam. la mengucapkan dialognya dengan suara sengau suatu gaya yang oleh para kritisi dianggap "mengandung ajakan tanpa malu-malu pada seks". Biasanya, yang jadi sasarannya ialah "tokoh-tokoh masyarakat" bermuka dua yang berlagak sopan, tapi mata keranjang.

 

Selama 46 tahun dalam berkarier, Mae West hanya main dalam 12 film. Tapi ia membuktikan dirinya sebagai penulis dialog, penulis cerita, sutradara dan juga produser. Pada 1926 ia membuat sensasi di Broadway ketika memproduksi dan menyutradarai karya pertamanya "Sex". Polisi menganggap karyanya itu berbau cabul, dan ia ditahan 10 hari. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Reruntuhan St Paul's College Makau Sangat Memukau

Pulung Ciptoaji

Dec 27, 2022

Surabaya Sambut Kapal Pesiar MS Viking Mars

Author Abad

Dec 20, 2022

Jugun Ianfu Dipaksa Melayani Seks 10 Orang Sehari

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Dari Kolaborasi ke Nominasi

Author Abad

Oct 26, 2022